Cara Membela Tanah Air dengan Sederhana
“Aku tatap senja itu, masih selalu begitu. Seperti menjanjikan suatu perpisahan yang sendu.” Ucap seorang Seno Gumira Adjidarma itu, membenak di kepala.
Sore itu, awan mengambang di sekitar Musala. Langit seperti keasingan lain yang memenuhi luas pandang. Saya masih berusaha memerangi setiap rindu, memilih mekar di sekitar dada. Ketika tiba-tiba ada suara derum mobil berhenti di pinggiran jalan menuju pondok sederhana kami, saya tetap merangkul lutut. 28 April 2019 dalam kalender, menjatuhkan kengerian-kengerian yang akan menimpa. Bahwa sampai waktu saya untuk menyalurkan hasrat-hasrat sederhana yang saya pupuk selama bertahun-tahun di Pesantren Annuqayah. Waktu seperti beranjak dari kolong tempat tidur ke rak-rak buku sejarah. Membuka-buka lembar nasib yang saya tulis dari segala kemungkinan itu, akan menjadi utuh suatu ketika.
Saya sepakat, bahwa puncak dari membela tanah air adalah menjadi pendidik. Menciptakan generasi penerus yang paham polemik kehidupan. Sore itu, setelah berpamitan kepada Kiai Naqib Hasan, Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk. Kami –saya bersama kawan bernama Elyaz- menggendong tas ransel penuh busana dan buku-buku, dengan diiringi kiai penjemput, kami benar-benar melepas segala keheningan dalam benak. Kesedihan-kesedihan lain sebab perpisahan, seperti perumpamaan Seno, mengambang memenuhi udara sekitar. Dan sialnya, saya menghirup dalam-dalam. Di lain hari, saya memahami bahwa setiap momen dalam hidup harus dihargai. Karena detak rindu memaksa mengetuk kehangatan momen, gelak tawa, serta gerimis yang mendera pipi kita. Selepas itu, saya jadi tak benar-benar bersemangat beberapa waktu.
Magrib tinggal beberapa menit lagi, saya sampai ke tempat tugas dengan hati gelisah. Karena sadar, bekal-bekal yang saya bawa jauh dari kata paripurna. Setelah sowan kepada Kiai sepuh, saya dipersilakan nenempati kamar berukuran 4x5 meter lantai dua. Tempat di mana kesunyian akan menyerang dengan saksama. Sebagai orang baru di tempat asing, saya terus mengkhawatirkan bagaimana puncak dari tradisi masyarakat sekitar. Habitus-habitus yang terus saya pelajari, bahwa untuk memahami masyarakat, kita perlu bercengkrama, menegur sapa, serta menjaga komunikasi untuk menyetujui gagasan Prof. Dr. Hamka, “…yang mahal baginya ialah hubungan silaturrahim dengan sesama manusia dan ibadah kepada Allah…” (Keadilan Sosial dalam Islam, Gema Insani :2015. hlm. 124) tak pelak, bahwa kedamaian-kedamaian yang terjalin retas dalam rasa persaudaraan.
Menjadi Pendidik
Saya menempati pesantren kecil di Desa Talsek, Guluk-Guluk Barat, Sumenep, Madura. Belajar mematuhi waktu yang kian hari, kian menyebalkan. Pagi menggenggam sisa ruap kopi, beberapa gorengan hangat, serta sebungkus rokok merk Menara di hadapan, setelah diantar santriwati sesaat lalu. Tiba-tiba ada segerombolan peserta didik yang saya ketahui bernama Ilfan, Lukman, Azam, Almujo, Nabil juga Kiki, mendobrak pintu kantor untuk mengusik kami. Kawan saya Elyaz hanya berdeham santai di pojok kamar, tetapi saya dilema. Sebagai pendidik, apakah saya akan meladeni mereka atau malah bersikap sok bijak untuk menepis keingintahuan mereka tentang hidup kami, agar mereka belajar menghormati? Sejatinya, sebagai pendidik saya ingin menanamkan sikap hiperaktif pada anak-anak. Bahwa sekat-sekat imajiner tentang kata “menghormati” bisa dipilah dari baik buruknya perilaku, tata krama, juga batasan menghormati pada guru. Selain itu, tak ada yang perlu dipelajari.
