Maafkan Aku Menyakitimu
"Percayalah, aku tak akan menyakitimu, karena aku tak sanggup menyakiti makhluk terindah yang telah Tuhan ciptakan."
"Aku percaya, tapi ...."
"Mengapa kau tetap tak yakin dengan tekad dan janjiku?"
"Bukan itu, tapi ayahku ...."
"Karena kerjaanku tidak jelas? Sudah kubilang aku tak akan menyakitimu, seluruh jiwa-ragamu akan selalu kujaga."
***
Lagi. Malam ini aku pergi ke rumah Alisa untuk mengatakan keseriusanku menikahinya. Setahun sudah aku menjalani hubungan spesial dengannya. Aku ingin cepat mengikrarkan hubungan ini. Tak perlu kutunda-tunda lagi. Aku sudah mantab akan meminangnya.
Aku mengendarai Supra pemberian Ibu waktu SMA dulu, memecah heningnya malam di jalanan menuju rumah Alisa. Kulihat bulan di sana tengah tersenyum. Mungkin dia ikut menyemangatiku.
Jantungku berdegup tak menentu. Rasa gundah-gulana menyergap perasaanku. Ini sudah kali ke tujuh aku ke rumah Alisa, dengan tujuan yang sama, dan mungkin endingnya pun akan sama. Entahlah. Semoga kali ini berhasil.
Alisa aku berjanji akan memperjuangkan cinta kita! tekadku.
Aku terbayang lagi dengan Ibu. Wanita perkasa yang paling aku cintai di dunia. Setelah itu, baru Alisa.
Aku teringat saat aku SMA dulu. Saat aku sering gonta-ganti pacar, dan Ibu mengetahuinya. Ibu menasihatiku, tapi kuabaikan saja. Aku tetap bermain-main dengan hati peremmpuan.
Ibu, ibu... aku tak bisa melupakanmu, meski dirimu sudah setahun pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku baru sadar betul arti dirimu setelah kamu pergi. Ah, aku menyesal, sangat menyesal.
Kamu telah membesarkanku seorang diri. Tanpa sosok pria yang seharusnnya melindungimu. Pria yang seharusnya memberikan kasih sayang yang tulus untukmu dan aku, tentunya. Sayangnya, dia telah tiada sebelum aku hadir di dunia.
Mungkin jika ibu tak terus-terusan menasihatiku, aku belum sadar juga.
Aku berjanji, Bu. Tidak akan menyakiti hati perempuan lagi. Aku akan menjaga perempuan yang memang sangat aku cintai.
Aku memacu
motorku lebih kencang, berharap agar tidak kemalaman untuk bertamu.
***
“Assalamualaikum."
“Waalaikumsalam."
Kudengar suara merdu menjawab salamku dari dalam. Suara itu sudah sangat kukenal. Hatiku bergemuruh dahsyat. Jantungku berpacu kencang dan kakiku bergetar.
Krek.
Pintu dibuka. Tepat di depanku, berdiri bidadari yang sangat cantik. Alisa. Dia menyunggingkan senyum terindahnya. Tapi, aku melihat ada rasa takut yang tergambar tipis di wajahnya.
"Mas Fajri."
"Ayahnya ada?" Aku berbasa-basi. Pandanganku tak bisa lepas dari mata sendunya.
"Ada, Mas. Silahkan masuk, aku panggilkan Ayah dulu."
Alisa melenggang meninggalkanku. Aku pun melangkah mengikutinya. Tapi dari dalam ada suara yang menghentikan langkah kakiku. Pak Teguh.
"Alisa, masuk!" katanya tegas pada Alisa.
“Assalamualaikum, Pak Teguh." Aku mengulurkan tanganku, saat beliau sudah berada di depanku.
Tapi Pak Teguh malah berkacak pinggang mengabaikan tanganku yang sudah menengadah siap berjabat tangan. Aku jadi salah tingkah sekaligus bergetar takut.
"Ngapain kau ke sini lagi! Sudah kubilang, aku tak akan merestui hubunganmu. Lihat, kau itu siapa? Kau tak bisa membahagiakan anakku."
