Karantina Hati Konah
Pipiek Isfianti
Konah berkali-kali menghela
napas. Masker yang menutupi hidung
dan mulutnya terasa ingin meloncatkan
paru-parunya. Sesak dan gerah. Apalagi perjalanan delapan jam dari Jakarta menuju Kudus
dengan truk milik Jarwo, adik sepupunya, terasa
menggoncang tubuh dan jiwanya.
***
"Jadi
nebeng nggak Yu?" tanya Jarwo kemarin malam.
Konah masih terdiam. Berpikir.
Bagaimana dengan tunggakan para nasabahnya. Sebagai pemilik usaha segala
perkreditan, uang, barang, dan sebagainya, di musim
wabah koronavirus keparat
ini, banyak nasabah yang tak
memenuhi kewajibannya.
Ya, ya,
sudah lima tahun ini ia menekuni pekerjaannya. Ia sebenarnya hanya meneruskan
usaha Hambali, suami keduanya yang sudah meninggal. Sejak muda, Hambali menjadi tukang kredit segala macam barang dan membungakan uang.
Karena kegigihan dan kekejamannya, usahanya
berkembang pesat.
Bagaimana tidak, tak ada alasan untuk
menunda pembayaran. Apalagi bunganya begitu tinggi. Tapi, toh nasabah Hambali kian bertambah. Telat sehari saja, maka barang yang dikredit
akan diambil paksa. Jika tak membayar? Maka siap-siaplah babak belur. Tukang
tagih Hambali sangat banyak, dan mereka sangat kejam. Hidup di ibu kota, apa sih yang boleh santai? Semua harus serba cepat dan tega.
Begitulah Konah hidup bersama
Hambali selama ini. Tentu saja, cara kerja Hambali sudah mendarah daging dalam
jiwanya. Maka setelah Hambali meninggal karena penyakit kanker hati lima tahun
lalu, Konah dengan cekatan mengambil alih pekerjaan mendiang suaminya.
Jangan dikira karena perempuan,
Konah lebih lembut atau lebih bisa dinego daripada Hambali. Ia justru lebih
kejam. Perempuan empat puluh tahun itu tak segan menghajar sendiri nasabahnya
yang bandel tak membayar. Jari manisnya yang tersemat cincin akik warna merah
muda, sukses
bikin pipi siapa pun lecet dan memar
jika sudah dibenturkan. Perempuan yang sebenarnya berwajah manis itu lebih kejam dari
Hambali. Tak ada lagi
negosiasi pelonggaran jatuh tempo jika sudah
berurusan dengan Konah.
Selama ini nasabahnya yang
tersebar di pasar-pasar, pabrik-pabrik
atau kampung-kampung tak ada yang mau berurusan dengan Konah. Mereka menyebut
Konah dengan "Preman Wedok", atau yang
berarti preman perempuan. Ketika perempuan berperawakan sedang, dengan rambut dikuncir
satu ke belakang itu, sudah berkeliling dengan motor matiknya, maka
akan menciutkan nyali siapa pun yang punya utang
dengannya.
Kalau saja ia tak mendapat kabar, bahwa
anak satu-satunya dengan suami pertamanya sakit
keras, ia tentu masih menimbang
akan pulang ke Kudus atau tidak. Tapi
suara emaknya yang menangis di telepon pagi itu, membuat hatinya gundah. Ia harus
pulang, tapi ini sedang wabah koronavirus, bagaimana ia bisa pulang?
"Gimana Mak, ini lagi
corona, aku nggak
boleh meninggalkan Jakarta,"
katanya pada emaknya.
"Wulan sakit Nah. Badannya panas. Emak takut kalau ia kena corona." Getar
suara emaknya semakin membuat hatinya berdebar.
"Haduh,
iya Mak. Aku usahakan pulang secepatnya," kata Konah cepat.
Mendadak badan Konah panas dingin. Koronavirus
betul-betul mematahkan segala sendi kehidupan, termasuk kehidupannya. Nasabahnya banyak yang tak mengangsur dengan alasan koronavirus. Oalah
Gusti, malah ini dapat kabar bahwa Wulan jatuh sakit. Bagaimana kalau Wulan
betul-betul positif
terinfeksi koronavirus? Ada kemungkinan memang, karena Wulan selama ini kuliah di Solo, yang statusnya masuk dalam wilayah zona merah. Konah cemas.
