Bintang untuk Cerpen Gusjigang
Catatan Pendek Dewan Juri
Minggu pertama
bulan Maret 2020 setelah lomba resmi
ditutup, 25 karya peserta Lomba Menulis Cerpen
bertema Gusjigang yang diselenggarakan Tajug secara
serentak masuk ke pos-el
masing-masing juri dalam kondisi
tanpa nama penulisnya. Juri hanya berhadapan dengan naskah cerpen yang ditandai dengan nomor urut
naskah masuk ke pos-el panitia. Anak-anak muda cekatan dan
progresif yang bertindak sebagai panitia betul-betul menepati jadwal yang
telah dimaklumatkan. Tepat waktu. Tabik.
Begitu
membuka pos-el
serentak membayang, betapa membaca 25 cerpen karya peserta lomba bakal membuat
kami masuk ke dalam situasi kerja “ngeri-ngeri sedap”.
Maksudnya, ngeri karena mesti membaca satu per satu secara teliti, kemudian memberi penilaian seturut kriteria
yang digariskan. Jika secara matematis dipukul rata satu cerpen membutuhkan
durasi waktu baca 15 menit, maka total jendral yang dibutuhkan 15 menit x 25 =
375 menit. “Hanya” 6 jam 25 menit. Enteng? Tidak juga. Kendala utama yang
merintang adalah ketahanan mata dan konsentrasi penuh, dari menit ke menit harus memelototi layar ponsel. Benar-benar melelahkan. Ngeri
itu jadi menemu kenyataannya.
Lalu
di mana sedapnya? Semula terbayang, membaca 25 cerpen bertema Gusjigang,
yang dalam perkiraan sudah lekat akrab dengan keseharian peserta, niscaya akan
ternikmati bacaan bernutrisi tinggi. Seksi sekaligus bergizi. Begitukah? Hingga
rampung membaca dan memberi jumlah bintang (*) pada setiap cerpen, bayangan
kami jadi ambyar tanpa menyisakan bentuk. Kami tidak menemukan bacaan yang
bernutrisi tinggi itu. Di titik ini, sedap itu gagal menjadi kenyataan.
Sekadar
diketahui, kami menggunakan tanda bintang sebagai ganti angka dalam penilaian. Satu bintang diberikan kepada
cerpen yang amat tidak bagus, dua bintang untuk yang tidak bagus, tiga bintang
untuk yang cukup bagus, empat bintang untuk yang bagus, dan lima bintang untuk
yang amat bagus. Akumulasi bintang dari semua juri dijadikan pedoman untuk
pertimbangan masuk tidaknya sebuah cerpen ke babak penilaian selanjutnya. Hasil
penilaian tahap pertama menyisakan 10 cerpen nomine, lalu diperas lagi menjadi 3 cerpen
calon pemenang. Sampai detik terakhir
penentuan pemenang, bintang yang diperoleh cerpen nomine atau pemenang tidak
ada yang jumlahnya mencapai angka tertinggi, 5x5 (juri) = 25 bintang. Apalagi
25, jumlah 20 bintang pun nihil alias tidak ada.
Mengapa
itu terjadi? Itulah yang membuat dewan juri tak habis heran. Padahal, untuk
orang Kudus, gusjigang bukan sesuatu yang baru dan asing. Bahkan boleh jadi
bagi sebagian orang,
tiga pokok ajarannya sudah berkelindan dalam darah dan sumsum mereka. Lalu apa kesulitan dan penyebabnya?
“Banyak
peserta yang mengeluhkan temanya, Pak. Terlalu berat,” kata seorang panitia.
Yes! Mungkin itulah bab musabab tidak adanya cerpen peserta yang memenuhi
ekspektasi dewan juri. Duga sangka kami, peserta terlalu silau pada keberadaan
gusjigang. Gusjigang dianggap sebagai ajaran adiluhur dan teramat sakral
sehingga pemali jika diulik apalagi dikritisi. Maka yang terjadi gusjigang dalam
cerpen tidak berbeda dengan gusjigang yang di luar cerpen. “Gus” yang dipahami
sebagai bagus dalam perilaku, “ji” pintar ilmu agama, dan “gang” sebagai pandai
berdagang—sejalan tuntunan Kanjeng Sunan—sekadar
dimasuk-masukkan bahkan ditempelkan begitu saja. Sama sekali tidak terdeteksi hasrat untuk mengkreasinya atau
melakukan inovasi tafsir pada bagian yang memungkinkan.
