HIPOKSIA

Jimat Kalimasadha 




 
Semenjak pandemi Covid-19 menghajar dan melumpuhkan bumi dan hampir semua sendi kehidupan, kita merasa bahwa kita ini ternyata spesies yang lemah. Perangkat teknologi dan  tata nilai yang selama ini kita percaya mengantarkan kehidupan ini melaju sangat kencang, tiba-tiba mendadak berhenti seperti sebuah kendaraan yang terinjak rem cakramnya.

Mobilitas kita melambat, pertumbuhan ekonomi minus, bekerja dan belajar dilakukan dari rumah, tempat-tempat wisata berubah sepi, perhelatan pernikahan kehilangan gairah, dan  upacara kematian pun terasa semakin sunyi. Kita berdiam diri, kehilangan pekerjaan, menunggu  situasi pulih dengan menahan rasa bosan dan jenuh. Diam-diam kita dikepung oleh kecemasan masa sekarang dan masa depan. Kehidupan yang kita jalani sekarang ini terasa sangat absurd, tidak logis, dan rapuh.

Jika kita pernah naik gunung, situasi seperti ini akan kita alami ketika kita hampir mencapai puncak tiba-tiba kabut datang dan lampu senter kita mendadak padam. Situasi akan menjadi lebih  dramatis dan genting manakala lapisan oksigen menipis dan tubuh mengalami hipoksia. Kita semua adalah pendaki gunung yang tengah mengalami situasi seperti itu. Para pemimpin kita mulai kelihatan panik seperti team leader pendakian yang kehilangan kepercayaan diri. Apakah langkah terbaik yang harus diambil dalam situasi ini? Melanjutkan perjalanan, diam di tempat, ataukah turun? Keputusan yang serba menyulitkan.

Pandemi ini mengajarkan kepada kita, bahwa hidup harus dianggap sebagai sebuah pendakian. Kita memerlukan persiapan yang benar. Persiapan yang kita lakukan kemarin ternyata belumlah cukup untuk menghadapi situasi seperti ini. Sekarang kita semakin tahu titik lemah masing-masing. Titik lemah diri kita, keluarga kita, pemerintahan dan negara kita.

Kita mulai menyadari kesalahan-kesalahan penting yang selama ini kita telah lakukan. Ada banyak di antara kita, sebagai orang tua, yang mengabaikan kebutuhan anak-anak kita. Perhatian, misalnya. Selama ini mungkin kita kurang memperhatikan anak-anak. Kita jarang hadir di tengah anak-anak karena kita sibuk dengan urusan ‘orang dewasa’. Akhirnya anak-anak tidak terurus. Kita tidak biasa menunggui mereka belajar; kita tidak biasa menemani mereka makan; kita tidak biasa mengajak mereka salat bersama. Sekarang kita terpaksa harus melakukan itu semua, dan kita merasa terbebani dengan semua itu. Kita, kemudian, berbondong-bondong mengeluh dan menggerutu.

Para pemimpin mulai menyadari kesalahan-kesalahan penting dalam mengelola negara dan pemerintahan. Mereka seperti kehilangan lampu senter dan kekurangan oksigen ketika membawa warga negara menuju ke puncak pencapaian. Selama ini, pemimpin yang tidak hadir di tengah-tengah rakyatnya karena sibuk mengurus dirinya sendiri, berbondong-bondong mengeluh dan menggerutu. Mereka yang kemarin terlihat sangat kuat dan jumawa, sekarang kelihatan merana dan putus asa.

Anak-anak kecil yang manis-manis itu adalah tanggung jawab kita dan kitalah yang berkewajiban mensejahterakan mereka. Rakyat kecil yang terabaikan itu adalah tanggung jawab para pemimpin negara untuk mensejahterakan mereka. Orang tua dan para pemimpin negara seharusnya mengutamakan mereka. Perut mereka harus kenyang lebih dahulu, kebutuhan mereka harus tercukupi lebih dulu sebelum para orang tua dan para pemimpin. Begitulah seharusnya. Ya, begitulah seharusnya.

Hipoksia

Perubahan ini menjadi sebuah sindiran, satire, sekaligus paradoks peradaban abad millennial ini. Anggaplah kemarin kita telah melakukan kesalahan. Jika dengan pengalaman tersebut kita masih salah sebagai orang tua dan sebagai pemimpin dalam membaca situasi ini, di masa depan kita akan menjadi sebuah masyarakat yang semakin sakit. Masa pandemi ini seolah kita berada di dalam ‘the death zone’ atau zona kematian. Kita seperti berada di puncak ketinggian di mana kita sudah mengalami tanda-tanda hipoksemia, yakni kondisi di mana kadar oksigen dalam darah rendah, khususnya pada darah  arteri.

Jika hipoksemia ini berlangsung terus dan semakin parah, dapat dipastikan kita semua akan mengalami hipoksia. Tubuh tidak hanya memaksa paru-paru bekerja lebih keras, tetapi kondisi ini juga mempengaruhi jantung yang harus bekerja keras memompa oksigen dalam darah yang hanya sedikit itu untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Pelan-pelan, jaringan tubuh akan mengalami kegagalan karena tidak bisa bekerja secara normal. Pandangan semakin kabur, nafas tersengal-sengal, dan tubuh menjadi lemas. Selain kegagalan fisik, kondisi hipoksia juga mempengaruhi perubahan perilaku. Dalam kondisi hipoksia, otak akan kekurangan oksigen, sehingga pola pikir seorang pendaki berubah menjadi kacau dan sulit membuat keputusan yang tepat.

Jika sekarang ini kita berada dalam pusaran krisis kehidupan karena pandemi Covid-19 hingga menyerupai kondisi hipoksemia atau hipoksia, kita masih berharap bisa bertahan dan selamat. Dan, menjadikannya ini pelajaran.



Baca juga Tahun Baru dan Larangan Keluar dari Zona Nyaman atau Microchip Seorang Ayah.

 
Tentang Penulis:
Photo
Redaktur Tajug.net. Bisa diakses di bit.ly/bu-buku

0 comments