Hujan Bulan Juni dan Dialog Imanjiner Tentang Sastra Kudus
Bulan Juni oleh sebagian
besar pecinta sastra, puisi, selalu dihubung-hubungkan dengan penyair Sapardi
Djoko Damono (SDD). Tak heran, puisi berjudul Hujan Bulan Juni, karya penyair gaek itu memang sangat fenomenal.
Pemusik. sineas, taeterwan, banyak yang tertarik mengalihkan bentuknya menjadi
lagu, film, dan teater. Maka jadilah puisi tersebut dikenal hingga lintas batas
penikmat dan apresian beberapa cabang
kesenian. Orang bisa menikmati dan mengapresiasinya tidak melulu dalam bentuk
aslinya sebagai puisi. Namun juga dalam bentuk musik, film, teater bahkan novel.
Hal yang sungguh sulit terjadi untuk puisi lain. Baik karya penyair yang sama
apalagi karya penyair berbeda.
Inilah puisi itu,
“tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik
rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak kakinya
yang ragu-ragi di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak
terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
Puisi yang liris, indah
dan mistis. Berulang membacanya, saya seperti dituntun masuk ke dalam suasana tintrim.
Sunyi yang menyimpan sesuatu yang melenakan sekaligus mencekam. Suasana yang
mengajak jiwa saya mengembara ke dunia antah berantah. Dunia transenden penuh kuntum
tanda tanya. Dunia yang sempit namun banglas tak berbatas. Lindap cahaya matahari
berkelindan dengan sepoi angin yang sesekali mendesiskan suara serupa bisik
mesra. Bisik mesra yang tidak pernah jelas mana hulu mana muaranyanya. Luar biasa. Empat puluh
tahun menulis puisi, saya sungguh bermimpi bisa membuat puisi seperti itu. Bukan
soal popularitasnya, tetapi lebih karena kesederhanan diksi yang digunakan serta
kedalaman makna yang disandangnya. Benar-benar
istimewa.
Bulan Juni memang
istimewa bagi saya. Di bulan itu selalu datang tarikan ingatan, semacam panggilan
kenangan pada seorang sahabat sejati, pejuang sastra Kudus yang telah
mendedikasikan sebagian hidupnya bagi bertumbuhkembangnya sastra di kotanya, almarhum
Y. Ms. Apa kaitan almarhum dengan bulan Juni? Salah satu inisiator berdirinya
komunitas penulis KPK (Keluarga Penulis Kudus) itu lahir pada bulan Juni.
Tepatnya 17 Juni 1954. Andai masih bersama-sama kita, 2 hari lalu dia merayakan milad yang ke-66.
Seperti biasa, sore itu
Juni berudara kering. Entah berapa kali saya mengibas-ngibaskan kipas bambu ke
tubuh, untuk sedikit mengeringkan peluh yang membasahi kaos oblong yang saya
kenakan. Cuaca bulan keenam memang sering membuat orang jadi merindukan tiupan
angin sejuk. Gerah yang meneror sepanjang hari membuat orang jadi ingin berendam
di bak mandi atau duduk mencakung lama-lama di ruang ber-AC.
Terdengar lima kali
dentang jam dinding dari rumah tetangga. Petang sudah membayang. Sebentar lagi
senja lalu malam. Bagi seorang penyair, di rumah sendirian di waktu petang, apa
yang lebih menyenangkan selain menghanyutkan diri dalam riak alun sungai
imajinasi. Melamun, berkhayal, kata awam.
“Asalamualaikum!”
Berselang-seling dengan ketukan pintu beberapa kali terdengar salam. Cukup
pelan.
“Waalaikum salam.” Dengan gegas saya melangkah. Seorang
sahabat yang bertahun tidak jumpa saya lihat berdiri di depan pintu. Pakaiannya
serba putih. Pun demikian senyum tipisnya.
“Apa kabar?”
“Alhamdulillah.”
