Ahmad Pria Pilihanku
Menjadi orang Kudus tidak pernah terlintas
dalam anganku. Kota Jenang itu memang membekas dalam ingatan kanak-kanakku.
Kakek sering mengajakku berziarah ke Makam Sunan Kudus. Bangunan Menara dan
Masjid Al-Aqsa itu tergambar jelas di pelupuk mata. Begitupun gapura, tempat
wudu, penjaga makam, dan nisan yang tertata rapi terus tergambar di memoriku.
“Ta, kamu sudah mantap dengan Ahmad?”
Pertanyaan Mbak Nurul kembali mengusik hatiku.
Aku hanya mengangguk. Lidahku langsung kelu.
Aku bingung meyakinkan keluargaku. Semua orang sepertinya sepakat pada satu
hal, mereka menolak pernikahanku dengan pria Kudus itu.
“Apa sih istimewanya dia?” Pertanyaan kakak
pertamaku kian membuatku bingung. Bekalku hanya keyakinan kalau Ahmad adalah
laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Aku suka
keseriusan dan keberaniannya menerima
tantanganku.
Pria sederhana itu langsung datang menemui
Bapak setelah pertemuan keduaku dengannya. Persis seperti doaku. Aku tidak mau
pacaran karena hanya buang-buang waktu. Mauku langsung menikah. Jadi,
pacarannya setelah menikah.
Allah menjawab doaku dengan mempertemu-kanku
dengan Ahmad. Kali pertama jumpa, biasa saja. Rasa suka itu belum muncul. Aku
hanya merasa nyaman berada di sampingnya.
***
“Sekarang kerja di mana? Kalau sudah menikah,
mau kerja apa?” Penolakan Ibu terlihat sangat jelas dari berbagai pertanyaan
yang diajukannya kepada Ahmad.
Pertanyaan dari Ibu dijawab Ahmad dengan suara
mantap. Aku tahu Ahmad belum mem-punyai pekerjaan tetap. Selama ini ia adalah
pekerja lepas.
Kekhawatiran Ibu kuanggap wajar. Mana ada orang
tua yang menginginkan anak perempuannya sengsara. Apalagi pekerjaanku sudah
mapan. Setiap bulan aku menerima gaji tetap. Aku sendiri terbiasa berpikir
laksana air mengalir. Niat baik pasti ada rezekinya.
Ketidaksukaan Ibu terhadap Ahmad di-sampaikan
ke Mbak Nurul, tentu dengan bahasa yang menurutku berlebihan. Ibu baru mengenal
Ahmad. Kenapa tidak memberi kesempatan kepadanya untuk membuktikan diri?
Mbak Nurul dan suaminya langsung
meng-interogasiku melalui telepon seluler. Kujawab saja dengan tenang. Aku
ingin meyakinkan mereka berdua, kalau ini yang terbaik untukku. Namun mereka
masih saja tidak percaya dengan kesiapanku. Semua bermuara pada satu hal,
pekerjaan Ahmad.
“Mbak itu hanya khawatir, Adik tidak bisa
adaptasi dengan Ahmad dan keluarganya. Hidup Adik sudah mapan. Apa tidak
sayang?”
“Adik percaya, bahwa rezeki Allah-lah yang
mengatur. Manusia hanya berdoa dan berusaha. Hasil akhir Adik kembalikan kepada
Gusti Allah. Pasti ada jalan buat kami berdua,” jawabku mantap.
Hari-hari menjelang pernikahan dengan pria
berkumis tipis itu memang dipenuhi drama. Ada saja yang mengusik persiapan yang
sudah matang. Persoalan surat untuk menikah sempat menjadi kendala utama.
Padahal masih dalam wilayah Indonesia.
Ada banyak salah paham yang harus dihadapi
dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Bermula dari KTP-ku yang berbeda dengan
tempat akad nikah, dan lain sebagainya. Syukurlah urusan surat-surat akhirnya
selesai sebelum hari H.
***
Menikah dengan
orang Kudus, berarti siap dengan perbedaan adat istiadat dan budaya. Aku yang
terbiasa mandiri, tidak banyak bicara kepada yang tidak kenal, dan jarang
keluar rumah, malah menjadi gunjingan tetangga.
Mereka tidak tahu kalau pekerjaanku di depan
laptop. Aku sendiri memang memilih di dalam rumah, mengerjakan naskah yang
harus di-selesaikan satu per satu. Selain mengajar di sekolah, aku menulis
buku. Hasilnya bisa untuk membantu asap dapur tetap mengepul.
Sejak menikah, Mas Ahmad mengenalkanku dengan
Gus Baha lewat jalur daring. Pengajiannya selalu diperlihatkan setiap pagi dan
malam hari. Aku yang awalnya belum tahu, akhirnya belajar agama dengan pak kiai
dari Rembang itu.
