Aku Kamu dan Menara
Moh. Ubaidillah Najib
Aku berdiri di balik jendela asramaku. Tidak jauh dari sini, tampak Menara Kudus berdiri dengan gagahnya. Bangunan tua itu terdiri dari tumpukan batu bata yang tersusun rapi.
Pagi ini air sedang dituang dari langit. Sang surya pun enggan menampakkan wajahnya. Percikan-percikan halus terdengar setiap kali air hujan bersentuhan dengan kaca jendela di depanku. Meskipun hujan tak kunjung berhenti, tetap saja jalan raya dipadati santri.
Kudus adalah kota kecil yang sering kali disebut Kota Santri dan juga Kota Wali. Tak heran jika kota ini mendapat julukan seperti itu, karena banyak pondok pesantren di kota ini, dan juga terdapat dua makam waliullah.
***
Tepat pukul sepuluh pagi, aku dipersilakan berdiri di panggung aula Madrasah Aliyah Negeri tempatku menuntut ilmu. Pak Asnadi, kepala sekolahku memberi ucapan selamat, karena nilai ujianku masuk tiga besar di Kabupaten Kudus. Tepuk tangan murid, orang tua dan guru riuh, begitu pula ibuku yang baru saja sampai di Kudus pagi tadi. Ibu nekat pergi dari Jakarta ke Kudus, meninggalkan pekerjaannya, hanya untuk meng-hadiri acara kelulusanku.
Aku tersenyum malu ketika Pak Asnadi menyodorkan mik ke arahku. Dengan gugup kuterima mik tersebut.
“Terima kasih Bapak-Ibu guru. Tak lupa juga terima kasih kepada Ibu yang telah menyempatkan waktu menghadiri acara kelulusanku.” Rasanya ingin menangis haru kala itu.
Nilaiku adalah tiket untuk mendaftar ke universitas terbaik di Jakarta. Sudah sejak lama aku menginginkan kembali ke Jakarta, karena sudah lama sekali aku mondok di Kudus. Orang tuaku sengaja memasukkan aku ke pondok agar aku tak salah bergaul, katanya.
Sejak kecil aku sudah mondok di Kudus. Mencari ilmu agama di sini. Sekarang Aku ingin menlanjutkan pendidikan umum saja. Aku bahkan sudah berjanji pada Farhan, kawan dekatku di madrasah, untuk bersama-sama pergi mendaftar ke universitas terbaik di Jakarta.
***
Keesokan harinya, Ibu mengajakku duduk di depan asramaku. Ibu berbadan kurus tinggi, wajahnya selalu terhias sunggingan senyum, dan matanya selalu bersinar. Beliau tak pernah lepas dari makeup tebal di wajahnya. Tak biasanya, pagi ini tak kutemukan senyum di wajah Ibu.
“Kamu ingin melanjutkan kuliah di mana, Rif?” tanya Ibu.
Sudah lama aku menantikan pertanyaan ini keluar dari mulut Ibu. Tanpa pikir panjang aku langsung menjawabnya, “Di UI, Bu. Biar bisa tinggal sama Ibu dan Ayah. Besok Arif akan mendaftar ke UI. Insyaallah dengan doa Ibu dan Ayah, Arif bisa diterima.”
Aku yakin dapat diterima di UI, apalagi dengan nilai ujianku yang masuk tiga besar di Kabupaten Kudus.
“Bukan itu maksud Ibu, Rif ....” Beliau berhenti sebentar.
“Apa maksud Ibu?” tanyaku.
“Bukannya Ibu tak mau kamu kembali ke Jakarta, Rif. Ibu sebenarnya lebih suka kamu mondok di Kudus.”
“Tapi Bu, Arif ingin kuliah di Jakarta. Arif nggak mau mondok lagi,” rengekku. Ada air mata yang mulai menetes.
“Ibu hanya ingin anak laki-laki Ibu menjadi seorang yang baik budi pekertinya, cerdas dan juga pandai berdagang. Nah, Kudus adalah tempat yang sangat tepat untukmu Rif, karena di Kudus kental sekali dengan ajaran KH Ja‟far Shodiq, Sunan Kudus, yaitu gusjigang. Ibu lebih bersyukur lagi jika kamu menjadi seorang pemimpin agama
yang hebat nantinya.” Ibu tersenyum lebar.
Setelah menghela napas panjang, Ibu menerus-kan dengan suara bergetar, “Jadi Ibu minta dengan sangat agar kamu tetap mondok di Kudus. Karena Ibu ingin yang terbaik untukmu, Rif.”
Mendengar permintaan Ibu, air mataku sudah tak bisa terbendung lagi. Tubuhku terasa layu. Cita-cita yang sudah kubangun sejak lama seakan hancur dan runtuh jadi abu, dalam sekejap.
“Tapi Bu, Arif tidak berbakat dengan ilmu agama. Arif ingin menjadi dosen ilmu ekonomi.” Aku sesenggukan.
“Menjadi orang yang tahu nilai agama lebih mulia daripada ilmu yang lain, Rif.”
“Tapi Arif tidak ingin ...”
Ibu memotong kalimatku, “Pokoknya Ibu ingin kamu tetap mondok di Kudus!”
Aku terus merengek, “Tapi, Bu.”
Setelah lama berbantah-bantahan, aku tahu diskusi ini tidak akan berujung. Pikiran kami jelas berseberangan. Dan aku berada di pihak yang kalah. Belum pernah aku berbantah-bantahan sehebat ini dalam melawan keinginan Ibu. Selama ini aku adalah anak penurut. Karena aku percaya surga di bawah telapak kaki Ibu. Kuingat terus nasihat kiai di pondokku tetnang keutamaan menghormati Ibu. Tapi keputusan untuk tetap di pondok sangat membuatku kalut. Untuk menghindari perseteruan yang tak berujung ini, aku memutuskan untuk pergi ke Menara Kudus.