“Kok sepi?”
“Iya. Istri menengok cucu. Anak-anak sudah asyik sendiri
dengan dunianya.”
“Waktu begitu cepat berlalu. Pada masanya anak-anak
memang mesti pergi. Anakmu bukan anakmu. Dia adalah milik kehidupan, kata
Kahlil Gibran.”
“Begitulah. Rasanya
benar juga ujar Friedrich Nietzsche,
pada dasarnya hidup manusia memang sendirian. Bagaimana menjadikan kesendirian itu bernilai sekaligus berarti,
itulah yang menyebabkan kita gemar menulis puisi.”
“Sepeninggal saya,
bagaimana perkembangan sastra di kota ini?”
“Secara umum baik-baik
saja. Banyak anak muda yang tertarik dengan kegiatan menulis sastra. Puisi,
cerpen, novel, esai, banyak lahir dari mereka. Komunitas penulis juga bermunculan
di mana-mana. Di Undaan, Gebok, Dawe, Kota, Bae, eksis dengan nama dan bendera
masing-masing. Prospektif.”
“Keren nian!”
“Benih yang Anda tebar
taburkan sekian tahun lalu kini sudah bertumbuh kembang.”
“Alhamdulillah. Lalu
adakah perkembangan itu sudah seturut kualitas karya mereka?”
“Itu relatif.”
“Iya, benar relatif.
Tapi, soal kualitas bisa ditengarai dari bobot karya mereka bukan?”
“Itulah masalahnya. Jujur saja, saya tidak bisa mengikuti
semua sebaran pemuatan karya mereka. Sebab kebanyakan disiarkan dalam medsos, facebook, twitter, whatsapp, dan semacamnya. Saya hanya bisa sedikit mengikuti karya
mereka yang dimuat di media-media arus utama atau karya-karya mereka, yang
secara fisik maupun proses titi kreatifnya berdekatan dengan saya.”
“O, begitu ya? Terus dari yang Anda ketahui itu,
bagus-bagus karyanya?”
“Hemat saya, baragam. Khususnya puisi, banyak yang bagus.
Rasanya, saat seusia mereka, kualitas puisi kita di bawah karya mereka.”
“Hebat! Bila begitu, kini sastra kota kita kian dikenal
di level nasional dong?”
“Andai saja komunitas-kumunitas itu semua anggotanya
memiliki elan dan kredo yang sama, mungkin apa yang Anda katakan itu, benar.”
“Maksudnya?”
“Sekalipun karya-karyanya bagus, mereka kurang berani
berkompetisi ke luar. Sependek pengetahuan saya, mereka jarang kirim karya ke
media cetak atau ikut bersaing dalam seleksi lomba atau pembuatan buku antologi
puisi. cerpen yang diselenggarakan oleh komunitas-komunitas penulis kota lain.
Seperti Komunitas Radja Ketjil, Negeri Poci, Jakarta, Yayasan Jembia Emas,
Tanjung Pinang, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan berbagai kota, Balai Bahasa
Jawa Tengah, dan lain-lain. Banyak
sekali!”
“Kok begitu ya?”
“Seperti yang berlaku kapan pun dan di mana pun, kualitas
apalagi elan mustahil diseragamkan. Perjuangan, pengorbanan, kepercayaan, dan
hasrat kuat dalam proses untuk sampai ke titik jadi, itulah yang membedakan
penulis yang satu dengan yang lainnya. Itulah yang menyebabkan ada (sedikit) penulis
yang berhasil-secara karya-dan ada pula (banyak) penulis yang gagal.”
“Itu hukum sebab akibat, alamiah. Pepatah Arab mengatakan
mann jadda wa jadda. Pertanyaannya, di
antara mereka, sesama anggota komunitas, apakah tidak terjadi saling asah,
asuh, seperti zaman kita dulu? Asah, asuh -syukur-syukur juga asih, yang
memungkinkan terbentuknya kesatuan elan yang
kesenjangannya gradual. Tidak mencolok.”