Suamiku memang rajin mengunduh pengajian Gus
Baha. Kajian Gus Baha sangat runtut dan terperinci. Pengetahuan agamaku pun
bertambah. Walau dulu pernah kuliah dan mondok, aku menyadari ternyata ilmu
agamaku masih sangat sedikit. Apalagi sudah lama ilmuku belum ku-upgrade.
Selama menikah dengan Mas Ahmad, karakter asli
orang Kudus begitu terlihat dalam keseharian. Wajah suamiku biasa saja, seperti
orang Jawa pada umumnya. Dia berperawakan tinggi, kulit sawo matang, dan
berambut keriting.
Mas Ahmad orangnya pendiam, sedangkan aku
sebaliknya. Hal itu yang sering menjadi alasan pertengkaran dan salah paham di
antara kami. Seiring perjalanan waktu, aku bisa belajar menahan diri. Aku hanya
akan mengomel untuk hal-hal penting. Kucoba menahan ego yang terkadang masih
menguasai diri.
Kelakuan Ahmad memang berbeda dari pria yang
kukenal. Selain sangat sederhana dan apa adanya, ia tipikal laki-laki yang
menerima apa adanya. Itu terlihat dari makanan yang ia konsumsi, baju yang ika
kenakan, dan kendaraan sarana transportasinya. Bahkan selama menikah, Mas Ahmad
tidak pernah beli baju baru. Membeli makanan di warung atau kafe pun tak
pernah. Makanan kafe tidak cocok dengan lidah suamiku. Jadi, kalau jajan,
kupilih warung yang menyedia-kan sayuran segar.
***
Suamiku sering menghadiri pengajian. Di desa
masih ada tradisi berkat saat acara tahlilan, aqiqah, khitanan dan sebagainya.
Kami pun sering mendapatkannya.
Di Kudus, pondok pesantren begitu banyak. Kalau
mau belajar ilmu agama, tinggal pilih ke pondok mana.
Mas Ahmad dan aku pernah mengikuti pengajian
yang diadakan di Masjid Al-Aqsa. Ketika itu kami baru selesai ziarah ke Makam
Sunan Kudus. Semua yang hadir membawa kitab kuning. Ada seorang kiai yang
membacakan kitab berada di depan. Terlihat para santri menyimak dengan serius
dan menuliskan catatan kecil di kitabnya.
Masjid ini juga sering menjadi tempat pertemuan
orang tua dengan anaknya yang mondok di daerah Menara.
Aku bisa menyaksikan anak yang menangis ketika
mencium tangan ibu dan ayahnya. Ada anak yang tersenyum ketika melihat orang
tuanya.
Ketika waktu salat fardu tiba, azan akan
berkumandang dari menara yang sudah berumur ratusan tahun. Aku kagum dengan
bangunan yang tetap kokoh berdiri. Kulihat banyak pengunjung yang berfoto di
tempat itu. Ada yang foto menggunakan gawai pintar milik sendiri atau minta
bantuan jasa foto keliling yang biasanya langsung jadi hasilnya.
Aku sempat menyusuri sisa kejayaan masa lalu.
Bangunan rumah kuno dengan tembok tinggi masih terpelihara hingga kini.
Beberapa bangunan sudah mengalami renovasi. Jalanan sekitar Menara Kudus sudah
dipenuhi pedagang yang menjajakan aneka penganan, peralatan ibadah, dan
oleh-oleh khas Kudus.
Sebagian pedagang memang ada yang asli Jawa,
keturunan Arab, dan Cina. Aku sering membeli Jenang Kudus yang manisnya selalu
bikin kangen. Dulu, Ibu selalu memberiku oleh-oleh Jenang Kudus yang dibungkus
plastik, diberi merek, dan diikat dengan benang wol. Sayangnya bentuk jenang
yang seperti itu sekarang sudah tidak ada. Sepertinya tuntutan zaman membuat
jenang ikut berganti kemasan.
Ucapan Mas Ahmad di awal menikah, perlahan
terbukti. Dia mulai merintis usaha baru untuk menghidupi keluarga. Usaha yang
dimulai dengan penuh kejujuran. Usaha sendiri dan tidak bergantung dengan
orang. Aku pun mendukung semua langkahnya.
Kuyakin perusahaan yang dia dirikan akan jaya
di masa yang akan datang. Memang tidak mudah memulai sesuatu yang baru. Kerja
keras, kerja cerdas, dan disertai doa yang dipegang teguh Mas Ahmad hingga
sekarang.
Fuatuttaqwiyah El-adiba adalah penulis Restu, Melodi Cinta, dan 145 antologi.
Perempuan ini adalah leader Indscript,
Kepala Divisi Buku Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN), trainer menulis, mentor Speechnotes,
mentor puisi, editor, dan blogger. Founder
Nderes Literasi dan Sehari Satu Paragraf ini bisa disapa di facebook:
Fuatuttaqwiyah El-adiba, instagram: @fuatuttaqwiyah, twitter: @Fuatuttaqwiyah1,
blog: eladiba.blogspot.com, wattpad: aqwiyah.
0 comments