Sumber Air Minum Gunung Muria
Kajian ketersediaan air bersih di Kudus yang dilakukan PDAM Kudus dan ITB memperkirakan pada 2032 kota Kretek akan mengalami krisis air bersih, khususnya yang bersumber dari air bawah tanah (ABT) (tribunnews.com/2016/05/11/). Meskipun ABT masih ada, tapi tak mencukupi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, PDAM Kudus mulai beberapa waktu belakangan ini memikirkan langkah-langkah antisipasi. Di antaranya adalah mulai mencari sumber air baku, yang bukan berasal ABT, yaitu air permukaan yang biasanya melimpah saat penghujan. Satu di antara antisipasi tersebut adalah pembangunan empat embung di kawasan Lereng Muria.
Recananya pada 2020 PDAM sudah tak lagi mengandalkan ABT untuk mencukupi kebutuhan pelanggan PDAM. Pada tahun ini, pihaknya akan mengandalkan air baku dari sistem Bendung Logung, satu dan empat embung yang akan dibangun. Jika Bendung Logung sudah beroperasi, ditambah air dari empat embung yang akan dibangun, diperkirakan bisa mencukupi kebutuhan air baku hingga dua juta kubik per tahun. Itu cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Kabupaten Kudus.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan industri yang melaju pesat, kebutuhan air bersih terus meningkat di Indonesia. Kapasitas produksi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruh Indonesia mencapai 91 liter per detik dan baru mencukupi 43% penduduk perkotaan. Pada tiga tahun lalu yang diperkirakan berjumlah 64,4 jiwa (BPS) dan pada akhir tahun 2019 perkiraan penduduk perkotaan 150,2 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk 150,3 juta jiwa konsumsi air perkapita sama (125 liter per hari) serta cakupan pelayanan mencapai 70%, kapasitas produksi harus ditingkatkan empat kali lipat.
Sementara itu, debit air sungai di berbagai wilayah yang berhulu di gunung-gunung semakin mengalami penurunan. Penyebabnya diduga pengalihan lahan di daerah pegunungan area terbuka hijau yang menjadi area serapan telah berubah menjadi perumahan. Lahan-lahan yang semula masih berupa ladang, sawah, dan hutan sekarang menjadi area galian tambang, gedung-gedung pabrik, dan permukiman. Oleh karena itu daya serap lahan terbuka hijau menjadi sangat berkurang, berakibat sumber air hulu sungai menjadi menurun. Hal ini terjadi berbagai wilayah pegunungan tak terkecuali di wilayah gunung Muria. Meskipun belum ada data resmi, dapat ditemukan vegetasi dan luasan hutan di Gunung Muria telah banyak berkurang.
Gunung Muria seperti juga gunung-gunung di wilayah nusantara menjadi area terbuka hijau yang sangat luas sebagai area serapan air hujan. Sebuah keuntungan bagi Kabupaten/Kota yang memiliki wilayah pegunungan. Akan tetapi bila tak mampu mengelola pemanfaatannya justru akan menjadi kerugian, bagi pemerintah maupun masyarakat. Sebab gunung bisa jadi sumber daya alam yang baik, tapi juga bisa menjadi sumber bencana bila salah kelola.
Melihat wilayah gunung Muria yang masuk pada wilayah Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, perlu adanya kerja sama antara pemerintah daerah tersebut untuk mengadakan perencanaan dan tata fungsi lahan di wilayah Muria. Bentuk kerja sama bisa meliputi kesepakatan pengendalian alih fungsi lahan oleh masyarakat yang ingin mengelola dan memanfaatkan wilayah Muria dengan menyusun blueprint pengembangan wilayah. Setelah kesepakatan tersusun, kemudian mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Hal ini untuk memberikan informasi dan membangun kesadaran pada masyarakat tentang arti penting pelestarian kawasan Muria.
Langkah berikutnya, perlu adanya peraturan pemerintah daerah yang menetapkan tata cara penggunaan lahan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan masyarakat secara luas. Sehingga tidak merugikan siapa pun yang memiliki hak dan kepentingan di wilayah Muria.
