New Normal Hanya Masalah Warna Kacamata
Spesies manusia yang kuat,
perkasa, canggih, dan sempurna itu ternyata bisa punah oleh serangan makhluk
kecil tak kasatmata, yang tak jelas jenis kelaminnya, bernama bakteri dan virus. Kedengarannya aneh,
tapi begitulah kenyataannya.
Lebaran ini wabah novel coronavirus disease 2019 (covid
19) belum selesai. Setelah lebaran, bisa jadi, wabah ini akan masih berlanjut.
Banyak orang pulang kampung atau mudik karena orang-orang tak bisa menahan diri tinggal di dalam rumah.
Banyak orang masih menyerbu pusat-pusat kerumunan, pusat perbelanjaan, dan
pusat keramaian. Pusat-pusat tersebut mestinya dihindari, karena tempat-tempat
tersebut menjadi agen penularan virus corona.
Sejauh ini kita tampaknya belum
memahami benar dan belum menyadari dengan sungguh-sungguh serangan virus ini. Sebagian
kita masih menyepelekan virus ini dengan berbagai alasan dan pembenaran. Mungkin
karena bentuknya yang sangat sangat kecil dan tidak terlihat, ancaman virus
tersebut oleh sebagian orang tidak
dianggap serius. Banyak hal, kita tidak
bisa antisipasi dan banyak hal, kita tidak bisa prediksi. Begitulah. Kecenderungan
penderita positif kian hari semakin bertambah.
Di luar sana, serangkaian
spekulasi terus berkembang. Ada yang
mengatakan pandemi ini direkayasa oleh sekelompok orang kuat dunia dan
dikaitkan dengan isu perdagangan obat. Sebagian mengatakan wabah ini adalah hukuman
Tuhan karena kita, manusia-manusia ini, banyak melakukan kerusakan di muka
bumi.
Sekelompok lainnya memaknai wabah ini sebagai pelajaran Tuhan agar kita
bisa memahami bahwa banyak kematian manusia justru disebabkan oleh
makhluk-makhluk kecil tidak terlihat oleh mata. Sering kita takut kepada harimau,
ular, singa, atau dinosaurus. Kita takut mereka menerkam kita, kita takut
mereka menguntah-ngunyah kita. Tetapi, seberapakah dari binatang buas tersebut
yang membunuh manusia hingga menemu ajalnya? Jumlahnya kecil, bukan? Kematian
spesies manusia ternyata lebih banyak disebabkan oleh jasad renik seperti
bakteri dan virus. Makhluk yang selama ini sama sekali tidak kita anggap.
Inilah keajaiban Tuhan paling
misterius. Dan, sekaligus kejaiban yang tidak pernah, atau jarang, kita sebut
sebagai suatu keajaiban. Kita terlanjur terpesona pada definisi keajaiban itu
hanya sebagai sesuatu yang mengandung keanehan yang ngedab-ngedabi, seperti tongkat Nabi Musa yang membelah Laut Merah
menjadi daratan, atau Nabi Ibrahim yang merasakan kedinginan di dalam kobaran
api. Pikiran kita terlanjur terpaku pada eksotisme semacam itu. Hanya
peristiwa-peristiwa sekelas itu yang kita anggap sebagai keajaiban.
Bakteri dan virus yang berukuran
nol koma nol sekian-sekian milimikron itu, tidakkah itu keajaiban?
Apalagi, di dalam tubuh yang sekecil
itu, siapa tahu, masih hidup makhluk yang lebih kecil lagi, yang kemudian bisa menginfeksi
tubuh kita. Bayangkan, di dalam tubuh bakteri dan virus yang sekecil itu, bisa
jadi masih ada makhluk hidup lain yang hidup di dalamnya dan memiliki daya
bunuh yang luar biasa. Pastilah ini merupakan super keajaiban. Sayang, kita jarang menyadarinya. Lantaran
ukurannya sangat kecil itu, kita sering menyepelekan atau menganggapnya tidak ada.
Manusia sering terbiasa hanya mengagumi hal-hal besar belaka.
Virus corona ini ingin menunjukkan
di depan mata kita sesuatu yang lain, yang selama ini diabaikan. Virus ini
menyita perhatian kita semua, menyita perhatian seluruh dunia. Corona ini membawa
banyak pesan, baik itu tersirat dan tersurat. Corona membawa banyak korban
sakit dan meninggal dunia, menyisakan trauma, ketakutan, kengerian dan
pengucilan. Memahami corona bagaikan memahami makhluk super kecil dengan seribu
wajah, dengan multi tafsir. Kita bisa melihatnya dari sisi manapun. Kita bisa
menafsir penyebab dan dampaknya, bahaya dan peluangnya dari sisi-sisi yang
berbeda-beda.