Begitulah,
tidak ada satu pun peserta lomba yang berani menarik gusjigang keluar dari
wilayah makna aslinya. Semisal, memperhadapkan ajaran “gang” dengan watak dasar
kebanyakan pedagang yang relatif lebih mementingkan untung sebesar-besarnya
dibanding urusan sosial kemanusiaan. Atau, perilaku bagus, jujur, dan lembah
manah seorang santri yang menghayati ajaran “gus” dan “ji”. Namun justru
membuat dirinya terjerembab ke dalam persoalan hidup yang rumit dan akut.
Daftar pemisalan semacam bisa diperpanjang sesuai sudut pandang dan kebutuhan
masing-masing.
Lewat
catatan pendek ini agaknya perlu diingatkan, bahwa sebagai karya seni cerpen
bisa digunakan sebagai alat untuk apa pun. Termasuk untuk mengkritisi atau
“bersuara lain” pada keberadaan gusjigang. “Suara lain” dalam arti positif
konstruktif. Renung-menung atas ajaran gusjigang yang menghasilkan tesis lain
dari yang sudah ada. Itulah sesungguhhnya yang diharap-harapkan oleh dewan juri
dan segenap panitia lomba.
Selain
penggarapan tema, masih ada beberapa catatan yang mesti disampaikan. Yakni,
soal bentuk dan teknik penulisan. Yang dimaksud bentuk penulisan adalah cara
penulis menyajikan cerpennya. Boleh dibilang semua peserta memilih bentuk
konvensional; narasi berselang-seling dengan dialog. Tidak ada yang tertarik
menyajikan bentuk narasi semua atau dialog semua. Padahal itu masuk dalam salah
satu kriteria penilaian.
Lalu
soal teknik penulisan. Maaf,
kami mesti jujur mengatakan, sangat
memprihatinkan.
Banyak cerpen yang ditulis dengan tataeja dan tatatulis centang perenang.
Kesalahan elementer masih banyak kami temukan. Sebut misalnya, penulisan “di”
dan “ke” sebagai awalan dan kata depan. Bilamana pemakaian huruf kapital? Kapan kata ganti “kami” atau “kita”
digunakan? Lantas soal penulisan kata baku. Salat atau sholat? Magrib atau maghrib? Azan atau adzan? Museum atau musium?
Itu sedikit contoh dari sekian banyak kesalahan yang ditemukan. Remeh-temeh
memang. Tetapi, dari penguasaan hal yang remeh-temeh itulah bisa diketahui
seberapa kompetensi kebahasaan seseorang bukan?
Selain
dua hal di atas, kesalahan penyusunan kalimat juga banyak kami temukan.
Contohnya? Duh, rasanya kurang etis jika itu ditampilkan di sini. Kalau ingin
tahu, disarankan masing-masing peserta, yang cerpennya termuat di buku ini,
membuka file. Bandingkan cerpen asli dengan cerpen—yang sudah disunting—di buku
ini.
Satu
lagi yang membuat para juri berbisik tanya, mengapa banyak penulis muda Kudus,
peserta lomba yang demen banget membuat
kalimat panjang. Kalimat majemuk dengan 2-3 anak kalimat yang menyebabkan
pembaca jadi pusing, mencari substansi makna kalimat yang dimaksudkan. Demi apa
itu dilakukan? Demi berindah-indah atau biar nyastra? Rasa-rasanya kalimat tunggal dengan pola sederhana,
Subjek- Predikat-Objek-Keterangan (S-O-P-K), juga sangat bisa digunakan untuk
berindah-indah dan atau untuk nyastra. Tabik
dan salam Tajug.
Kudus, 11
April 2020
Dewan Juri
0 comments