Faktor utama yang mengakibatkan menurunnya kuantitas air baku adalah penebangan pohon di ladang pertanian dan hutan di area gunung Muria. Penebangan yang dilakukan karena lahan dimanfaatkan untuk perumahan dan kebutuhan kayu untuk bahan bakar serta bangunan rumah bagi masyarakat setempat. Oleh karena banyaknya pohon yang ditebang dan permukaan tanah yang terbuka, curah hujan yang turun di daerah gunung Muria langsung masuk ke sungai dan mengalir ke laut Jawa.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya reboisasi di gunung Muria. Upaya yang dapat ditempuh dapat meliputi langkah-langkah yang dilakukan secara bertahap, terencana dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang dan komprehensif. Pertama, pelaksanaan reboisasi secara nyata dengan memobilisasi masyarakat untuk menaman pohon. Gerakan ini dapat dipicu dengan pemberian bibit tanaman buah-buahan gratis kepada masyarakat yang dianggarkan oleh pemerintah. Dengan membagikan bibit tanaman buah-buahan gratis, masyarakat diharapkan akan memperoleh hasil secara ekonomis pada saat tanaman yang ditanamnya berbuah dan dipanen. Selain itu bibit tanaman industri, seperti sengon atau jati emas yang pertumbuhannya relatif cepat juga dapat dimasyarakatkan pembudidayaannya.
Kedua, mengadakan desain gerakan sosial untuk memotivasi masyarakat melakukan penanaman pohon. Desain gerakan sosial ini dapat dilakukan dengan mengaktifkan unsur-unsur masyarakat untuk menjadi inisiator dan motivator gerakan reboisasi. Pengaktifan inisiator dan motivator ini dapat dilakukan dengan memberikan kursus agrobisnis tanaman hortikultur dan tanaman industri. Dengan demikian, mereka akan menjadi panutan bagi masyarakat yang lebih luas agar mengelola lahan dengan tanaman produksi. Namun, perlu diingat, usaha ini sulit dilaksanakan tanpa dukungan dari pemerintah dan anggaran dana yang memadai.
Menyiasati keterbatasan dana bagi pemerintah daerah untuk anggaran konservasi kawasan Muria, pemerintah daerah dapat mengadakan kemitraan dengan pihak-pihak swasta yang memiliki perhatian dalam kegiatan konservasi lingkungan. Pihak swasta yang memiliki perhatian terhadap lingkungan, hampir dapat dipastikan mereka memiliki misi dan visi ke depan yang tepat.
Apabila program pemerintah daerah tentang konservasi telah memenuhi sifat terencana dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang dan komprehensif, dapat juga mengajukan pembiayaan dana bergulir kepada perbankan untuk kepentingan konservasi. Namun, bila sampai usaha ini tak dapat terealisasi, pemerintah dapat menggunakan kekuasaan dan kekuatan politik untuk mendapatkan dana reboisasi.
Dengan adanya program pemerintah tentang reboisasi, maka juga akan memberikan dampak secara ekonomis pada masyarakat setempat yang diperoleh dari aktivitas penghijauan, pengelolaan, dan hasil dari tanaman yang dibudidayakan. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan taraf ekonomi masyarakat di kawasan Muria, peningkatan kualitas air baku, dan tersedianya pasokan air bagi PDAM Kabupaten Kudus.
Recananya pada 2020 PDAM sudah tak lagi mengandalkan ABT untuk mencukupi kebutuhan pelanggan PDAM. Pada tahun ini, pihaknya akan mengandalkan air baku dari sistem Bendung Logung, satu dan empat embung yang akan dibangun. Jika Bendung Logung sudah beroperasi, ditambah air dari empat embung yang akan dibangun, diperkirakan bisa mencukupi kebutuhan air baku hingga dua juta kubik per tahun. Itu cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Kabupaten Kudus.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan industri yang melaju pesat, kebutuhan air bersih terus meningkat di Indonesia. Kapasitas produksi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruh Indonesia mencapai 91 liter per detik dan baru mencukupi 43% penduduk perkotaan. Pada tiga tahun lalu yang diperkirakan berjumlah 64,4 jiwa (BPS) dan pada akhir tahun 2019 perkiraan penduduk perkotaan 150,2 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk 150,3 juta jiwa konsumsi air perkapita sama (125 liter per hari) serta cakupan pelayanan mencapai 70%, kapasitas produksi harus ditingkatkan empat kali lipat.
Sementara itu, debit air sungai di berbagai wilayah yang berhulu di gunung-gunung semakin mengalami penurunan. Penyebabnya diduga pengalihan lahan di daerah pegunungan area terbuka hijau yang menjadi area serapan telah berubah menjadi perumahan. Lahan-lahan yang semula masih berupa ladang, sawah, dan hutan sekarang menjadi area galian tambang, gedung-gedung pabrik, dan permukiman. Oleh karena itu daya serap lahan terbuka hijau menjadi sangat berkurang, berakibat sumber air hulu sungai menjadi menurun. Hal ini terjadi berbagai wilayah pegunungan tak terkecuali di wilayah gunung Muria. Meskipun belum ada data resmi, dapat ditemukan vegetasi dan luasan hutan di Gunung Muria telah banyak berkurang.
