Puisi-Puisi Tiyo Ardianto; Dunia Seorang Tua

Tiyo Ardianto

puisi tiyo ardianto


DUNIA SEORANG TUA


Seorang tua memandang jauh : tanah lapang dan beringin
suara angin—rumput dan takdir sama kering
seperti tak pernah ada air, toh hidup itu tak ada
wajar bila setiap manusia akan lupa
“tetapi mengapa ada dosa, Tuhan atau saya
yang menciptakannya?”

Mungkin saja, ia memimpikan hutan tetap
dengan beringin tetapi tanpa angin (ia cemas pada
badai dan aroma alam yang bercampur racun)
“misal kehidupan adalah hutan” katanya
“pohon tinggal bertahan dan tumbang”

Ia selalu sabar pada seberapa cepat dosa bekerja
mengacaukan iklim dan musim

“dan masih perlukah saya mencintai
dunia?” tanyanya.


Bae Krajan – Kudus, Mei 2019







APAKAH PERCAKAPAN INI?


Asal engkau, Tuhan tak marah kepadaku (begitu
ia berdoa) aku terima apa saja
kehendakMu

sebab tak ada yang aku rindukan selain
perjumpaan kita, sebelum kesunyian meledak
cahaya memadat dan usia semesta baru enam hari

Engkau sangat lihai memulai percakapan, mungkin :
nama apa yang paling pantas untuk bapak manusia
perlukah seorang lain dari tulang rusuknya? – seperti telah
Kucipta engkau, kekasihKu

: sungguh kalau bukan karenamu (begitu
Tuhan berkata) tak akan Aku cipta
jagat raya.


Bae Krajan – Kudus, Mei 2020






ALTOCUMULUS


Altocumulus : seperti kapas sobek, hinggap di langit lindap
tak akan menjawab batas ketinggian gedung (dan gunung
sebelum bumi dihuni) tetapi ia tahu sungguh
perkara teduh, tetapi tetap tak tahu
sukacita saat jatuh, saat kembali utuh

Ia menatap kita dari jauh : manusia terpecah yang
secara serempak sedang menjemput pesta prasangka
kenduri curiga, ritual tolak karunia
lengkap
dengan aneka jamuan mimpi
tentang ketinggian gedung, kemajuan yang
sebenarnya kemunduran

Ia lalu ingat pada badai yang ditandai
pecah memanggil petir--itu yang
ia bawa sebagai isyarat langit, bukan?
: tapi kita tak menangkapnya, ia merasa percuma.


Bae Krajan - Kudus, Mei 2020


Tiyo Ardianto, tinggal di Kudus. Belajar kepada siapa saja dan di mana saja. Terpilih sebagai peserta Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XI. Jejak puitiknya masih sangat basah sebab ia juga masih sangat bocah.

0 comments