Tiban
Ardi Susanti
Pada sebuah lapangan,
di musim kemarau yang kerontang di desa kami, desa yang sangat tenang.
Ketenangannya laksana keheningan telaga di kedalaman rimba. Siang itu, semua
penduduk berkumpul, membentuk sebuah arena. Panas sedemikian meronta, menarik
semua kesegaran terangkum dalam gersangnya.
Ketegangan,
pengharapan, terpancar dari raut wajah para penduduk desa kami, diiringi
celoteh dan rengekan anak-anak kecil. Sekadar memanja meminta rupiah untuk
membeli panganan dan minuman demi usir dahaga. Suasana meriah, semeriah hati
mereka menunggu acara yang akan dipertontonkan para sesepuh desa. Yaitu sebuah
ritual adat tradisional dan budaya, yang merupakan perwujudan dari imitasi
religi, berupa tarian untuk mendatangkan hujan. Di mana sekelompok orang saling
menari dan melecutkan cambuk pada pasangannya sampai mengeluarkan darah. Dan
menurut kepercayaan turun temurun di kampung kami, jika darah tersebut jatuh ke
tanah, maka hujan akan segera turun.
Nun jauh di sebuah
angkutan pedesaan, yang terseok menapak jalan berbatu, sepanjang kiri dan kanan
yang nampak adalah ruang tak terbatas penuh warna coklat. Ranting-ranting
saling bercengkrama dalam diam, mereka saling pandang seakan berbincang, kapan
hujan akan membelai mereka. Sehingga daun-daun yang meranggas, akan berganti
dengan tunas-tunas baru. Seperti hati para penduduk desa yang selalu haru jika
menyaksikan pucuk-pucuk hijau menyembul dari ketiak-ketiak rerantingnya. Dan
seorang gadis belia, di dalam angkutan pedesaan itu, mendesah, berharap cemas,
pandangan matanya panik. Seandainya boleh meminta, dia akan menyuruh pengemudi
segera menjalankan angkutan pedesaan itu, meluncur ke kampungnya. Namun apa
daya, dia hanyalah satu dari berjubel penumpang di angkutan pedesaan itu. Dia berdoa,
berdoa dan terus berdoa. Berharap niatnya dapat terlaksana. Dan berharap, ‘Tiban’
belum sempat dimulai di kampungnya.
Tiba-tiba suara gendang
menghentak dalam irama yang rampak dan dinamis.
Terdengar alunan gending yang memukau seluruh penduduk. Sontak, mereka
semua terdiam, beberapa anak kecil menari-nari, tanpa peduli apa yang ada
dipikiran para bapak ibunya. Mereka tertawa, girang, menandak-nandak
mengikuti irama gendang. Dan keriuhan itu sirep, terhenti dengan
tiba-tiba, ketika seorang perempuan tua masuk ke dalam arena. Suara gending
memelan, berganti dengan senandung seruling, alunannya menyayat, mengiringi
langkah kaki perempuan tua, yang kerap kami panggil Mbah Ginah. Sosok tua yang
terkenal linuwih di desa kami, kadang suara seruling itu melengking seakan
memanggil seluruh penghuni semesta. Kadang menyayat berisi tangisan penghuni
semesta, sesuai gerak tubuh dan gerak mulut Mbah Ginah. Mbah Ginah terus
berjalan mengabaikan penonton yang tak berpaling dari sosoknya. Beliau
berjalan, mengelilingi arena, kadang berdiam diri sambil tangannya terangkat,
menegadah ke atas. Seakan menyampaikan pesannya pada segumpal awan yang terdiam
angkuh di angkasa. Sesekali. Matanya menunduk ke bawah, seperti berbisik pada
rengkahan-rengkahan tanah yang membatu. Untuk sedikit bersabar dan bersahabat
menunggu datangnya gerimis di desa kami.
