Puisi-Puisi Yohan Fikri M; Dadaku Halaman Buku
Yohan Fikri M
DADAKU HALAMAN BUKU
—buat
Adilah Pratiwi
Barangkali, tak segala tangis dapat
ditulis,
sebab kadang kala, air mata serupa lema
yang gemar kau sembunyikan
dari mata sebuah kamus bahasa.
Tetapi dadaku, adalah halaman buku
yang selalu mengosongkan diri
demi memberi ruang
bagi kesedihanmu.
Karenanya, tinggallah di dadaku,
menetaplah di sana selalu;
ruang paling lapang
untuk kau menulis ulang tangis
menjadi sajak-sajak paling manis.
Malang, 2020
DI WARUNG LAMONGAN
Telah berapa banyak pantat manusia
yang duduk di kursi plastik
di warung lamongan itu,
dan menghapus kenangan
yang menempel di permukaan kursi,
yang dulu pernah kita duduki.
Waktu itu, aku duduk sebelah kanan,
dan kau sebelah kiri. Di
tengah-tengahnya,
sedikit basah tempias hujan
dan bercak air bekas kobokan.
Kaki-kaki kita yang kedinginan
saling menghangatkan.
“Pesan apa, Mas?” tanya Si Penjual.
Kutoleh ke kiri, kau toleh ke kanan,
mata kita berpandangan.
Di situlah kita sepakat,
cinta
mekar tak memandang tempat.
“Aku sama sepertimu saja,”jawabmu.
Di sini tak ada daftar menu. Tetapi di
spanduk,
tergambar bermacam lauk:
ayam
gepuk, dara gepuk, lele gepuk,
dan masih bergepuk-gepuk lauk lagi.
Gambar menu yang suka
menipu para pembeli.
Mereka—termasuk saya—berpikir
semua lauk yang tergambar di spanduk itu
tersedia.
Setelah pesan, rupanya penjual bilang,“tidak ada.”
Di sanalah aku mulai percaya,
tak
segala yang tersedia, bisa kita miliki;
dan
kau, tak terkecuali!
Malang, 2020
ORKESTRA RENJANA
Di bawah kubah langit sebiru kenangan,
kudengar tonggeret di pucuk-pucuk bunga
jati
mendendangkan orkestra semesta
yang jadi sasmita peralihan cuaca;
kemarau menggeliat dari balik selimut
musim.
Pelan-pelan, hari-hari mulai sibakkan tirai
dari jendela yang sekian waktu
terbengkalai.
Tetapi di luar sana, dunia layaknya
seligi
yang serasa menujah kedalaman hati.
Rindu adalah ceracau prenjak di
reranting johar,
semarakkan hening-sepi di sekujur
memoar,
Barangkali pulang, hanyalah
sekadar basah di secarik sajadah,
yang perlahan kering di seiring
tamatnya sejumlah rakaat.
“Adakah bagi-Mu, doa-doa yang kami
panjat,
tak lebih alun nada sumbang yang
tak layak disebut tembang?”
Di bawah kubah langit sebiru kenangan,
kudengar tonggeret di pucuk-pucuk bunga
jati
mengalunkan orkestra duka, tak sekadar
jadi sasmita peralihan cuaca, tetapi
juga
repertoar bagi bilur dada para perantau
yang dibelit lilit renjana.
Yohan
Fikri Mu’tashim, lahir di Ponorogo, 01 November
1998. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren HM Putra Al-Mahrusiyah Lirboyo
Kediri, yang sekarang tercatat sebagai mahasiswa aktif di Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia, dan Daerah, Universitas Negeri Malang, serta santri di Ponpes
Miftahul Huda Gading, Malang. Aktif menulis puisi dan sesekali cerpen. Bergiat
di Komunitas Sastra Langit Malam.
Pernah mendapat juara 2 dalam Lomba Cipta Puisi “Santri” dalam Rangka Memperingati Hari Santri Nasional 2019 yang
diselenggakan oleh Pilihanrakyat.id
dan Penerbit Sulur, Juara 1 Lomba
Menulis Puisi Tingkat Nasional BATCH 2 yang
diselenggarakan oleh Ruang Kreasi
tahun 2020, dan Juara 1 Lomba Cipta Puisi Nasional 2020 yang diselenggarakan
oleh KORPS HMI-Wati Cabang Cirebon.
Puisi-puisinya termuat di berbagai media daring, antara lain takanta.id, rembukan.com, mbludus.com dan
magrib.id. Puisi-puisinya turut serta dalam beberapa antologi bersama,
antara lain: Babu Tetek (2018), Santri
(2019), Setelah Pandemi Berlalu Apa yang Akan Kita Lakukan? (2020), dan Sajak Perempuan (2020).Selain itu,
artikelnya juga dimuat Journal Kawruh:
Journal Of Languange Education, Literature, and Local Culture, Universitas
Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.
0 comments