Didi Kempot: Kampung Halaman Bagi Masa Kecil
Egi Raf
Kenangan lama yang tersimpan di kepala saya ialah lagu campursari
yang saban sore diputar tetangga rumah. Awal-awal melenium ke-2 (tahun 2000-an)
bagi yang tumbuh dalam budaya Jawa tidak asing mendengar nama Manthous. Seniman
campursari yang sedang naik daun. Dalam albumnya kurang lebih terjual 1 juta
keping terdapat lagu berjudul Nyidam Sari.
Saya tidak mendengarkan dengan duduk di teras sambil nyeruput kopi. Saat itu
usia masih cukup kecil. Setiap penggal lirik Nyidam Sari yang diputar berulang-ulang mengiringi dolanan bersama
teman seusia. Aktifitas menyenangkan bagi seorang bocah. Secara tidak langsung
membentuk rasa; menjadi tidak asing mendengar campursari.
Belum juga masuk dalam kategori penikmat campursari apalagi sebagai
pengagum Manthous. Playlist tetangga
rumah berganti Didi Kempot. Satu album penuh garapan tahun 1989 diputar.
Lagu-lagunya yaitu We Cen Yu (Kowe Pancen
Ayu), Moblong-Moblong, Teler, Podo Pintere, Yok Siskampling, Stok Kerah, Nggedebus, Cidro, Wayang Kulit, dan Sir-Siran. Namun, lagu-lagunya tidak terlalu dikenal. Mungkin hanya
tetangga saya dan rekan-rekan seprofesinya saja penikmat alunannya. Baru
setelah Didi Kempot mearasemen ulang lagunya yang berjudul Cidro dan mengeluarkan lagu baru berjudul Stasiun Balapan, setiap orang yang mendengar pasti mengikuti
nyanyiannya. Seperti bom waktu menunggu meledak. Seakan suara yang muncul dari
rekaman kaset adalah panggung megah yang dihadiri penyanyinya langsung.
Lagu Didi Kempot bukanlah kesedihan pribadi, tetapi kesedihan yang telah memanusia.
Dalam album pertama, dengan arasemen anyar lagu Cidro seperti memiliki magnet tersendiri
bagi idolanya dan pendengar baru. Lagu diambil dari kisah nyata penciptanya
yang dibawakan apa adanya. Tidak dilebih-lebihkan dalam pengungkapan. Ini yang
menjadikan lagu Didi Kempot bukanlah kesedihan pribadi, tetapi kesedihan yang
telah memanusia. Kesedihan yang banyak dialami umat manusia. Belum lagi lagu
berjudul Stasiun Balapan. Lagu
menceritakan perpisahan. Saya ingat betul waktu itu, lirik yang paling saya
hafal,
"Da... dada Sayang. Da... slamat jalan."
Meskipun tidak paham kesedihan seperti apa yang terkandung dalam lirik lagu
Didi Kempot.
Waktu terus berjalan, ketidakmampuan
saya menikmati musik Didi Kempot perlahan semakin tidak jelas seiring tetangga
rumah jarang menyuarakan rekaman suara lelaki berambut gondrong itu. Playlist berganti-ganti. Kadang dangdut,
kadang pop, dan kadang rock. Ingatan masa kecil seakan tercecer, tidak
menemukan titik terang yang saya sebut kampung halaman. Sebagai seorang bocah,
tidak pernah terpikir mempertanyakan kenapa tidak lagi memutar Cidro dan Stasiun Balapan. Hingga sampai tahun 2018 lagu-lagu campursari
khususnya Didi Kempot sudah jarang saya dengar. Jika pun
ada campursari, hanya dengar dalam acara pernikahan dan siaran radio daerah.
Baru memasuki tahun 2019 lagu-lagu Didi Kempot mulai dikenal kembali. Anak-anak
muda seusia saya gandrung. Merasa setiap liriknya mewakili perasaan. Saya pun
demikian, baru mampu menikmati. Duduk di teras rumah sambil nyeruput kopi.
Membayangkan masa-masa kecil dolanan diiringi campursari.
Lagu Cidro menjadi awal
meledaknya lagu-lagu Didi Kempot. Lagu yang banyak di-cover Youtuber muda
dengan aransemen segar. Banyak konser musik menghadirkan penciptanya langsung
sebagai obat rasa penasaran generasi Z. Menangislah sejadi-jadinya, atau yang
lebih sering disebut ambyar. Sebagai perantara ngadurasa, sampai-sampai Didi Kempot mendapat julukan Bapak Patah Hati Nasional atau The
Godfather of Broken Heart. Hebat! Lagu berbahasa daerah era akhir melenium
I dan awal melenium II mendapat tempat luar biasa mengalahkan lagu-lagu baru
yang diciptakan artis ibu kota. Sangat jarang ditemui dalam produk-produk lagu
hari ini; meledak sehari lalu hilang.