Dan kembali, suara
gendang berkumandang, mendayu-dayu, seakan membawa penonton untuk ikut
berkejaran dihentakannya. Empat orang laki-laki berbadan kekar menyeruak ke tengah
arena. Mereka meliukkan tubuh dengan gerakan yang gemulai. Mbah Ginah berjalan
mengelilingi para penari, penonton semakin terpukau, mereka menari. Menari dan
terus menari, hingga tubuh mereka membentuk siluet-siluet yang indah sekaligus
liar. Mereka bermandikan keringat, sehingga tubuh kekar khas penduduk desa
dengan aroma sawah dan tanah sangat kentara. Tipikal kejantanan dan kekokohan
tubuh, yang terbentuk oleh alam, yang setiap
hari bermanja di lumpur dan huma.
Mereka terus menari, Mbah
Ginah perlahan menepi, mendekat ke arah penonton. Memandang tak berkedip empat
orang penari itu, seakan mengendalikan gerak dan pikir mereka. Mbah Ginah
memfokuskan pandangan matanya ke tengah arena, ke manapun penari bergerak, tak
luput dari tatap mata Mbah Ginah yang tajam dan kelu.
Gerakan tarian mereka
berubah, tidak lagi gemulai, namun menjadi jantan dan berkarisma. Mereka
mengeluarkan cambuk yang terbuat dari daun aren, mereka memainkan cambuk, dan
sesekali cambuknya melecut ke udara. Penonton sungguh sangat terpukau. Anak-anak
kecil berlindung di balik tubuh para orangtuanya, sambil sedikit mencuri-curi
lihat. Dan ketika cambuk itu beradu dan menimbulkan suara, mereka bagaikan
seekor kura-kura, yang memasukkan kepalanya jika ada yang mengusik, seperti
halnya anak-anak kecil itu.
Mereka memainkan
cambuknya bagaikan anak kecil yang menemu mainan baru. Mereka terus bersuka
dengan cambuk di tangannya. Mereka menyatu, hanyut, terseret dalam alunan lagu
sang cambuk yang seakan mengajak mereka terus bergerak, bergerak dan bergerak
mengikuti alur sang cambuk. Mbah Ginah tak bergeming di tempatnya. Tatapannya
tajam ke arah empat penari sambil mulutnya tak henti berkomat-kamit, seolah tak
mau terlewat sedetikpun mengikuti ujung sang cambuk. Para penari berubah
posisi. Mereka saling berhadapan, dan tarrrrrr, mereka saling cambuk satu sama
lain. Penonton terkesima, para penari terus melecutkan cambuknya. Para wanita,
menjerit lirih, ketika cambuk itu melukis gurat merah di tubuh para penari.
Anak-anak mulai menangis ketakutan, dan para wanita perlahan menyingkir sambil
menuntun buah hatinya menepi. Bagaimanapun juga nuraninya yang lembut tidak
sampai hati melihat bilur-bilur merah yang membentuk ornamen-ornamen abstrak
ditubuh penari.
Dan sekonyong-konyong
ada seorang gadis yang berlari dan menyeruak dari kerumunan penonton. Gadis ini
masih mengenakan seragam putih abu-abu. Dengan pandangan yang tegas, teduh dan
berkarakter, dia berteriak, “Ada apa ini! Sudah, berhenti, Ibu!”
Semua terpukau, terdiam
dengan tiba-tiba, seluruh mata memandang ke arah gadis belia berseragam putih abu-abu itu.
Para wanita yang menepi berhamburan berlari ke dalam lapangan, para penari
terdiam bagaikan patung di tempatnya masing-masing. Para penabuh gamelan
tersihir dan spontan menghentikan jemari mereka yang memainkan alat musik, semua
terhenyak dengan seketika, tak terkecuali Mbah Ginah.
Perempuan tua itu,
terdiam, dengan mimik menahan amarah. Dipandanginya gadis belia tersebut dengan
sorot mata penuh tanda tanya memendam semburat merah di kilaunya. Dan dengan
nada lirih, seakan tak percaya dengan apa yang telah dilakukan putrinya. Dia
menggumam, “ Sumi, apa-apaan kamu, Nduk! Apa yang kamu lakukan di sini?”
