Kita Semua Menyukai Cerita

Jimat Kalimasadha

esai jimat kalimasadha

Sebuah Pengantar


Kumpulan cerpen Gusjigang adalah kumpulan cerpen karya peserta Lomba Menulis Cerpen Gusjigang. Tajug sebagai penyelenggara merasakan bahwa tema gusjigang ini bukanlah tema yang ringan bagi peserta. Sejak awal diluncurkan sampai seminggu menjelang batas akhir penutupan lomba, sama sekali belum ada cerpen masuk ke meja panitia. Untunglah pada hari-hari terakhir, panitia menerima 25 cerpen dari para peserta, yang sebagian besar adalah penulis-penulis muda.

Panitia kemudian melepas nama para pengarang dari naskah cerpen dan menyerahkan 25 judul cerpen tersebut kepada para juri. Para juri yang terdiri atas Dewan Redaksi Tajug melakukan penjurian tanpa mengetahui nama pengarang. Ya, Mas Mukti Sutarman Espe, Mas Jumari Hs, Mas Reyhan M. Abdurrohman, Mas Mangir Chan, dan saya, yang bertindak sebagai juri. Kami yang setiap hari berkegiatan di redaksi Tajug memberanikan diri untuk menjadi juri, karena, memang begitulah, demi mencukupkan segala sesuatunya. Kami melakukan penilaian tanpa mengenal nama-nama pengarang. Cara ini kami lakukan semata-mata untuk menghindari subyektivitas pertemanan.

Tetapi, apakah dengan cara tersebut kami benar-benar terbebas dari subyektivitas pribadi? Selama seminggu melewati masa penjurian, saya dihantui rasa gelisah. Benarkah kami telah melakukan penilaian dengan tepat dan adil? Kami adalah 5 orang dengan 5 kepala dan 5 selera. Kami adalah 5 personal dengan usia yang berbeda-beda, dengan tingkat kematangan yang berbeda, dengan pengalaman pembacaan yang berbeda, dan dengan bekal estetika yang berbeda pula. Pada sidang terakhir, kami berdebat panjang untuk menentukan 10 cerpen nomine dan akhirnya mengerucut menjadi 3 cerpen juara.

Kami tidak bisa menghindari subyektivitas, tapi kami akhirnya bisa menentukan 3 besar cerpen juara, yakni Ayat Terakhir sebelum Ajal karya Aditya Galih Erlangga, Sepotong Ayam dan Segala Kenangannya karya Wulan Suci, dan Mata Amira karya Sitta Zukhrufa. Itulah hasil kerja keras kami. Terus terang, kami belum menemukan cerpen bagus menurut ukuran kami; cerpen yang sesuai standar tema, kreativitas penggarapan, dan teknik penulisan yang ideal. Setiap cerpen memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Rubrik penilaian kami tidak bisa benar-benar mendapatkan cerpen dengan kualitas terbaik.

Sejauh itu, kami selalu bersyukur. Tidak hanya juara semata-mata yang kami harapkan. Kami bersyukur karena kami menemukan harapan besar dari event ini, yakni sebuah fakta bahwa Kudus memiliki penulis-penulis muda hebat. Mereka inilah yang membawa kapal besar dengan harapan  besar untuk menjadi kekuatan sastra di Kudus. Mereka memiliki vitalitas dan semangat luar biasa. Mereka serupa Avatar-Avatar baru. Kelak mereka akan menaklukkan api, eh bukan, menaklukkan kata-kata, dan menjadikannya karya-karya sastra yang luar biasa. Ada spirit baru, meledak-ledak, dan sarat dinamika.

***

Tema gusjigang, sengaja kami angkat, sebenarnya bukanlah tema baru. Orang Kudus mengenal dengan baik ajaran gusjigang sebagai nilai-nilai  yang diwariskan oleh Kanjeng Sunan Kudus. Secara harfiah, ia bermakna gus-bagus, ji-ngaji, dan gang-berdagang. Begitu dalamnya nilai-nilai tersebut terinternalisasi dalam kehidupan wong Kudus, gusjigang telah menjadi laku hidup, way of life, atau visi hidup. Seringkali kita sulit menjelaskan tapi kita mempunyai keyakinan bahwa kita sudah menjalankan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Itulah sebabnya, kami ingin menjabarkan ajaran gusjigang tersebut dalam sebuah cerita atau kisah, dan bukan dalam bungkus teori-teori yang rumit. Kami ingin mengajak penulis-penulis muda Kudus mengekspresikan gagasan, pemikiran, dan pengalaman spiritual tentang gusjigang melalui cerita pendek.

