Baby Milk Feeding Bottle

Kalau kita
membicarakan dot susu atau baby milk
feeding bottle kita jarang berpikir tentang hal-hal di luar susu formula,
ASI, atau nutrisi. Padahal dari situlah perjalanan kehidupan seorang anak
dimulai, tradisi keluarga terbentuk; kebiasaan anak sebagai individu terbangun,
dan jauh ke masa depan nanti relasi anak dan orang tuanya dapat dibaca.
“My mama is my feeding bottle... She never goes
empty no matter how deep I sip! Thank you mum!” kata Israelmore Ayivor, penulis buku The Great Hand Book of Quotes. Ibuku
adalah botol susuku ... Ia tidak pernah kosong tak peduli seberapa dalam aku menyesapnya!
Terima kasih ibu! Ia mengenang botol susu kecilnya sebagai bentuk kasih sayang mama
yang uncountable. Kita, tentu saja,
juga tidak pernah melupakan itu semua.
Saya tidak tahu,
adakah yang salah dari cara kita memberikan ‘botol susu’ kepada anak-anak kita
ketika masih kecil dulu? Suatu hari nanti, kita mendapati anak-anak kita tumbuh
subur. Pada akhirnya kita mendapati anak-anak kita, generasi muda kita, tumbuh
menjadi generasi yang ‘gendut karena obesitas’. Anak-anak kita sebagian malas
bergerak, banyak tidur, banyak makan dan malas berpikir. Mereka gampang
menangis jika menghadapi masalah. Menyelesaikan masalah dengan cara menangis,
mereka pelihara sampai mereka dewasa dan tua.
Itulah yang membuat
saya membayangkan seperti ini. Seorang bayi kecil selalu menyusu ibunya dan
dibantu dengan susu formula yang dimasukkan ke dalam botol. Setiap hari ia
menjalani kesehariannya berpindah dari puting ibunya ke puting botol. Ia nyaris
tak bisa membedakan antara keduanya. Bahkan sebagian dari bayi-bayi kita merasakan sentuhan ibunya hanya melalui puting
botol. Setiap kali ia menangis, ibunya atau pengasuhnya menyodorkan botol susu
tersebut ke dalam mulutnya agar tangisnya berhenti.
Bahasa bayi hanyalah
menangis dan tertawa. Menangis adalah algoritma permasalahan, dan tertawa
adalah grammar kebahagiaan atau
kepuasan. Setiap kali seorang bayi menangis menjadi pertanda bahwa bayi
tersebut sedang menghadapi permasalahan. Sebaliknya, jika mereka tertawa,
berarti mereka sedang bahagia. Kita sering lupa bahwa permasalahan hidup tidak
hanya lapar belaka. Kita sering tidak memahami bahwa lapar hanyalah salah satu
masalah yang dihadapi seorang bayi. Akan tetapi, orang dewasa sering percaya
pada satu hal: jika anak menangis berarti ia sedang lapar dan mulut mungil itu
perlu diisi dengan puting atau dot botol susu.
Kita jarang mencari
akar masalah sebenarnya. Mengapa bayi menangis? Apakah ia lapar, apakah ia
ingin diajak berbicara, apakah ia ingin diajak bermain, apakah ia merasa bosan,
apakah ia kepanasan, apakah ia ingin
buang air besar atau popoknya basah. Setiap kali menangis ia akan mendapatkan
botol susu, setiap menghadapi masalah, solusinya adalah makan. Sejak itu sampai
mereka dewasa, dalam pikiran bawah sadarnya tertanam algoritma seperti ini:
setiap kali menghadapi masalah, aku akan menangis. Dan orang tuaku akan memberi
susu; orang tuaku akan menyuapi dengan makanan atau menyuap dengan uang. Saat
dewasa kelak, saat anak-anak ini menjadi orangtua, pola semacam ini akan
diajarkan kepada anak-anak generasi baru.
Tradisi keluarga ini
terpola kuat, kebiasaan hidup dan cara menghadapi masalah seperti ini tertanam
dan mengakar dalam, lantas membentuk sebuah kebudayaan turun temurun, menjadi
sebuah legacy orangtua kepada
anak-anaknya. Mengapa orangtua tidak mencari tahu penyebab si bayi menangis.
Jika si bayi dipastikan tidak lapar dan belum saatnya makan tiba, siapa tahu si
bayi ingin diajak ngobrol, bermain, atau diperdengarkan musik?
Anak-anak kita semakin
gemuk oleh karbohidrat. Ke mana-mana selalu membawa makanan, karena mereka
berpikir semua masalah akan selesai dengan makanan. Hidup selalu berorientasi
pada makanan. Mari kita lihat di sekitar kita, banyak anak terlambat sekolah
karena terlambat bangun, beralasan tidak mempunyai kuota internet, dan mereka
selalu menangis, menuntut, dan menuntut. Para orang tua selalu memecahkan
masalah tersebut dengan menambah uang jajan, dengan membelikan kuota. Setelah
uang jajan ditambah dan kuota dipenuhi, mereka juga tetap malas sekolah. Mereka
menghabiskan uang jajannya dengan nongkrong
di warung kopi atau kafe sambil bermain game.
Mereka pulang sampai larut malam, kuota internet habis untuk ngegame, dan esok paginya mereka
terlambat bangun lagi. Mereka tidak sekolah lagi.
Anak-anak memang
memerlukan makanan untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik. Anak-anak juga
memerlukan perhatian, komunikasi, keakraban, cinta, dekapan, sentuhan, pujian
dan hukuman untuk bertumbuh dan berkembag secara kejiwaan. Tetapi, seringkali
kesadaran selalu datang terlambat. Orang tua hanya menimbun makanan atau materi
ke mulut dan perut anak-anak, sementara perhatian dan komunikasi selalu lepas
terabaikan.
Percayakah kita bahwa kebiasaan
tutup mulut dan tradisi suap-menyuap, berawal dari dot botol susu atau baby milk feeding bottle. Kita tidak
perlu repot-repot belajar keras, tidak perlu bersusah payah mengejar
kompetensi, tak perlu repot berkompetisi, toh
semua masalah bisa dipecahkan dengan pola ‘baby milk feeding bottle’, yaitu teknik menutup mulut dengan susu,
makanan, uang dan variannya.
Ibuku adalah botol susuku ... Ia tidak pernah
kosong tak peduli seberapa dalam aku menyesapnya! Tak ada yang salah dengan ucapan Israelmore
Ayivor. Peradaban kita tak sekedar memerlukan botol susu untuk memecahan semua
masalah. Peradaban kita memerlukan seorang ibu yang lebih cerdas, yang
membesarkan anak-anaknya dengan nutrisi, cinta, sentuhan, komunikasi, dan
pemahaman yang benar. Orang tua yang memahami kebutuhan anak-anaknya secara
adil. Dan kelak kita akan menyaksikan lahirnya sebuah generasi yang bisa
mendistribusikan keadilan itu secara lebih baik.***
0 comments