Belajar dari Si Jlitheng
Sewaktu sekolah
dulu, bagi saya, pelajaran Bahasa Jawa cukup sulit. Meski saya sendiri orang
Jawa tulen, yang setiap hari masih dibiasakan berkomunikasi menggunakan Bahasa
Jawa, tetap saja pelajaran Bahasa Jawa rasanya susah. Apalagi kalau sudah
ketemu dengan Aksara Jawa. Duh, rasanya kepala ini langsung nyut-nyutan.
Sering dengar slentingan, “Dadi wong Jawa ki sing njawani.” (“Jadi orang Jawa itu yang benar-benar Jawa.”). Mungkin slentingan
itu cocok buat saya ini, yang belum benar-benar menguasai Bahasa Jawa. Lha, kalau disuruh nulis Bahasa Jawa saja
masih sering bingung seputar
penulisan kata yang tepat, masih sering salah penggunaan tingkatan bahasa, dan
lain-lain. Kalau baca tulisan Bahasa Jawa kadang juga masih menemukan banyak
kata-kata yang tidak tahu artinya. Kebangetan!
Meski sudah tidak
sekolah, bukan berarti tidak belajar Bahasa Jawa, ya. Lalu bagaimana saya belajar Bahasa Jawa itu?
Ya, bisa membaca atau latihan menulis. Salah satu bacaan yang baru saya
selesaikan adalah Si Jlitheng, Dongeng Bocah Bahasa Jawa karangan Impian Nopitasari, yang
ilustrasi cantiknya dibuat oleh Nai Rinaket.
Si Jlitheng memuat empat dongeng anak yang dapat memuat pelajaran bagi pembacanya. Dibuka dengan “Dongeng Pitik karo Bebek” yang menceritakan induk ayam bernama si Blorok
yang menantikan telurnya menetas. Namun ada yang aneh, karena telur terakhir yang menetas berbeda
wujudnya dengan yang lainnya. Wujudnya jelek dan menjadi bahan hinaan bagi yang
lain.
“Sing penting awake dhewe kabeh kudu nglakoni
bab sing becik, ati becik iku luwih wigati tinimbang rupa.” (“Yang penting kita sendiri harus melakukan hal yang baik, hati baik itu lebih bagus
daripada rupa/wajah.”). (Hlm. 9)
Selanjutnya “Kodhok lan Bekicot” juga memberikan pelajaran baik. Bekicot selalu
iri dengan kodok yang bisa melompat dengan cepat, sedangkan dirinya berjalan
saja sangat lambat. Bekicot merasa tidak berguna. Bahkan dia merasa Allah tidak adil terhadapnya.
Pokoknya Gusti Allah ora adil anggone ngripta
awakku, ora kaya kodhok. Ngono batine bekicot. (Pokoknya Allah tidak adil menciptakan aku, tidak
seperti kodok. Batin bekicot.). (Hlm. 23)
Cerita ketiga
adalah tentang kucing bernama Mimi yang terpaksa dititipkan oleh Bu Esthi
kepada Mbok Triman, mantan pembantunya dulu. Mimi sedih dan tidak bisa
beradaptasi. Mimi yang biasa makan makanan dari pet shop tidak bisa makan makanan yang diberikan Mbok Triman.
“Si Jlitheng” adalah dongeng terakhri di buku ini.
Bercerita tentang semut berukurn kecil dan hitam yang tidak mendapatkan teman.
Si Jlitheng memang lebih kecil dari semut-semut lainnya, sehingga dianggap
lemah dan tidak bisa bekerja. Si Jlitheng merasa tidak berguna. Namun,
sesungguhnya ada yang dapat dia lakukan untuk membantu hewan lain.
Saya menikmati
keempat dongeng karya Impian ini. Bahasa yang dipakai mudah
dipahami. Banyak pelajaran yang dapat diambil. Karena memang dongeng untuk
anak-anak, amanat-amanat yang disampaikan pun sudah cocok. Dalam
penceritaan dan menyampaikan amanat baik dan halus. Namun ada bagian yang terbaca terlalu keji untuk dibaca anak. Yaitu pada cerita “Kodhok lan Bekicot”. Penceritaan kodok yang dimakan burung terlalu kejam dan tanpa sensor.
Dongeng ini tidak
hanya cocok dibaca anak-anak saja. Bisa juga jadi bacaan segala umur. Selain cerita
yang menarik, kita juga akan diajak ikut berimajinasi lewat ilustrasi cantik
dan hidup yang dibuat oleh Nai Rinaket. Ilustrasinya dapat kita temukan
di setiap lembar. Tata letak ilustrasi dan cerita pun cukup bagus. Setidaknya
mata saya masih nyaman. Hanya saja, beberapa halaman tidak ada nomor
halamannya, karena tertutup ilustrasi.
Setelah membaca Si Jlitheng saya jadi ingin membacakan
dongeng-dongeng di dalamnya pada anak saya kelak. Tapi kapan? Pacar saja belum
punya.
0 comments