Beragam kecenderungan ketika memasuki kelas membuat saya memahami, karakter-karakter itu, akan tumbuh menyerupai bunga mawar. Mekar lalu menebarkan harum. Mereka adalah aset penting dalam kelanjutan peradaban bangsa. Pewaris estafet kepemimpinan di masa yang akan datang. Pertaruhan nasib itu, sedikit banyak ada pada pendidik. Dan saya menyadari, di kelas sederhana tersebut, saya memahami kekhawatiran Jean Baulliard, bahwa penggunaan ruang begitu didominasi oleh sirkuit informasi (media massa, iklan) dan ekstase komunikasi. Ketika saya bercakap-cakap dengan peserta didik perempuan (Sela, Zahroh, Fida, Devi, Bela, Alin, dll.) dalam suatu kesempatan, mereka seperti terhegemoni dari tontonan film di pesawat televisi. Peleburan keingintahuan mereka malah mendekati keinginan-keinginan asing orang dewasa. Menaruh tanda cinta. Padahal, mereka terlalu dini untuk urusan pelik tentang hidup tersebut. Walhasil, saya merespon pola hidup mereka dengan berbagai macam dongeng anak-anak yang saya ceritakan dalam kelas. Saya merenungi, setidaknya ada keseimbangan sikap yang dapat mengetuk alam bawah sadar mereka.
Menjadi pendidik dalam sebuah instansi pendidikan, selain sebagai tugas kemanusiaan, juga sebagai stimulus dalam mengorbitkan ajaran keagamaan dalam diri. Jadi, bagaimana saya bisa menafsiri kengerian lain tentang masa kanak-kanak peserta didik perempuan dalam memahami perjumpaan. Pernah dalam suatu waktu, ketika saya beranjak membuka ruang kelas, tiba-tiba mereka memberikan kejutan sederhana. Balon-balon berserakan, sepiring kue kering yang dilumuri coklat meleleh, lalu teriakan-teriakan berbunyi, “Kejutan!” saya sumringah. Tumpukan kelelahan yang terpendam, meleleh seketika. Meski begitu, ketakutan saya berada di puncak, ketika seorang dari mereka menaruh kertas berisikan tulisan pengakuan cinta, tidak rapi ketika memasuki kelas di hari lain. “Duar!!!” Mereka menyatakan cinta pada gurunya! Astaga. Setipis itukah sekat-sekat kehidupan dalam diri mereka.
Sebagai manusia normal, sialnya saya pernah tertarik pada salah satu mereka. Saya tertawa kecil ketika mengingatnya. Anak kelas III Madrasah Ibtidaiyah, mencuri perhatian saya. Saya mempelesetkan namanya dengan salah satu hero permainan online Mobile Legend, Lancelot. Tiba-tiba bayangan cerpen pilihan Kompas tahun 1996, karangan TB Raharjo berjudul “Eksperimen Moral” menggedor alam bawah sadar. Saya coba kutipkan permulaan cerpen tersebut, “Seorang gadis, berumur tujuh belas tahun, tewas mengenaskan. Ia diperkosa, lalu mati dicekik. Mayat gadis itu ditemukan tergeletak di sebuah kamar milik guru pendidik moral. Yang menemukan mayat gadis itu istri guru pendidik moral. Polisi segera dihubungi…” pernyataan menyayat dalam kutipan cerpen milik TB Raharjo tersebut seperti memberikan gambaran kasar tentang potensi penyimpangan seorang pendidik kepada peserta didiknya. Mungkin begitulah keyataan yang coba didobrak seorang Felix Nesi beberapa minggu lalu. Bagaimana pendidik yang tak benar-benar memahami posisinya.
Bersyukur pada Tuhan, saya dipalingkan dari kenyataan-kenyataan tersebut. Saya membatasi diri pada hal demikian. Menerapkan sifat-sifat kemanusiaan pada diri adalah pekerjaan penting yang perlu dilakukan. Sebelum menasihati setiap orang, melarang ini itu pada peserta didik, membuat peraturan tentang batasan-batasan Agama, kita perlu memperkukuh hal tersebut pada diri sendiri, hingga menjadi good habbit serta menjadi teladan kehidupan. Ungkapan William James akan sampai pada udara, mengambang untuk sesama, bahwa ada suara dalam diri yang berbicara dan mengatakan “Inilah aku yang sebenarnya.”
Sore masih setia menjatuhkan diri pada mata, awan-awan tipis terbias warna jingga. Saya bersender di kursi beranda rumah, menghisap batang rokok dengan tenang. Menghayati bagaimana momen-momen penting dalam hidup berkejaran, hilir-mudik menyapa angan. Tiba-tiba saya membatin gamang, semoga pendidik selain menyiapkan teori ini-itu untuk mencerdaskan anak bangsa, juga menyiapkan mental, moral, serta keteladanan yang akan diwariskan pada peserta didiknya, anak-anaknya. Semoga pendidikan kita dapat terus berbenah dari masa ke masa.
0 comments