Tidak berbeda dengan saya, kebanyakan para perantau yang besar
dalam tradisi Jawa menganggap lagu Didi Kempot adalah kampung halaman. Lirik
demi lirik yang diputar mengajak menyelami kembali masa lalu. Banyak orang
kangen bapak ibu, kangen
berkumpul bareng keluarga utuh, kangen dolanan bersama teman di tengah lapang,
kangen kebersamaan manjat pohon jambu, kangen bermain di bawah rintik air
hujan, kangen suara jangkrik dalam remang malam, kangen laron-laron
berterbangan ketika pagi hari, atau bahkan kangen seseorang yang pernah
ditaksir, dan rasa rindu yang lainnya. Kejadian yang tidak akan pernah terulang.
Seakan setiap lagu Didi Kempot adalah sapa untuk masa lalu. Selain itu, sebagai
tali silaturrahmi bagi sesama perantau.
Didi Kempot adalah penyanyi yang bersahabat dengan pendengarnya.
Popularitas Didi Kempot tidak bisa dipandang sebelah mata. Musisi
yang sudah puluhan tahun berkarya dalam belantara musik Indonesia pantas
mendapat tempat tertinggi. Ah, tapi saya pesimis, Didi Kempot tidak akan mau
menerima puji-pujian yang berlebihan. Rendah hati Didi Kempot melahirkan
kedekatan dengan pendengarnya. Seperti saudara, atau mungkin bagi yang lagi
patah hati, seperti seorang bapak yang sedang momong anaknya. Senada pengakuan
orang-orang yang tulisannya banyak bertebaran di sosial media mengatakan, Didi
Kempot adalah penyanyi yang bersahabat dengan pendengarnya. Tidak
segan berkata terima kasih untuk urusan sepele seperti ketika dibukakan botol
minumannya, mau meluangkan waktu untuk menyapa pengagumnya, sekedar berfoto dan
memberi tanda tangan, dan masih banyak lainnya. Saya kira jika disandingkan
dengan penyanyi manapun, Didi Kempot masih lebih unggul.
Sepak terjang Didi Kempot tidak berhenti sampai di lagu-lagu patah
hati saja. Saya mendapatkan di Youtube, Didi Kempot membawakan lagu yang
menyatakan cinta untuk seorang ibu dengan judul
Sewu Siji. Lagu yang cukup menguras
air mata bagi seorang anak. Kemudian lagu mempromosikan pasar tradisional
dengan judul Pasar Klewer. Mengajak
orang-orang untuk berbelanjan di pasar batik terbesar di Surakarta itu. Dan
lagu keislaman dengan judul Islam
Nusantara. Menurut keterangannya di banyak stasiun televisi yang banyak
dikutip berbagai media, sekitar 700 judul lagu sudah diciptakan sepanjang
karirnya.
Didi Kempot tetap menjadi kampung halaman bagi rindu yang semakin bertebaran.
Di usiannya yang menginjak 53 tahun, Didi Kempot masih mengeluarkan
lagu baru seperti yang belum lama ini berjudul Ojo Mudik sebagai kampanye menanggulangi meluasnya Virus COVID-19.
Bahkan sebelum kematiannya, Didi Kempot sedang menyiapkan lagu bareng Yuni
Shara. Penyanyi bersuara merdu yang bermukim di Jakarta. Saya menyadari,
kematian Didi Kempot akan menjadi kenangan yang sulit dilupakan dalam ingatan
kolektif penikmat musik. Didi Kempot tetap menjadi kampung halaman bagi rindu
yang semakin bertebaran.
Didi Kempot bukan sekedar soal ambyar-ambyaran saja, tapi juga
sebagai kampung halaman bagi masa kecil. Tempat menyimpan dan pengingat banyak
kenangan. Seperti yang diamini banyak orang, jika mendengar lagu Didi Kempot
seperti membuka lagi ingatan-ingatan masa lalu. Didi Kempot bukan hanya soal
joget dengan hentakan koplo netes eluh
cendol dawet saja, tapi juga soal kebaikan yang selama ini ia suarakan.
Seperti pengalangan dana untuk saudara yang terkena dampak COVID-19.
Saya membayangkan bertahun-tahun setelah hari ini, Didi Kempot
bakal semakin dikenang sekaligus menjadi salah satu cerminan kebaikan yang
perlu dicontoh banyak manusia. Sekaligus menjadi pengingat, jika yang datang
pasti berpulang.
Ning Stasiun
Balapan
Rasane koyo
wong kelangan
Kowe ninggal
aku
Ra kroso netes
eluh ning pipiku
Da... dada
Sayang
Da... slamat
jalan
(Lirik lagu
Stasiun Balapan Solo ciptaan Didi Kempot)
Egi Raf, pemerhati sejarah Keraton Kartasura. Tinggal
di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Dapat
dihubungi di akun sosial media Facebook: Egi Raf dan Narasi Baluwarti. Email:
egiraf3@gmail.com.
0 comments