***
Di Menara Kudus, aku menenangkan diri sambil merenungi perkataan Ibu yang mem bingungkan. Apa yang kucita-citakan sejak lama musnah begitu saja, karena Ibu tak merestuiku untuk kembali ke Jakarta.
Kusenderkan punggungku di tumpukan batu bata, hingga aku tertidur sejenak. Beberapa waktu aku tertidur, tiba-tiba ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku.
“Mas, Mas, bangun Mas sudah zuhur.”
Pelan-pelan aku membuka mata. Kulihat perempuan cantik di hadapannku. Perempuan yang kukenal, karena sudah sejak lama aku kagumi. Dia adalah Arina, putri Kiai Masyfu’i, salah satu kiai di pondokku.
Karena memang sudah waktu zuhur, dan azan pun berkumandang dari atas Menara Kudus. Aku bergegas bangkit, kemudian berjalan menuju tempat wudu.
Selepas salat, kutundukkan kepala sejenak, kuangkat kedua tanganku. Aku memohon petunjuk langkah apa yang harus aku ambil; apakah aku harus menuruti keinginan Ibu. Padahal itu sangat berseberangan dengan apa yang kucita-citakan selama ini.
Sebenarnya memang benar kata Ibu, Kudus adalah kota yang asri. Orang-orang Kudus juga sangat ramah. Banyak orang hebat dari Kudus. Bahkan di Kudus terdapat dua wali Allah yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, khususnya Kudus.
Selepas dari masjid, aku mencoba berbicara pada Ibu. Aku bermaksud menuruti permintaan Ibu untuk tetap mondok di Kudus, namun dengan mengajukan syarat.
“Bu, kalau memang Ibu menyuruhku untuk tetap mondok di Kudus, Arif bersedia. Tapi Arif punya satu syarat, yaitu Arif ingin kuliah di universitas umum saja, Agar nantinya tidak hanya pintar dalam urusan agama saja, tapi juga pintar dalam urusan dunia.”
“Mas bangun, ayo salat,” ajak Arina.
“Iya makasih Dik Arina sudah membangun-kanku,” ucapku gugup.
“Kok tidur di bawah Menara, Mas?” tanyanya.
Aku terkekeh, “Iya, Dik.” Aku tersenyum
malu. Pipiku mulai memerah. Ini adalah pertama kalinya aku berbincang-bincang dengan Arina.
“Ya sudah, Arina pergi ke masjid dulu ya Mas.” Arina pun berlalu dari hadapanku.
“Iya Dik, silakan.” Aku tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
Ibu hanya diam dan menatapku dengan lembut, “Lalu kampus mana yang akan kamu pilih, Rif?”
Aku pun mulai berpikir. Banyak kampus-kampus terbaik di Kudus. Karena bingung memilih kampus di Kudus, kuambil ponselku dan mencari informasi terkait kampus umum yang ada di Kudus. Munculah nama Universitas Muria Kudus. Kampus yang memiliki tagline “Santun, Cerdas, Berjiwa Wirausaha” ini sesuai dengan ajaran KH. Ja‟far Shodiq yang disampaikan Ibu kemarin. Lalu tanpa pikir panjang, kusampaikan pada Ibu.
“Arif ingin kuliah di UMK, Bu.” “Iya, Ibu setuju Rif.”
“Terima kasih, Bu. Besok Arif akan daftar ke UMK.”
***
Keesokan harinya, aku memberanikan masuk ke UMK untuk mendaftar kuliah di sana. Aku diantar Farhan, teman dekatku di madrasah. Dia hanya mendaftar, karena Farhan tetap pada pilihannya, yaitu kuliah di kampus terbaik di Jakarta.
Aku tak menyesal dengan pilihan Ibu, dan aku tetap berdoa semoga ini adalah pilihan terbaik yang insyaallah diridai Allah.
Ketika mendaftar, tak kusangka aku bertemu lagi dengan perempuan cantik yang kemarin membangunkanku ketika tertidur di bawah menara. Ya, dia adalah Arina. Ternyata dia juga mendaftar kuliah yang sama denganku, bahkan sama dengan jurusan yang kupilih. Alhamdulillah.
yang kerap disapa dengan nama pena Ubay atau
Najib. Lahir 21 tahun lalu tepat pada tanggal 9 Desember di Kota Kretek, Kudus.
Anak terakhir di keluarga. Tinggal di Pondok Rt 01 Rw 03 Bae Kudus. Si pendiam
namun humoris yang punya hobi jogging,
main badminton, menggambar, dan menulis, bercita-cita jadi seorang dosen yang
mempunyai wirausaha kuliner. Saat ini menjadi mahasiswa jurusan Akuntansi di
Universitas Muria Kudus. Pada tahun 2018 pernah mendapat juara 2 Menulis Esai
kategori mahasiswa Tingkat nasional di Jakarta dengan tema “Care energy,
Care nation Be green”. Sejak
menjuarai lomba menulis tersebut, ia
mulai suka dengan menulis dan mengikuti lomba menulis, dan cerpen karya
pertamanya berjudul Aku Kamu dan Menara
yang kini menjadi salah satu dari 10 cerpen terbaik Tajug dengan tema Gusjigang
. Si pemalas yang hobi rebahan yang berkutat di organisasi kampus dan si
pemburu beasiswa. Si nekat yang takut sendirian. Si kantong tipis yang hobi travelling. Si manis yang memiliki akun
Instagram moh.ubaidillahnajib dan kicauannya kadang terselip di akun facebook
Najib Ixell.
0 comments