Payung Biru Jeta
Musim
hujan telah tiba. Setiap hari hampir selalu hujan atau sekadar gerimis. Pagi
pun tidak jarang turun hujan. Meski hujan, Jeta tidak malas-malasan pergi ke
sekolah. Ia biasa berangkat jalan kaki dengan teman-temannya, jarak rumah ke sekolah
memang dekat dan tidak melewati jalan raya.
“Jetaa, ayo
berangkat.” Terdengar teman-teman Jeta lewat di depan rumah, membawa payung
masing-masing.
“Tunggu
sebentar, ya!” teriak Jeta dari dalam.
Jeta
mencari payungnya, ketemu. Dia mencari Ibu dan mencium tangan beliau.
“Jeta
berangkat ya, Bu,” ujar Jeta.
“Hati-hati
ya, Ndhuk,” jawab Ibu.
Jeta
bergabung dengan teman-temannya yang masing-masing membawa payung kecil
beraneka warna. Jeta sendiri suka warna biru. Mereka berangkat sekolah dengan
riang meski gerimis turun.
***
Di
kelas IPA, Pak Sandi sedang menerangkan asal-usul terjadinya hujan, Jeta
mendengarkan dengan serius. Jeta senang sekali ketika Pak Sandi menerangkan
kalau kita jangan memaki hujan, tetap harus menjaga kesehatan dan lingkungan
agar tidak terjadi banjir.
Pelajaran berikutnya adalah Seni
Budaya dan Keterampilan (SBK). Pak Sandi menerangkan cara membuat payung hias
dari kertas. Sebelumnya beliau menerangkan beraneka macam jenis payung dari
berbagai daerah dan negara. Kata beliau, minggu depan selama tiga hari ada
festival payung di Solo. Di sana berbagai macam jenis payung akan dipamerkan.
“Wah,
keren, coba bisa ke sana ya.” Suara itu dari Jati, teman sekelompok Jeta.
“Aku
juga ingin ke sana, Jat, mumpung ada hari minggu, tapi ndak tahu boleh ayah ibu
tidak,” ujar Jeta.
“Aku
pasti tidak bisa, Jet. Hujan begini aku harus bantu Bapak ngojek payung,” ujar
Jati dengan sedih. Jeta ikut sedih mendengarnya. Jati ini memang suka sekali
dengan payung. Bapaknya tukang reparasi payung keliling dan Jati kalau musim
hujan begini pasti bantu bapaknya mencari uang dengan mengojek payung.
Tak
terasa waktu belajar habis dan semua siswa persiapan pulang ke sekolah. Jeta
mempersiapkan payungnya. Tak disangka, payung Jeta tidak bisa dibentangkan, ada
jeruji yang rusak dan pengunci tidak bisa berfungsi.
Melihat
Jeta yang kebingungan, Jati pun menghampiri. “Ada apa, Jeta?”
“Nggak
tahu nih, payungku rusak, gimana ya?” jawab Jeta.
“Coba
aku lihat,” tawar Jati, Jeta pun memberikan payungnya.
“Wah
Jeta, ini harus kuperbaiki di rumahku, payungmu kubawa dulu ya, kamu bareng aku
saja dulu sampai rumahmu,” tawar Jati. Jeta pun mengiyakan.
Jati
mengantar Jeta dengan payungnya. Jati janji besok pagi akan mengampiri Jeta
sebelum ke sekolah untuk mengembalikan payungnya. Jeta pun mengucap terima
kasih.
Esoknya
ternyata gerimis turun lagi. Jeta menunggu Jati di emperan rumah, Jeta bilang
pada Ibu kalau payungnya dibawa Jati untuk diperbaiki. Tak lama kemudian Jati
pun datang dengan membawa dua payung, satu yang dia pakai, satu lagi payung
Jeta. Jeta senang sekali, Ibu ingin membayar Jati, tapi Jati tidak mau.
***
Jeta
bilang kalau libur akhir pekan dia ingin sekali mengunjungi Festival Payung di
Taman Balekambang, Solo. Kebetulan hari Sabtu, ayah Jeta libur.
“Boleh
ajak Jati, Yah? Bu?” tanya Jeta.
“Boleh,
Jeta. Tapi kenapa ingin mengajak Jati?” tanya Ayah.
“Kemarin
payung Jeta rusak, Yah. Jati memperbaikinya, dibayar Ibu, tapi dia nggak mau.
Jadi Jeta ingin mengajak Jati jalan-jalan,” jelas Jeta.
“Oh
silakan, Ndhuk, ajak Jati, kalau perlu, ajak bapak dan ibunya juga, kita
piknik bareng.” Ayah senang sekali mendengar cerita Jeta.
“Asiikkk.”
Jeta senang mendengar jawaban Ayah.
Esoknya
mereka pergi ke rumah Jati untuk menemui orang tua Jati. Ayah mengajak Jati dan
bapak ibunya jalan-jalan ke Solo. Mulanya Jati ragu-ragu karena dia biasanya harus
mengojek payung, tapi Ayah dan Ibu Jeta memohon sekali.
“Jati
sudah menolong Jeta, izinkan kami mengungkapkan terima kasih,” kata ibu Jeta.
Akhirnya
mereka setuju untuk ikut jalan-jalan. Besoknya mereka berangkat dengan mobil
ayah Jeta. Ibunya Jeta membawa bekal arem-arem dan beberapa makanan untuk dimakan
di sana. Sesampainya di Taman Balekambang, Jati dan Jeta takjub melihat aneka
macam payung yang dipamerkan, ada yang dari Boyolali, Klaten, Denpasar,
Nganjuk, Bali, Padang, ada juga yang dari luar negeri seperti Jepang, Thailand,
Mexico, Inggris dan Jerman. Semua berbeda, tidak seperti payung yang biasa
diperbaiki Jati dan ayah Jati. Mereka juga melihat cara membuat payung tersebut
serta mendengar sejarahnya dari penjaga pameran, sedangkan ayah Jeta sibuk mengambil
foto. Setelah puas jalan-jalan, mereka menggelar tikar, makan bekal sambil
melihat rusa yang berjalan ke sana kemari.
“Terima
kasih Jeta, sudah mengajakku jalan-jalan,” kata Jati
“Sama-sama.
Terima kasih sudah memperbaiki payung biruku,” jawab Jeta
Mereka semua bergembira dan pulang sore harinya. Jalan-jalan kali ini akan selalu dikenang oleh Jati dan Jeta.[]
Impian Nopitasari, Menulis fiksi berbahasa Indonesia dan Jawa. Sedang berbahagia menyambut buku keduanya, sebuah kumpulan dongeng anak berbahasa Jawa berjudul Si Jlitheng: Dongeng Bocah Abasa Jawa (penerbit Babon, 2020).
0 comments