New Normal Hanya Masalah Warna Kacamata

Jimat Kalimasadha

esai jimat kalimasadha

Spesies manusia yang kuat, perkasa, canggih, dan sempurna itu ternyata bisa punah oleh serangan makhluk kecil tak kasatmata, yang tak jelas jenis kelaminnya, bernama bakteri dan virus. Kedengarannya aneh, tapi begitulah kenyataannya.

Lebaran ini wabah novel coronavirus disease 2019 (covid 19) belum selesai. Setelah lebaran, bisa jadi, wabah ini akan masih berlanjut. Banyak orang pulang kampung atau mudik karena orang-orang  tak bisa menahan diri tinggal di dalam rumah. Banyak orang masih menyerbu pusat-pusat kerumunan, pusat perbelanjaan, dan pusat keramaian. Pusat-pusat tersebut mestinya dihindari, karena tempat-tempat tersebut menjadi agen penularan virus corona.

Sejauh ini kita tampaknya belum memahami benar dan belum menyadari dengan sungguh-sungguh serangan virus ini. Sebagian kita masih menyepelekan virus ini dengan berbagai alasan dan pembenaran. Mungkin karena bentuknya yang sangat sangat kecil dan tidak terlihat, ancaman virus tersebut  oleh sebagian orang tidak dianggap serius.  Banyak hal, kita tidak bisa antisipasi dan banyak hal, kita tidak bisa prediksi. Begitulah. Kecenderungan penderita positif kian hari semakin bertambah.

Di luar sana, serangkaian spekulasi  terus berkembang. Ada yang mengatakan pandemi ini direkayasa oleh sekelompok orang kuat dunia dan dikaitkan dengan isu perdagangan obat. Sebagian mengatakan wabah ini adalah hukuman Tuhan karena kita, manusia-manusia ini, banyak melakukan kerusakan di muka bumi.

Sekelompok lainnya memaknai  wabah ini sebagai pelajaran Tuhan agar kita bisa memahami bahwa banyak kematian manusia justru disebabkan oleh makhluk-makhluk kecil tidak terlihat oleh mata. Sering kita takut kepada harimau, ular, singa, atau dinosaurus. Kita takut mereka menerkam kita, kita takut mereka menguntah-ngunyah kita. Tetapi, seberapakah dari binatang buas tersebut yang membunuh manusia hingga menemu ajalnya? Jumlahnya kecil, bukan? Kematian spesies manusia ternyata lebih banyak disebabkan oleh jasad renik seperti bakteri dan virus. Makhluk yang selama ini sama sekali tidak kita anggap.

Inilah keajaiban Tuhan paling misterius. Dan, sekaligus kejaiban yang tidak pernah, atau jarang, kita sebut sebagai suatu keajaiban. Kita terlanjur terpesona pada definisi keajaiban itu hanya sebagai sesuatu yang mengandung keanehan yang ngedab-ngedabi, seperti tongkat Nabi Musa yang membelah Laut Merah menjadi daratan, atau Nabi Ibrahim yang merasakan kedinginan di dalam kobaran api. Pikiran kita terlanjur terpaku pada eksotisme semacam itu. Hanya peristiwa-peristiwa sekelas itu yang kita anggap sebagai keajaiban.

Bakteri dan virus yang berukuran nol koma nol sekian-sekian milimikron itu, tidakkah itu keajaiban? Apalagi, di dalam tubuh yang sekecil itu, siapa tahu, masih hidup makhluk yang lebih kecil lagi, yang kemudian bisa menginfeksi tubuh kita. Bayangkan, di dalam tubuh bakteri dan virus yang sekecil itu, bisa jadi masih ada makhluk hidup lain yang hidup di dalamnya dan memiliki daya bunuh yang luar biasa. Pastilah ini merupakan super keajaiban. Sayang, kita jarang menyadarinya. Lantaran ukurannya sangat kecil itu, kita sering menyepelekan atau menganggapnya tidak ada. Manusia sering terbiasa hanya mengagumi hal-hal besar belaka.

Virus corona ini ingin menunjukkan di depan mata kita sesuatu yang lain, yang selama ini diabaikan. Virus ini menyita perhatian kita semua, menyita perhatian seluruh dunia. Corona ini membawa banyak pesan, baik itu tersirat dan tersurat. Corona membawa banyak korban sakit dan meninggal dunia, menyisakan trauma, ketakutan, kengerian dan pengucilan. Memahami corona bagaikan memahami makhluk super kecil dengan seribu wajah, dengan multi tafsir. Kita bisa melihatnya dari sisi manapun. Kita bisa menafsir penyebab dan dampaknya, bahaya dan peluangnya dari sisi-sisi yang berbeda-beda.