Kali ini Konah nekat. Konah
memutuskan ikut truk Jarwo yang sudah biasa mengantar sembako Kudus-Jakarta. Keputusan
itu dipilih, karena menurut info yang didengarnya, hanya kendaraan pengangkut
bahan makanan saja yang masih diperbolehkan beropreasi.
"Tapi
nanti kalau sampai Kudus, harus di karantina dulu bagaimana Yu?" tanya
Jarwo.
"Loh maksudnya gimana? Kalau
aku tidak ODP atau PDP itu apa harus dikerangkeng kayak anjing?" jawab
Konah sewot.
"Nggak tahu Yu, katanya siapa
pun yang dari zona merah harus dikarantina dulu empat belas hari."
"Halah
mbuh, aku nggak mau pokoknya!"
kata Konah sewot.
Jarwo
terdiam. Ia tahu karakter sepupunya itu memang keras kepala.
***
Setelah subuh, Konah sampai di
Kudus. Baru saja ia membuka pintu truk, beberapa polisi sudah menyambutnya. Ia
harus melakukan serangkaian pemeriksaan. Konah harus dikarantina. Konah ngamuk,
mengata-ngatai petugas. Tapi perintah tetap perintah. Walau
berkali-kali ia mengeluarkan lembaran merah dari dompetnya. Tapi petugas bergeming.
Konah tetap dikarantina.
Konah dibawa ke sebuah tempat oleh petugas. Selama perjalanan ia terus saja memaki-maki.
"Semprul,
kampret, aku ini bukan maling,
ya!"
"Maafkan kami, Bu, tapi ini
memang prosedur dari pemerintah. Siapa pun yang datang dari zona merah harus
dikarantina selama empat belas hari dulu," jawab petugas tegas.
Sampailah
mereka di sebuah tempat. Konah terperangah. Pondok pesantren!
"Aku
nggak mau di sini. Aku maunya di hotel! Aku akan bayar berapa pun!”
Tapi percuma. Ia tetap
ditempatkan di pondok pesantren itu. Konah mengamuk. Semua nama-nama binatang
keluar dari mulutnya. Beberapa orang yang ternyata sudah berada di situ
menatapnya pilu.
"Nah, tenang. Ini aku, Imron.
Anakmu Wulan juga sudah membaik. Ia ternyata sakit tipes." Sebuah
suara mengejutkannya.
Konah menghentikan amukannya. Di
hadapannya ada sosok yang sudah lama dikenalnya. Lebih tepatnya, pernah mengisi hatinya di masa akil balig.
"Gus
Imron?" tanya Konah bergetar.
"Ya
Nah, ini aku Imron."
Maka mengalirlah cerita Gus
Imron, bahwa pondok pesantren ini miliknya. Ia sediakan untuk membantu
pemerintah sebagai salah satu tempat karantina para pendatang.
Konah terperangah. Ia ingat
betul, bahwa ia pernah mengaji walau cuma sebentar di pondok pesantren ayah Gus
Imron. Ia juga ingat, bagaimana debar pertama cintanya untuk anak pak kiai itu.
Tapi ia kubur dalam-dalam, ia sadar siapa dirinya. Ditambah keputusannya untuk
menikah dengan Sugeng, suami pertamanya, karena
bapaknya berutang banyak pada orang tua Sugeng. Akhirnya mereka
bercerai, karena tak saling mencintai. Wulan telah lahir dari rahimnya, dan Konah tetap lari ke
Jakarta. Ia pun bertemu dengan Hambali yang menuntunnya menjadi rentenir kejam seperti
sekarang ini.
Kenangan kelam itu mencabik-cabik
hati Konah. Tapi, ah, persetan! Jakarta sudah mengajarinya akan
keras kehidupan.
***
Kini selama dikarantina di pondok
pesantren Gus Imron, ia tiap hari bisa bertemu Gus Imron. Sama seperti dirinya
yang sudah menjanda, Gus Imron juga sudah menjadi duda. Istri Gus Imron telah
meninggal dua tahun lalu. Dan entahlah, getar puluhan tahun lalu yang
mati-matian ia kubur, kini kembali terasa. Walau Konah tak berani memunculkan
rasa itu kembali, ia sadar betul bahwa ia yang selama ini dikenal di
Jakarta sebagai "Preman Wedokan" tak
mungkin bisa mendapatkan hati orang sealim Gus Imron.
Selama dikarantina di pondok pesantren Gus Imron, semakin lama ia
menghindar, semakin kuat bayang Gus Imron. Apalagi, kini
setiap hari—dengan tetap menjaga jarak—Gus Imron
menyampaikan tausiah
singkat setelah salat
tarawih.