Tapi yang jelas, untuk
mengalahkannya tubuh manusia harus melawan dengan memiliki tentara yang lebih
tangguh, bernama imunitas atau kekebalan. Bakteri bisa dikalahkan dengan
kekebalan dan bantuan senjata antibiotik. Sedangkan virus, sejauh ini, hanya bisa dikalahkan
dengan bantuan vaksin, yang mendorong tentara tubuh membentuk kekuatan antibodi
atau kekebalan mandiri. Sekali lagi, kita bisa mengalahkan virus jika kita
memiliki tentara tubuh yang kuat.
Jika kita andaikan tubuh adalah
sebuah negara, kunci keselamatan tubuh
bergantung pada kekuatan tentara tubuh kita. Lalu, kita berdamai atau
berperang? Siapa yang berdamai dan siapa yang berperang, siapa yang menganggap
ini bahaya dan siapa yang menganggap ini peluang, semua berangkat dari sudut
pandang pemikiran yang berbeda. Mereka, orang-orang yang cerdas pandai,
mengangkat isu ini sebagai tema diskusi yang benilai milyaran rupiah. Mereka
bisa saja mengkoneksikan gagasannya dengan isu besar lain, seperti geo-ekonomi,
geo-politik, atau geo-strategi pertahanan dan keamanan negara. Dalam kepentingan
yang lebih luas, negara dan para pejabatnya bisa menggunakannya untuk memperkuat posisi-posisinya. Ada
kerugian miliyaran dolar seperti yang dirasakan oleh investor sebuah perusahaan market place terbesar,
tetapi ada keuntungan yang luar biasa jika nanti perusahaan medis menemukan
vaksinnya.
Lalu, di mana posisi kita?
Kita semua bingung. Yang sakit
terinfeksi takut mati menderita. Yang miskin dan kelamaan tinggal di rumah
takut mati kelaparan. Yang kaya dan kelamaan tinggal di rumah takut mati karena
bosan. Yang pengusaha takut mati karena kebangkrutan. Yang penguasa takut mati karena
kritikan dan cercaan. Yang sedang jatuh cinta takut mati karena rindu. Yang pemberani
takut mati karena ragu. Tak ada kepastian. Sungguh tak ada kenyamanan.
Sedangkan saya? Kadang saya masih
keseleo lidah dalam mengucapkan istilah social-distancing,
physical-distancing, protocol covid-19, ODP, PDP, lock down, PSBB. Semua
istilah tersebut terdengar keren, terasa bukan produk dalam negeri, seperti
penyerta dari produk corona. Eh, ada satu istilah yang luput saya sebut, yakni
istilah new normal atau kata para
pakar bahasa diterjemahkan sebagai kenormalan baru, kewajaran baru, atau kelaziman
baru. Normalnya dulu berbeda dengan normalnya sekarang.
Tiba-tiba istilah ini membingkai
secara halus pikiran saya untuk mengikuti pola-pala baru dalam berpikir dan
bertindak. Sebagian kebiasaan yang dulu saya anggap normal atau wajar, sekarang
ini menjadi sikap dan tindakan yang dianggap tidak normal atau tidak wajar. “What was normal yesterday is abnormal now”, kata Hermann Hesse (1877-1962),
seorang penyair dan novelis Jerman yang pernah menerima Nobel Sastra pada tahun
1946.
Sebelumnya ke mana-mana kita
tidak wajib mengenakan masker, sekarang harus mengenakan masker. Sebelum ini
kita tidak perlu selalu cuci tangan, sekarang harus cuci tangan. Saya pernah
mencuci tangan enam kali dalam perjalanan pulang dari tempat kerja yang jarakya
hanya 3 kilometer. Saya keluar kantor cuci tangan, mampir ke penjahit cuci
tangan, mampir Indomaret cuci tangan, mampir toko buah cuci tangan, mampir
apotek cuci tangan, sampai rumah disuruh istri cuci tangan. Tiba-tiba saya
merasa tangan saya sangat tipis. Saya khawatir dengan banyak cuci tangan tentara tubuh yang tinggal di bukit dan
lembah tangan saya gugur sebelum berperang. Ihik.
Salat Idulfitri kemarin secara
normal dilakukan di masjid atau lapangan, sekarang menjadi normal justru ketika dilakukan di
rumah. Kadang saya geli sendiri. Seumur hidup baru kali ini saya menjadi imam
salat Idulfitri. Dulu yang normal sekarang menjadi tidak normal, sedangkan yang
dulu tidak normal, sekarang malah dianggap normal. Lalu, dengan berkelakar saya bilang ke anak saya, “Menurutmu, ini the new normal, ataukah the new abnormal?"
Anak saya cuman
tersenyum kecil. New normal atau
apalah istilahnya hanya masalah warna kacamata yang kita pakai. Ya. warna
dunia ini memang sesuai dengan warna
kacamata kita.
Jimat Kalimasadha, redaktur tajug.net, ia bisa diakses di bit.ly/bu-buku
0 comments