Tanpa mengurangi rasa
hormat pada perempuan tua yang ternyata ibunya, Sumi, gadis belia itu berkata
sambil berjalan ke tengah arena, memegang salah seorang penari yang sudah
berukir warna merah di sekujur tubuhnya. “Maaf, Ibu. Apa yang telah terjadi. Lihatlah
Kang Parto, Ibu. Tubuhnya berdarah,” Sumi berjalan ke arah penari lain, dipegangnya
tubuh berkeringat itu, “Kang Suto juga babak belur seperti ini” sambil
tersenyum miris memandang tubuh para penari. Sungguh, hatinya teriris
menyaksikan pemandangan yang ada di depan matanya.
Kang Suto menepis
tangan Sumi dan berkata lirih, “Sum, aku tidak apa-apa kok.” Begitu pula dengan
Kang Parto, “Tidak, aku juga tidak apa-apa, Nduk.” Sumi terkejut, dan memandang
Kang Suto dan Kang Parto, “Tidak apa-apa bagaimana! Sampeyan berdua babak belur
seperti ini, berdarah-darah seperti ini,” sambil menggeleng-gelengkan kepala
memandang sekujur tubuh berurai warna merah itu.
Mbah Ginah yang sedari
tadi hanya menonton polah anaknya, menjadi murka. Beliau berteriak pada Sumi, “Sumi!
Apa yang kamu lakukan. Lancang kamu, Sum! Cepat pergi dari sini!”
Sumi, dengan ego
seorang remaja, yang masih dalam proses mencari jati diri, namun mencoba
mencari pembenaran dari semua pembiasaan yang selalu dia saksikan semenjak
kecil, mencari jawab atas semua tanya selama ini. Melalui berbagai sumber, di sekolah
maupun dari buku-buku yang dia baca, ditunjang daya pikir yang kritis dan
kecerdasan yang luar biasa. Sumi mencoba mengurai permasalahan yang mengembara
di benaknya selama ini.
Dan dengan lantang dia
menjawab, “Tidak, Sumi tidak akan pergi, sebelum...” dan dengan segera dipotong
kalimat Sumi oleh Mbah Ginah, “Sebelum apa, Nduk? Sebelum apa ? Apa sebelum
kesabaran Ibu habis?”
Sumi menjawab dengan
takzim, “Sebelum Ibu menghentikan semua kebodohan ini.” Mbah Ginah terhenyak dan
semua penduduk kampung yang sedang berada di lapangan terperangah, “Apa kamu
bilang, Nduk?” sergah Mbah Ginah. Dan Sumi menjawab dengan tegas, “Ya, sebelum
Ibu menghentikan semua ini!”
Mbah Ginah sangat
marah, selama ini tidak ada yang berani melawan beliau selaku tokoh yang
dituakan dan disegani di desa kami. Kami semua diam, menunduk, tercengang, dan
menunggu. Adegan apalagi yang akan terjadi antara ibu dan anak itu. Dua
generasi yang saling menghormati dan menyayangi, namun tumbuh dalam kerangka
pikir yang sangat berlawanan.
“Pergi kamu, Nduk.
Pergi, atau...” sentak mbah Ginah.
“Atau apa, Bu? Apa? Ibu
mau menampar aku, tampar Bu, tampar!” nyaring Sumi berkata.
Sungguh, Sumi gadis
kecil yang menurut pandangan kami teramat lugu dan penurut, ternyata sangat
berani, bahkan terhadap Mbah Ginah, sesepuh desa kami yang terkenal linuwih,
yang juga ibunya, ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Kami benar-benar terdiam
tanpa sepatah kata pun. Hanya mampu meraba hati kami, apa maksud dan keinginan
Sumi dengan ini semua.
