Stanley Hou dan Tafsir Ulang Malin Kundang
Seorang anak bukan berarti tidak bisa menyalahkan orang tua. Barangkali
kesan tersebut yang akhirnya menimbulkan setidaknya dua respon atas viralnya
video Tik Tok Stanley Hou. Pertama, merasa apa yang dibicarakan Stanley tentang
sikap orang tua betul dan begitulah kebenarannya. Kedua, merasa Stanley ini
anak durhaka yang bakal jadi pembenar anak-anak lain membantah orang tua.
Saya pribadi merasa video Stanley, memperjelas bagaimana tantangan
mendidik anak di zaman ini. Anak bisa lebih pintar dari orang tua. Di masa
depan, bisa jadi peran wibawa orang tua tak lagi sama dengan hari ini. Dan ini
peringatan bagi orang tua agar betul-betul melatih komunikasinya dengan anak. Bukan sekadar
mengalir ikut arus.
Beberapa hari yang lalu saya menonton siaran ulang Live Instagram Kick Andy yang
menghadirkan Stanley Hou. Bagi orang tua dan warganet yang marah-marah setelah menonton video
Stanley Hou, tentu tidak menyangka hubungan Stanley dengan orang tuanya begitu
akrab, seperti diakuinya dalam acara tersebut.
Misalnya ketika memilih jurusan kuliah, ia yang gemar video editing
punya pandangan masuk jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual), meski ada
keraguan, karena ia pikir pekerjaan seniman kurang dihargai di Indonesia.
Ibunya lalu datang memberi usul kuliah di jurusan perhotelan, meski begitu
Stanley mengaku keputusan tetap ada pada dirinya, dan tidak ada paksaan untuk
masuk jurusan sesuai keinginan orang tua.
Saya punya teman kuliah yang malas-malasan masuk kelas dan akhirnya
memilih wisudah, alih-alih wisuda
sebagaimana harapan orang tuanya. Jadi, contoh komunikasi anak dan orang tua
dari Stanley tersebut bisa saya pahami.
Filosofi Malin Kundang
Malin Kundang adalah salah satu folklor yang populer di Indonesia. Bercerita
tentang anak yang sukses pulang dari perantauan lalu tidak mengakui ibunya
sebagai orang tua. Ibunya murka dan mengutuknya jadi batu.
Bagaimana jika kita coba melihat kisah Malin Kundang dari sisi lain.
Ketika Malin Kundang tidak mengakui ibunya, kita jadikan metafora atas daya
kritis anak. Kita tahu, Malin Kundang melihat ada perbedaan antara dirinya dengan ibunya. Dalam kisah
itu,
perbedaannya terletak pada harta. Bagaimana jika harta, hal yang berharga itu
berarti pula ilmu pengetahuan (baca: parenting).
Dari Stanley kita melihat seorang anak yang berani menyuarakan
“ketidakadilan” yang dialami banyak anak. Upaya mengelak seorang anak, yang sudah lama jadi
target disalahkan oleh orang tua.
Barangkali, anak yang tidak mengakui pendapat orang tua bukan
berarti durhaka, tapi bagian dari proses tek
tok dalam komunikasi. Terjadinya dialog bukan hanya monolog. Simbolisasi
dari beda pendapat.
“Anakmu bukanlah milikmu,” kata Khalil Gibran. Mereka lahir lewat engkau, /tetapi
bukan dari engkau,/ mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu// Berikanlah
mereka kasih sayangmu, namun jangan sodorkan pemikiranmu,/ sebab pada mereka
ada alam pikirannya sendiri.
Akhir kisah Malin Kundang adalah ia dikutuk menjadi batu.
Bagaimana jika kita lihat itu sebagai monumen. Alih-alih hanya
menafsirkannya sebagai sesuatu yang buruk dan ancaman bagi anak-anak nakal agar
tidak membantah orang tuanya.
Monumen atas apa? Ingatan atas peran anak yang punya posisi yang
setara dalam hal berpendapat di hadapan orang tua. Jika yang diakui Stanley
tentang orang tuanya benar, orang tua mana yang tidak mendambakan bisa lancar
berkomunikasi dengan anaknya seperti itu?
Kita tahu, sebagian besar orang tua ingin yang terbaik bagi anaknya. Tapi,
seringkali menunjukkan kasih sayangnya dengan cara yang tidak tepat. Jika tidak
berlebihan dengan memenuhi segala pinta anak. Ya, terlalu menyalahkan
anak ketika mengalami kegagalan.
Selama pandemi korona, kita jadi sering di rumah. Kegiatan di luar rumah dibatasi, pemerintah menganjurkan bekerja dari
rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah. Memikirkan ulang tafsir
atas kisah Malin Kundang, membuat saya memikirkan ulang makna dari ungkapan: Rumahku
Surgaku. Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya?
Bagi korban kekerasan dalam rumah tangga, bukankah masa pandemi ini
seperti memasuki kerak neraka yang lebih dalam dari sebelumnya? Kemudian
muncullah ungkapan lainnya: Rumahku Nerakaku.
Arif Rohman,bergiat di KOFIKU (Komunitas Fiksi Kudus).
0 comments