Baby Milk Feeding Bottle


Esai Jimat Kalimasadha

Kalau kita membicarakan dot susu atau baby milk feeding bottle kita jarang berpikir tentang hal-hal di luar susu formula, ASI, atau nutrisi. Padahal dari situlah perjalanan kehidupan seorang anak dimulai, tradisi keluarga terbentuk; kebiasaan anak sebagai individu terbangun, dan jauh ke masa depan nanti relasi anak dan orang tuanya dapat dibaca.

“My mama is my feeding bottle... She never goes empty no matter how deep I sip! Thank you mum!” kata Israelmore Ayivor, penulis buku The Great Hand Book of Quotes. Ibuku adalah botol susuku ... Ia tidak pernah kosong tak peduli seberapa dalam aku menyesapnya! Terima kasih ibu! Ia mengenang botol susu kecilnya sebagai bentuk kasih sayang mama yang uncountable. Kita, tentu saja, juga tidak pernah melupakan itu semua.

Saya tidak tahu, adakah yang salah dari cara kita memberikan ‘botol susu’ kepada anak-anak kita ketika masih kecil dulu? Suatu hari nanti, kita mendapati anak-anak kita tumbuh subur. Pada akhirnya kita mendapati anak-anak kita, generasi muda kita, tumbuh menjadi generasi yang ‘gendut karena obesitas’. Anak-anak kita sebagian malas bergerak, banyak tidur, banyak makan dan malas berpikir. Mereka gampang menangis jika menghadapi masalah. Menyelesaikan masalah dengan cara menangis, mereka pelihara sampai mereka dewasa dan tua.

Itulah yang membuat saya membayangkan seperti ini. Seorang bayi kecil selalu menyusu ibunya dan dibantu dengan susu formula yang dimasukkan ke dalam botol. Setiap hari ia menjalani kesehariannya berpindah dari puting ibunya ke puting botol. Ia nyaris tak bisa membedakan antara keduanya. Bahkan sebagian dari bayi-bayi kita merasakan sentuhan ibunya hanya melalui puting botol. Setiap kali ia menangis, ibunya atau pengasuhnya menyodorkan botol susu tersebut ke dalam mulutnya agar tangisnya berhenti.

Bahasa bayi hanyalah menangis dan tertawa. Menangis adalah algoritma permasalahan, dan tertawa adalah grammar kebahagiaan atau kepuasan. Setiap kali seorang bayi menangis menjadi pertanda bahwa bayi tersebut sedang menghadapi permasalahan. Sebaliknya, jika mereka tertawa, berarti mereka sedang bahagia. Kita sering lupa bahwa permasalahan hidup tidak hanya lapar belaka. Kita sering tidak memahami bahwa lapar hanyalah salah satu masalah yang dihadapi seorang bayi. Akan tetapi, orang dewasa sering percaya pada satu hal: jika anak menangis berarti ia sedang lapar dan mulut mungil itu perlu diisi dengan puting atau dot botol susu.

Kita jarang mencari akar masalah sebenarnya. Mengapa bayi menangis? Apakah ia lapar, apakah ia ingin diajak berbicara, apakah ia ingin diajak bermain, apakah ia merasa bosan, apakah ia kepanasan, apakah ia ingin buang air besar atau popoknya basah. Setiap kali menangis ia akan mendapatkan botol susu, setiap menghadapi masalah, solusinya adalah makan. Sejak itu sampai mereka dewasa, dalam pikiran bawah sadarnya tertanam algoritma seperti ini: setiap kali menghadapi masalah, aku akan menangis. Dan orang tuaku akan memberi susu; orang tuaku akan menyuapi dengan makanan atau menyuap dengan uang. Saat dewasa kelak, saat anak-anak ini menjadi orangtua, pola semacam ini akan diajarkan kepada anak-anak generasi baru.

Tradisi keluarga ini terpola kuat, kebiasaan hidup dan cara menghadapi masalah seperti ini tertanam dan mengakar dalam, lantas membentuk sebuah kebudayaan turun temurun, menjadi sebuah legacy orangtua kepada anak-anaknya. Mengapa orangtua tidak mencari tahu penyebab si bayi menangis. Jika si bayi dipastikan tidak lapar dan belum saatnya makan tiba, siapa tahu si bayi ingin diajak ngobrol, bermain, atau diperdengarkan musik?

Anak-anak kita semakin gemuk oleh karbohidrat. Ke mana-mana selalu membawa makanan, karena mereka berpikir semua masalah akan selesai dengan makanan. Hidup selalu berorientasi pada makanan. Mari kita lihat di sekitar kita, banyak anak terlambat sekolah karena terlambat bangun, beralasan tidak mempunyai kuota internet, dan mereka selalu menangis, menuntut, dan menuntut. Para orang tua selalu memecahkan masalah tersebut dengan menambah uang jajan, dengan membelikan kuota. Setelah uang jajan ditambah dan kuota dipenuhi, mereka juga tetap malas sekolah. Mereka menghabiskan uang jajannya dengan nongkrong di warung kopi atau kafe sambil bermain game. Mereka pulang sampai larut malam, kuota internet habis untuk ngegame, dan esok paginya mereka terlambat bangun lagi. Mereka tidak sekolah lagi.

Anak-anak memang memerlukan makanan untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik. Anak-anak juga memerlukan perhatian, komunikasi, keakraban, cinta, dekapan, sentuhan, pujian dan hukuman untuk bertumbuh dan berkembag secara kejiwaan. Tetapi, seringkali kesadaran selalu datang terlambat. Orang tua hanya menimbun makanan atau materi ke mulut dan perut anak-anak, sementara perhatian dan komunikasi selalu lepas terabaikan.

Percayakah kita bahwa kebiasaan tutup mulut dan tradisi suap-menyuap, berawal dari dot botol susu atau baby milk feeding bottle. Kita tidak perlu repot-repot belajar keras, tidak perlu bersusah payah mengejar kompetensi, tak perlu repot berkompetisi, toh semua masalah bisa dipecahkan dengan pola ‘baby milk feeding bottle’, yaitu teknik menutup mulut dengan susu, makanan, uang dan variannya.

Ibuku adalah botol susuku ... Ia tidak pernah kosong tak peduli seberapa dalam aku menyesapnya! Tak ada yang salah dengan ucapan Israelmore Ayivor. Peradaban kita tak sekedar memerlukan botol susu untuk memecahan semua masalah. Peradaban kita memerlukan seorang ibu yang lebih cerdas, yang membesarkan anak-anaknya dengan nutrisi, cinta, sentuhan, komunikasi, dan pemahaman yang benar. Orang tua yang memahami kebutuhan anak-anaknya secara adil. Dan kelak kita akan menyaksikan lahirnya sebuah generasi yang bisa mendistribusikan keadilan itu secara lebih baik.***

 

Baca juga: 



Tentang Penulis:
Photo
Redaktur Tajug.net. Bisa diakses di bit.ly/bu-buku

0 comments