Dan di tengah arena
terlihat pemandangan yang membuat kami giris. Betapa tidak, seorang ibu dan
anak, terlihat saling berdiri siap memuntahkan egonya masing-masing.
Seorang perempuan
renta, penuh karisma, berdiri menghadap penonton, dengan kilatan-kilatan di kedua
matanya. Sementara seorang gadis belia, berdiri menatap perempuan renta itu,
dengan pandangan penuh pengharapan, dengan tatapan khas anak remaja yang penuh
dengan tekat dan ambisi. Dan dengan nada pelan Sumi berkata, “Maafkan Sumi, Bu.
Bukan maksud Sumi berani pada Ibu, apalagi berniat melawan Ibu, Sumi hanya
berniat meluruskan hal yang terlanjur bengkok.” Dan dengan tegas ibu berjalan
ke arah penonton dan berteriak, ”Lihatlah, lihatlah anakku, anak yang
kubesarkan dengan segenap cinta dan tetes air mata, anak yang kubesarkan dengan
cucuran keringat, anak yang kubesarkan dalam kedamaian cumbu rayu angin dan
gemercik air di desa ini, kini sudah besar, sudah pintar, dan sudah bisa mempermalukan
aku, Ibunya!”
Sumi tersenyum,
perlahan melangkah ke arah ibunya, dengan kesantunan seorang anak, dia bersimpuh di kaki ibunya dan berkata,
“Tidak Ibu, Sumi tidak bermaksud dan tidak akan pernah mempermalukan Ibu. Sumi
sangat menyayangi Ibu. Sumi sangat menghormati Ibu, bahkan dari dalam hati Sumi. Sumi berjanji.”
Sumi tersenyum ke arah
kami penduduk desa yang memandangnya dengan penuh rasa keingintahuan yang
membuncah, sambil berjalan ke arah kami, Sumi berkata, “Sumi akan mengabdikan
seluruh jiwa raga dan ilmu Sumi demi Ibu, demi keluarga, dan demi desa tercinta
ini, kelak jika Sumi sudah berhasil.”
Kami terdiam, mendengar
janji yg terucap dari bibir seorang gadis belia, untuk berbakti, mengabdi pada
kampung kecil nan gersang. Yang diucapkan dalam senyum, lirih, dan mata yang
bersemangat.
Dan Mbah Ginah menukas
dengan cepat, menghapus begitu saja imaji kami tentang keberanian gadis belia
tersebut, “Sudahlah, Nduk. Tidak usah banyak ngomong, lebih baik kamu pulang,
pulang! Anak kok mau minteri ibunya.” Sumi hanya tersenyum, dan berjalan ke
arah ibunya. “Ibu, mohon maaf, bukan maksud Sumi minteri Ibu, Sumi hanya...”
“Hanya apa, Nduk? Apa?
Apa itu namanya kalau tidak minteri orang tua, kamu itu, Nduk, Ibu sekolahkan
biar menjadi orang sukses, menjunjung derajat orang tua, mikul dhuwur mendhem
jero, tidak malah berlagak seperti ini,” berkata Mbah Ginah dengan nada tegas.
“Ibu”, sahut Sumi.
Mbah Ginah memalingkan
muka, memandang di kejauhan alam desa kami. Tatapan matanya seakan mampu
menembus puluhan penduduk yang masih membisu mengelilingi mereka. “Lihatlah,
Nduk. Tanah sudah merekah, sawah sudah kering kerontang, kebun-kebun mulai
meranggas, sumber air makin menyusut, dan pangan semakin sulit.”
Dan Sumi menyambut
kata-kata ibunya, “Tapi Bu, apa harus dengan cara seperti ini. Tiban hanya akan
menimbulkan luka dan sakit, lihatlah mereka, mereka sampai seperti itu. Apakah
itu tidak bencana? Mereka terluka, mereka menderita, mereka....”