Gunung Muria seperti juga gunung-gunung di wilayah nusantara menjadi area terbuka hijau yang sangat luas sebagai area serapan air hujan. Sebuah keuntungan bagi Kabupaten/Kota yang memiliki wilayah pegunungan. Akan tetapi bila tak mampu mengelola pemanfaatannya justru akan menjadi kerugian, bagi pemerintah maupun masyarakat. Sebab gunung bisa jadi sumber daya alam yang baik, tapi juga bisa menjadi sumber bencana bila salah kelola.
Melihat wilayah gunung Muria yang masuk pada wilayah Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, perlu adanya kerja sama antara pemerintah daerah tersebut untuk mengadakan perencanaan dan tata fungsi lahan di wilayah Muria. Bentuk kerja sama bisa meliputi kesepakatan pengendalian alih fungsi lahan oleh masyarakat yang ingin mengelola dan memanfaatkan wilayah Muria dengan menyusun blueprint pengembangan wilayah. Setelah kesepakatan tersusun, kemudian mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Hal ini untuk memberikan informasi dan membangun kesadaran pada masyarakat tentang arti penting pelestarian kawasan Muria.
Langkah berikutnya, perlu adanya peraturan pemerintah daerah yang menetapkan tata cara penggunaan lahan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan masyarakat secara luas. Sehingga tidak merugikan siapa pun yang memiliki hak dan kepentingan di wilayah Muria.
Reboisasi Berdasar Nilai Ekonomi
Faktor utama yang mengakibatkan menurunnya kuantitas air baku adalah penebangan pohon di ladang pertanian dan hutan di area gunung Muria. Penebangan yang dilakukan karena lahan dimanfaatkan untuk perumahan dan kebutuhan kayu untuk bahan bakar serta bangunan rumah bagi masyarakat setempat. Oleh karena banyaknya pohon yang ditebang dan permukaan tanah yang terbuka, curah hujan yang turun di daerah gunung Muria langsung masuk ke sungai dan mengalir ke laut Jawa.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya reboisasi di gunung Muria. Upaya yang dapat ditempuh dapat meliputi langkah-langkah yang dilakukan secara bertahap, terencana dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang dan komprehensif. Pertama, pelaksanaan reboisasi secara nyata dengan memobilisasi masyarakat untuk menaman pohon. Gerakan ini dapat dipicu dengan pemberian bibit tanaman buah-buahan gratis kepada masyarakat yang dianggarkan oleh pemerintah. Dengan membagikan bibit tanaman buah-buahan gratis, masyarakat diharapkan akan memperoleh hasil secara ekonomis pada saat tanaman yang ditanamnya berbuah dan dipanen. Selain itu bibit tanaman industri, seperti sengon atau jati emas yang pertumbuhannya relatif cepat juga dapat dimasyarakatkan pembudidayaannya.
Kedua, mengadakan desain gerakan sosial untuk memotivasi masyarakat melakukan penanaman pohon. Desain gerakan sosial ini dapat dilakukan dengan mengaktifkan unsur-unsur masyarakat untuk menjadi inisiator dan motivator gerakan reboisasi. Pengaktifan inisiator dan motivator ini dapat dilakukan dengan memberikan kursus agrobisnis tanaman hortikultur dan tanaman industri. Dengan demikian, mereka akan menjadi panutan bagi masyarakat yang lebih luas agar mengelola lahan dengan tanaman produksi. Namun, perlu diingat, usaha ini sulit dilaksanakan tanpa dukungan dari pemerintah dan anggaran dana yang memadai.
Menyiasati keterbatasan dana bagi pemerintah daerah untuk anggaran konservasi kawasan Muria, pemerintah daerah dapat mengadakan kemitraan dengan pihak-pihak swasta yang memiliki perhatian dalam kegiatan konservasi lingkungan. Pihak swasta yang memiliki perhatian terhadap lingkungan, hampir dapat dipastikan mereka memiliki misi dan visi ke depan yang tepat.
Apabila program pemerintah daerah tentang konservasi telah memenuhi sifat terencana dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang dan komprehensif, dapat juga mengajukan pembiayaan dana bergulir kepada perbankan untuk kepentingan konservasi. Namun, bila sampai usaha ini tak dapat terealisasi, pemerintah dapat menggunakan kekuasaan dan kekuatan politik untuk mendapatkan dana reboisasi.
Dengan adanya program pemerintah tentang reboisasi, maka juga akan memberikan dampak secara ekonomis pada masyarakat setempat yang diperoleh dari aktivitas penghijauan, pengelolaan, dan hasil dari tanaman yang dibudidayakan. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan taraf ekonomi masyarakat di kawasan Muria, peningkatan kualitas air baku, dan tersedianya pasokan air bagi PDAM Kabupaten Kudus.
Tentang Penulis:

Direktur Cipta Prima Nusantara dan Konsultan Agrobisnis "Kadang Tani".
0 comments