Sudah kuduga, pasti begini kejadiannya.
"Tapi Pak, saya punya cinta. Ya, cinta yang tulus dan saya berjanji akan melindungi Alisa. Saya janji, Pak."
"Omong kosong, makan tuh cinta. Cinta saja tak bisa membuat Alisa bahagia."
"Tapi Pak, Alisa akan bahagia jika bersama saya."
"Lebih baik kau pulang sekarang! Jangan kembali lagi, dan jangan coba-coba dekati Alisa lagi." Pak Teguh mendorong tubuhku.
"Tapi ...."
"PERGI!"
Aku sudah kalah.
Ini endingnya malam ini. Benar apa yang kuduga, pasti hasilnya sama.
Aku berbalik badan dan melangkah gontai meninggalkan Pak Teguh yang tetap pada posisinya, berkacak pinggang. Ada perasaan yang seakan mencegahku untuk pergi. Tapi, aku tak berdaya lagi. Aku tetap melangkah pergi.
BRAK!
Pintu rumahnya dibanting keras, sampai aku terkaget. Aku tetap melangkah gontai semakin menjauh. Sayup-sayup kudengar dari dalam, Pak Teguh tengah marah-marah. Dan kudengar pula ada suara seperti rintihan dari dalam.
Alisa, maafkan aku.
***
Matahari hendak bersembunyi. Aku dan Alisa bertemu di warung mie ayam Bang Maman. Aku berniatan untuk meminta maaf karena belum berhasil membujuk ayahnya dan tak bisa menolongnya.
Kata-kataku seakan berat untuk keluar. Kupandangi wajahnya. Ada yang berbeda di pipinya. Warna merah menghiasinya, tapi bukan seperti polesan make-up. Lebih seperti tamparan yang sangat amat keras.
"Alisa, kenapa pipimu?" Aku berusaha memegang pipinya, tapi dia malah menunduk menyembunyikannya.
"Tidak apa-apa, Mas," katanya pelan.
Aku yakin, ini pasti ulah Ayahnya semalam. "Apa benar tak apa-apa?"
Alisa diam.
"Lis, aku mau minta maaf, karena belum bisa membujuk ayahmu. Aku terlalu lemah. Mungkin aku akan mencari pekerjaan terlebih dahulu, agar cinta kita cepat bersatu."
"Lebih baik tidak usah dipaksakan, Mas." Alisa seperti tak bersemangat.
Aku mengerutkan keningku. "Kenapa? Apa kamu tak cinta lagi denganku? Kau menyerah?"
"Alisa sangat mencintai Mas Fajri. Tapi, Alisa juga tak mau sakit terus. Mas Fajri selalu berjanji tidak akan membiarkan Alisa sakit, bukan?"
"Benar, aku akan selalu menjagamu."
"Maka dari itu Alisa ingin putus saja. Mungkin itu lebih baik karena Alisa tak akan sakit lagi ...."
"Sakit? Apa maksudmu? Siapa yang menyakitimu?" Aku menggoyang-goyangkan bahunya.
Alisa diam.
"Apa Ayahmu yang telah menyakitimu? Katakan Alisa!" Sengaja kunaikkan suaraku karena ia tak menjawab dan aku khawatir bukan main.
"Kumohon tepati janjimu. Dan silakan cari perempuan yang keluarganya juga dapat menerimamu, dan ingat jangan sakiti dia."
Benar, ini karena Pak Teguh. Aku baru sadar, jika selama ini aku telah menyakiti Alisa. Padahal seharusnya kujaga dia. Ah, aku memang lelaki tak berguna.
"Maafkan aku Lis. Baiklah kita sudahi semua ini. Mungkin inilah yang namanya 'cinta tak harus memiliki'."
Alisa tersenyum. Bahkan senyumannya ini lebih indah dari biasanya. Aku pun senang melihatnya, meski hati ini terasa berat untuk melepaskanya. Aku janji tidak akan menyakiti perempuan lagi.

0 comments