***

Kita semua menyukai cerita.

AS Laksana, cerpenis kontemporer Indonesia saat ini, memberi alasan yang masuk akal. Kita menyukai cerita karena kita memiliki struktur otak yang tidak suka diancam. Cerita berbeda dengan teori atau ideologi. Cerita tidak pernah mengancam pikiran, begitu kata penulis cerpen Bidadari yang Mengembara itu. Menikmati sebuah cerita, kita seperti berada dalam sebuah dunia yang nyaman, happy, dan tanpa tekanan. Jika cerita yang kita baca itu sangat menarik, kita manjadi sangat rileks, sangat santai, dan faktor kritis kita berkurang keaktifannya.

Dalam kondisi seperti ini, kita mengikhlaskan pikiran logis kita dipermainkan, kesedihan kita diubah menjadi kegembiraan, kegembiraan digantikan oleh air mata, perasaan kita diaduk-aduk, pendirian kita ditumbangkan, ideologi kita dibentuk ulang, dan seterusnya. Kita dibuat tidak beranjak dari novel atau cerpen yang kita baca karena pikiran bawah sadar kita memang mudah ditaklukkan oleh cerita. Begitulah, kita merasa aman dan nyaman tinggal di dalam dunia cerita. Kita betah berlama-lama begadang di dalam rumah cerita. Di dalam cerita kita menyerahkan semua perangkat pikiran untuk terlibat dalam pengalaman imajinatif tak berbatas.

Kekuatan bahasa menjadi alat utama bercerita. Bahasa menjadi semacam api yang harus ditakluk-kan agar memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemaslahatan bercerita. Jadi, seorang penulis hebat pasti mampu mengendalikan bahasa, seperti Avatar mampu mengendalikan api.

***

Dari 25 cerpen yang masuk itu, akhirnya sampai pada sebuah simpulan bahwa menulis cerpen adalah sebuah ritual menyuguhkan kisah yang menarik untuk memuaskan pengalaman imajinatif. Cerpen yang bagus tidak hanya ditentukan oleh pesan atau gagasan yang diusungnya, tetapi juga pada teknik penyuguhan dan cara memainkan konflik atau permasalahan. Yang terakhir justru menjadi bagian penting dalam keterampilan menulis cerpen.

Teknik bercerita yang menarik selalu melibatkan panca indera, menggetarkan saraf emosi pembaca. Sedangkan konflik cerita akan membuat denyut perasaan kita senantiasa menyala. Cerpen-cerpen yang masuk ke meja panitia belum sampai pada pencapaian tersebut. Untuk sampai pada bentuk yang sudah dibukukan ini, kami perlu melakukan penyuntingan serius.

Secara pribadi, saya berpesan kepada para penulis muda agar selalu belajar. Kita tidak boleh puas hanya karena kita sudah berhasil menulis cerpen dan bisa masuk dalam nominasi. Kita harus banyak membaca karya sastra, mengamati karya-karya yang bagus, belajar membuat deskripsi yang dinamis, belajar membuat kalimat efektif, belajar ejaan dan penggunaan tanda baca yang benar, belajar mengetik rapi, dan keterampilan-keterampilan dasar lainnya.

Sebagai penulis, kita harus menyadari benar bahwa komponen-komponen tersebut terkadang kita sepelekan, tetapi pada akhirnya menyebabkan karya kita jatuh. Kita semua harus belajar mengikuti perkembangan bahasa, agar kita bisa menaklukkan dan mengendalikan bahasa seperti Avatar menaklukkan dan mengendalikan api, air, udara, dan tanah.

Saya mewakili panitia, mohon maaf jika ada ketidakpuasan dan kekurangan di sana sini. Apa pun yang terjadi, kita harus bergembira dalam menjalani kegiatan menulis, karena menulis telah menjadikan hidup kita bertahan lebih lama.

Penulis tidak boleh berhenti bercerita, karena kita semua menyukai cerita.

Kaliwuluh, 9 April 2020
Pimpinan Redaksi Tajug

Jimat Kalimasadha

Jimat Kalimasadha, redaktur tajug.net, ia bisa diakses di bit.ly/bu-buku

0 comments