Tapi yang jelas, untuk mengalahkannya tubuh manusia harus melawan dengan memiliki tentara yang lebih tangguh, bernama imunitas atau kekebalan. Bakteri bisa dikalahkan dengan kekebalan dan bantuan senjata antibiotik. Sedangkan  virus, sejauh ini, hanya bisa dikalahkan dengan bantuan vaksin, yang mendorong tentara tubuh membentuk kekuatan antibodi atau kekebalan mandiri. Sekali lagi, kita bisa mengalahkan virus jika kita memiliki tentara tubuh yang kuat.

Jika kita andaikan tubuh adalah sebuah negara,  kunci keselamatan tubuh bergantung pada kekuatan tentara tubuh kita. Lalu, kita berdamai atau berperang? Siapa yang berdamai dan siapa yang berperang, siapa yang menganggap ini bahaya dan siapa yang menganggap ini peluang, semua berangkat dari sudut pandang pemikiran yang berbeda. Mereka, orang-orang yang cerdas pandai, mengangkat isu ini sebagai tema diskusi yang benilai milyaran rupiah. Mereka bisa saja mengkoneksikan gagasannya dengan isu besar lain, seperti geo-ekonomi, geo-politik, atau geo-strategi pertahanan dan keamanan negara. Dalam kepentingan yang lebih luas, negara dan para pejabatnya bisa menggunakannya  untuk memperkuat posisi-posisinya. Ada kerugian miliyaran dolar seperti yang dirasakan oleh investor  sebuah perusahaan market place terbesar, tetapi ada keuntungan yang luar biasa jika nanti perusahaan medis menemukan vaksinnya.

Lalu, di mana posisi kita?

Kita semua bingung. Yang sakit terinfeksi takut mati menderita. Yang miskin dan kelamaan tinggal di rumah takut mati kelaparan. Yang kaya dan kelamaan tinggal di rumah takut mati karena bosan. Yang pengusaha takut mati karena kebangkrutan. Yang penguasa takut mati karena kritikan dan cercaan. Yang sedang jatuh cinta takut mati karena rindu. Yang pemberani takut mati karena ragu. Tak ada kepastian. Sungguh tak ada kenyamanan.

Sedangkan saya? Kadang saya masih keseleo lidah dalam mengucapkan istilah social-distancing, physical-distancing, protocol covid-19, ODP, PDP, lock down, PSBB. Semua istilah tersebut terdengar keren, terasa bukan produk dalam negeri, seperti penyerta dari produk corona. Eh, ada satu istilah yang luput saya sebut, yakni istilah new normal atau kata para pakar bahasa diterjemahkan sebagai kenormalan baru, kewajaran baru, atau kelaziman baru. Normalnya dulu berbeda dengan normalnya sekarang.

Tiba-tiba istilah ini membingkai secara halus pikiran saya untuk mengikuti pola-pala baru dalam berpikir dan bertindak. Sebagian kebiasaan yang dulu saya anggap normal atau wajar, sekarang ini menjadi sikap dan tindakan yang dianggap tidak normal atau tidak wajar. What was normal yesterday is abnormal now, kata Hermann Hesse (1877-1962), seorang penyair dan novelis Jerman yang pernah menerima Nobel Sastra pada tahun 1946.

Sebelumnya ke mana-mana kita tidak wajib mengenakan masker, sekarang harus mengenakan masker. Sebelum ini kita tidak perlu selalu cuci tangan, sekarang harus cuci tangan. Saya pernah mencuci tangan enam kali dalam perjalanan pulang dari tempat kerja yang jarakya hanya 3 kilometer. Saya keluar kantor cuci tangan, mampir ke penjahit cuci tangan, mampir Indomaret cuci tangan, mampir toko buah cuci tangan, mampir apotek cuci tangan, sampai rumah disuruh istri cuci tangan. Tiba-tiba saya merasa tangan saya sangat tipis. Saya khawatir dengan banyak cuci tangan tentara tubuh yang tinggal di bukit dan lembah tangan saya gugur sebelum berperang. Ihik.

Salat Idulfitri kemarin secara normal dilakukan di masjid atau lapangan, sekarang  menjadi normal justru ketika dilakukan di rumah. Kadang saya geli sendiri. Seumur hidup baru kali ini saya menjadi imam salat Idulfitri. Dulu yang normal sekarang menjadi tidak normal, sedangkan yang dulu tidak normal, sekarang malah dianggap normal. Lalu, dengan berkelakar  saya bilang ke anak saya, “Menurutmu, ini the new normal, ataukah the new abnormal?"

Anak saya cuman tersenyum kecil. New normal atau apalah istilahnya hanya masalah warna kacamata yang kita pakai. Ya. warna dunia  ini memang sesuai dengan warna kacamata kita.


Baca juga Cara Memandang Bintang-Bintang atau Jika Bukan Kesetiaan, Pasti, yang Abadi Adalah Tragedi.

Jimat Kalimasadha, redaktur tajug.net, ia bisa diakses di bit.ly/bu-buku

0 comments