Kami benar-benar
seperti terhanyut oleh arus yang mereka ciptakan. Kami dibawa ke alam di luar
batas kesadaran kami. Kami dipaksa berpikir, tentang apa yang telah kami
lakukan selama ini.
Mbah Ginah menyahut
cepat, “Tidak! Mungkin bagi kalian yang mengatasnamakan masyarakat modern, Tiban tidak bermakna sama
sekali. Karena kalian tidak pernah menghargai alam. Tapi, bagi kami, Tiban
adalah lambang kegigihan kami. Lambang perjuangan kami dalam mendapatkan air,
hal yang teramat penting bagi hidup dan kehidupan. Tiban juga melambangkan sportivitas.
Buktinya, setelah melakukan Tiban , kami tidak saling mendendam, itulah cermin
kehidupan nenek moyang kita dulu, Nduk. Hidup rukun, damai, berdampingan, tanpa
dendam, tanpa kesumat.”
Namun tangkas sekali
Sumi menjawab, seolah kata-katanya sudah tertulis rapi di hatinya, “Ibu, sekali
lagi ampuni Sumi. Tapi, kita sebagai makhluk yang berbudaya dan beragama,
mempunyai tatanan norma moral dan susila. Apakah tidak ada cara lain yang lebih
santun dan bermartabat dalam meminta hujan kepada yang membuat hidup dan
kehidupan, selain Tiban!”
Jauh di lubuk hati kami,
kami terguncang. Kami bimbang. Kami tidak bisa memilih. Sungguh hal yang di
luar kemampuan kami. Dua pendapat yang mesti menguras energi otak kami. Kami
hanyalah penduduk desa, yang tidak terbiasa menerima pembenaran di luar
kebiasaan kami. Kami membisu, menunduk, dan tanpa sepatah kata pun. Kami
berbalik, meninggalkan Mbah Ginah. Meninggalkan Sumi, meninggalkan lapangan
yang terselubungi petang, sepetang jiwa kami, membawa sebongkah beban pada
malam yang akan menggulung mimpi-mimpi kami. Akankah Tiban terus kami lakukan,
atau harus kami hentikan.
Tulungagung, 2020
Ardi Susanti, lahir di Ngawi, 15 April
1975. Aktif mengikuti lomba baca puisi sejak SD dan senang menulis sejak SMA. Selain itu pernah
aktif berkecimpung di Teater Magnit sejak tahun 1993. Merupakan salah satu pendiri
Teater Petjel SMAN Boyolangu Tulungagung dan Teater Daun SMAN 1 Tulungagung. Aktif
menulis puisi, cerpen, geguritan, dan naskah teater. Karya-karyanya banyak dimuat
di koran lokal Jawa Timur dan terangkum dalam 53 buku antologi bersama serta 1 buku antologi
tunggal. Pernah diundang pada acara Muktamar
Sastra Nasional di Situbondo dan PPN XI di Kudus. Pernah menjadi penyaji terbaik dalam lomba musikalisasi
puisi dalam pekan seni guru se-Jatim tahun 2011. Selain itu pernah menjadi penulis terbaik
dalam festival teater budi pekerti dan lomba penulisan naskah teater tingkat
Provinsi Jawa Timur 7 kali berturut-turut, sejak tahun 2007, 2008, 2009, 2010,
2011, 2014, dan 2015. Pernah meraih juara 2 guru berprestasi bidang seni
jenjang pendidikan dasar dan menengah tingkat Jawa Timur tahun 2014 dan menerima
penghargaan sebagai seniman berdedikasi bidang teater dari Gubernur Jawa Timur
tahun 2019. Selain aktif melukis, juga berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris
di SMAN 1 Tulungagung. Pernah mengikuti pameran lukisan di beberapa kota besar
di Indonesia, termasuk pada tahun 2016 berhasil berpameran di Dallas, Amerika
Serikat. Dapat dihubungi via E-mail : ardysusanti@yahoo.com dan Facebook : Ardi Susanti.
0 comments