Tausiah Gus Imron tentang
pentingnya urusan akhirat dibandingkan dengan urusan duniawi, membuat
Konah malu. Apalagi saat pandemi seperti ini, betapa terasa begitu berharganya
iman. Kita tidak tahu kapan Allah akan memanggil kita, sehingga bekal untuk
akhirat harus kita siapkan sungguh-sungguh.
Tiap hari sesudah sahur dan
setelah subuh, Konah juga bisa mendengar Gus Imron tadarus. Begitu dekat,
begitu syahdu. Sungguh, Konah betul-betul menikmati masa karantina ini seperti membuatnya terasa lahir kembali.
***
Tak terasa empat belas hari telah terlampaui. Setelah diadakan
serangkaian pemeriksaan, Konah diijinkan pulang ke desanya. Dengan diantar Gus
Imron, Konah menemui Wulan dan emak yang sudah menjemput di kantor pesantren Gus
Imron.
"Nah, tadi malam Gus Imron
datang ke rumah kita. Sebelumnya beliau juga sudah sering menjenguk Emak. Gus
Imron bermaksud menjadikan kamu istrinya," kata emak lugas.
Konah terperangah. Tubuhnya
bergetar hebat. Panas dingin tak keruan.
Sungguh, ini seperti tanda-tanda terinfeksi koronavirus yang banyak dikatakan orang. Konah tak menyangka, empat belas hari
dalam karantina, Allah telah temukan ia dengan jodohnya. Dan ia bukan orang
lain. Ia lelaki yang menjadi impiannya semasa remaja. Ditatapnya mata teduh Gus
Imron dengan perasaan tak menentu.
"Nah maafkan aku yang
langsung menemui Emak. Karena rida Emak adalah
segalanya. Bagaimana Nah, kamu bersedia kan?" tanya Gus Imron lembut.
Konah langsung mengangguk. Tak
ada lagi yang ia ragukan saat ini. Ia begitu mantap untuk merubah hidupnya,
mengkarantinakan hatinya pada Gus Imron.
“Alhamdulillah,
terima kasih ya
Nah,” kata Gus Imron.
Konah
menangis tersedu. Sungguh setelah sekian lama, baru kali ini ia menangis.
Pipiek Isfianti, lahir di Semarang. Menulis sejak SMP. Karya-karyanya
terangkum dalam buku antologi puisi "Perempuan Menanak Sajak" (Taman
Budaya Jawa Tengah, 2019), buku kumpulan cerpen kebangsaan ( BBJT, 2019), buku
kumpulan cernak "Sahabat dari Luar
Angkasa (2018), buku antologi cernak "Cermin Cahaya" (BBJT, 2018),
kumpulan cerpen "Janji Sri"
(2017), antologi cerpen Kisah-kisah Kota Lama Semarang (Forwakot 2018),
antologi puisi "Perempuan Mengasah Kata" (TBJT, 2017), antologi Puisi "Bermula dari Al Quds" (2017), "Bayang-bayang Menara" (2016), antologi Puisi "Membaca Jepara" (DKJ 2015), Inspirasi Untaian Nama Bayi
(IIDN 2014), antologi puisi Penyair Indonesia Kartini ( 2012), antologi cerpen
remaja 4, Bola Salju di Hati Ibu (Yayasan Obor Indonesia), Bse "Aku Mampu
Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMA dan MA kls X" (Kemendiknas), antologi
puisi "Habis Gelap Terbitlah Sajak" (Forum Sastra Surakarta 2013), antologi cerpen Mastera SeasiaTenggara
dari Pemburu ke Terapeutik (Kemendiknas 2005), antologi cerpen remaja April
Mop Suara Merdeka Grup, Cerita
bersambung FIVE GIRLS dimuat di tabloid remaja tren Suara Merdeka, Mewakili
Indonesia di ajang penulisan Mastera cerpen se-Asia Tenggara (2003) Pusat
Bahasa Kemendiknas. Pada April 2019 cerpennya berjudul "Daun Tebu
Keemasan" meraih penghargaan sebagai
Cerpen Pemenang I - Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi – ICLaw Green Pen
Award 2019. Nopember 2019, bukunya "Janji Sri" menerima penghargaan
Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah untuk kategori buku kumpulan cerpen
terbaik. Kini tinggal di Kudus.
0 comments