“Soal itu saya tidak tahu persis.”
“Tadi Anda katakan karya penulis muda kota kita,
khususnya puisi bagus-bagus. Lalu bagaimana dengan prosa mereka? Cerpen
misalnya?”
“Secara umum memprihatinkan. Setidaknya itu saya ketahui
dari karya peserta lomba Menulis Cerpen Gusjigang yang diadakan Tajug.net,
beberapa waktu lalu.”
“Oya? Tajug.net gerangan komunitas apa itu?”
“Semacam web, yang diinisiasi dan dikelola secara nirlaba
oleh beberapa teman anggota KPK. Tajug.net dihadirkan dengan tujuan
tunggal, yakni mengajak penulis muda Kudus bersama-sama belajar mengasah
penanya di media daring itu.”
“Serupa Ladang Satra di Radio Muria dulu ya?”
“Benar sekali.”
“Jadi, Tajug.net merupakan sub-kegiatan KPK?”
“Iya, kegiatan KPK dalam bentuk literer.”
“Lantas kegiatan Panggung KPK-nya?”
“Macet. Anak-anak muda sekarang kurang suka berdiskusi.
Mereka lebih suka performa. Dan itu tidak terjadi di Kudus saja. Di mana-mana
hal serupa acap saya saksikan.”
“Wah, sayang. Padahal diskusi itu yang penting.”
“Zaman sudah berubah. Kini, hal yang penting dianggap tak
penting dan yang tak penting dianggap penting.”
“Lantas, secara organisatoris keadaan KPK bagaimana?”
“He…he…he….”
“Kok malah tertawa sih? Mati suri ya?”
“Begitulah.”
“Berat memang menggerakkan organisasi kesenian.
Pengurusnya, terlebih ketua, mesti memiliki ambisi berlebih dan kegilaan
permanen. Ia harus tahan banting. Ia harus siap bertiwikrama menjadi konseptor,
eksekutor, sekaligus sponsor. Mengurus organisasi kesenian tidak cukup hanya
dengan cinta, Namun pada momen tertentu diperlukan juga keberanian untuk
bersuara tinggi sembari gebrak-gebrak meja. Orang yang bermental priayi, dalam
arti lebih minta dilayani daripada melayani, mustahil bisa sukses mengetuai
organisasi kesenian. Lebih-lebih bila ia punya moto, tangan di bawah lebih
seksi daripada tangan di atas.”
“Teramat sulit mendapatkan orang seperti itu?”
“Itulah sebabnya, mengapa banyak organisasi kesenian yang
mati sebelum berkreasi. Yang tinggal papan nama saja. Punya nama tak punya
aktivitas. Tetapi terlepas dari itu, saya mohon, apa pun, tolong, secara resmi,
KPK jangan dibubarkan.”
“Sekalipun kondisinya seperti kerakap tumbuh di batu?”
“Kalaulah terpaksa bubar, bukan dibubarkan. Tetapi terbubarkan
oleh kehendak waktu.”
“Baiklah, akur. Nanti akan saya sampaikan kepada
teman-teman yang masih menaruh hati pada keberadaan KPK. Hanya untuk diketahui, tanpa KPK, kegiatan
sastra di kota kita baik-baik saja kok. Banyak anak muda potensial yang
bilamana mereka mau serius, niscaya akan menjadi.”
“Tugas Anda untuk mendampingi mereka.”
“…?”
Nyaring terdengar kumandang bang dari musala dekat rumah.
Saya tergeragap. Terasa ada bayang-bayang yang pergi menjauh. Imajinasi saya
pecah berkeping seperti pinggan yang terbanting di bebatuan. Dengan berlari
kecil saya bersegera mengambil air wudu.
Mukti Sutarman Espe, penyair, redaktur Tajug.net, mukim di Kudus.
0 comments