Monumen Kecelakaan


Esai Jimat Kalimasadha

Suatu ketika Polres Kudus meresmikan Monumen Laka Lantas di Jalan Lingkar Selatan. "Kami ingin agar para pengendara, dan juga masyarakat Kudus, jadi lebih berhati-hati usai melihat keberadaan tugu ini," kata Kapolres Kudus, AKBP Andy Rifai, Selasa (20/9/2016) waktu itu. Karena bentuknya yang merangsang perhatian, monumen tersebut pasti menarik perhatian pengendara selama sepersekian detik. Monumen tersebut sepertinya ingin menceritakan ulang peristiwa naas. Sebuah mobil sedan ringsek setelah mengalami kecelakaan. Pintu mobil tersebut berlumuran darah merah. Di atas kepalanya berdiri sepeda motor dengan kondisi yang sama parahnya.

Monumen tak pernah akan punya arti dalam peradaban kita sebagai manusia, jika kita tidak mau memahami pesan moral yang dibawanya. Pengalaman tidak akan menjadi guru terbaik jika kita tidak menjadikannya mata kuliah hidup. Sejarah hanya akan melukai matahati karena kita tidak berkeinginan belajar darinya.

"Bagian terpenting dalam hidup itu ternyata adalah kesalahan, kerugian, kesakitan, kecelakaan, dan hal-hal buruk yang membuat kita menjadikannya sebagai pengalaman traumatik."

Perbedaan penafisran dalam pemaknaan melahirkan beragam cara pandang. Setiap orang bisa jadi memiliki cara pandang yang tidak sama terhadap monumen kecelakaan. Seorang seniman bisa saja melihat monumen tersebut dari sisi artistiknya, seorang pengusaha melihat itu dari sisi bisnis, seorang sopir melihat itu sebagai peristiwa biasa, dan ketika saya melihat monumen itu, dalam hati saya berkelakar, “Bagian terpenting dalam hidup itu ternyata adalah kesalahan, kerugian, kesakitan, kecelakaan, dan hal-hal buruk yang membuat kita menjadikannya sebagai pengalaman traumatik.”

Sekali lagi, ini hanya kelakar. Anda jangan terlalu serius memikirkan kebenaran pernyaataan saya. Sebab, jika Anda membantah pernyataan tersebut, saya pun tak akan sanggup melakukan adu pikiran. Saya  ingin menyampaikan sebuah pesan untuk hari belakangan ini, bahwa begitu mudahnya kita meralat kata-kata karena kita tidak mau belajar dari pengalaman. Kita semakin jarang belajar dari referensi sejarah. Kita semakin malas belajar dari monumen kecelakaan. Kita sering terpeleset oleh kata-kata yang kita ucapkan sendiri. Bukankah kata-kata adalah cermin pikiran. Mengubah satu kata atau satu huruf, bisa mungkin berakibat fatal.

Jika pernyataan salah diucapkan seorang guru, kebijakan kelas akan berubah. Tindakan siswa akan berubah. Jika hal yang sama dilakukan oleh seorang ketua RT, kebijakan warga akan berubah. Tindakan warga RT akan juga berubah.  Bagaimana jika hal yang sama dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang lebih atas? Bagaimana jika kesalahan serupa dilakukan, misalnya, oleh seorang presiden sebuah negara? Tentu saja, seluruh negara mulai dari menteri hingga rakyat jelata akan mengalami kebingungan.

Jika kita mengetahui bahwa di tikungan tersebut sering terjadi kecelakan, tentu kita akan lebih hati-hati menyelesaikan tingkungan tersebut. Kita akan selalu teringat, bukan berapa orang yang selamat, melainkan berapa nyawa yang melayang. Kita mengenang anak-anak yang kehilangan orang tua, atau sopir yang tak pernah bertemu dengan istrinya. Kita mengenang kepala yang lepas dari lehernya, atau tangan yang lepas dari badannya.

***

Monumen kecelakaan memberitahu kita bahwa peristiwa buruk itu ada maknanya. Memori kita menikmati kegembiraan dari pengalaman baik, tetapi belajar lebih banyak dari pengalaman buruk. Kita lebih banyak belajar bukan dari sejarah tentang kebaikan dan keberhasilan, melainkan dari rasa sakit, kerugian, dan pengkhianatan. Karena pengalaman buruk memiliki makna yang positif terhadap tubuh dan kejiwaan seseorang, pengalaman buruk harus kita pandang sebagai berkah alam yang tidak boleh kita sia-siakan. Jangan kita pandang sebagai musuh yang menyebabkan hidup pasti akan berantakan.

Seorang raja pernah diprotes oleh rakyatnya gara-gara sang raja salah menggunakan istilah. Dia mengatakan, “Harus kalian ketahui bahwa dahulu di desa ini pernah terjadi pemberontakan berdarah yang kemudian diberi nama ‘Pemberontakan Gerakan Tanah Perdikan’. Ini adalah pemberontakan yang didalangi oleh Demang Merit dan menjadi pemberontakan paling besar merugikan negara.”

Serta merta seorang laki-laki bertubuh kecil tinggi maju ke dekat mimbar raja. Dengan suara berat laki-laki itu memprotes ucapan raja. “Kakek Demang Merit tidak pernah melakukan pemberontakan. Kakek saya mempejuangkan keadilan. Kakek protes dan Gerakan Tanah Perdikan, bukan ingin memberontak, tetapi ingin mengingatkan kerajaan agar lebih benar dalam membagi keadilan.”

Sang raja diam.

“Itulah kenapa, wahai Paduka, saya tidak setuju Paduka menggunakan kata pemberontakan. Kakek bukan seorang pemberontak. Kakek saya seorang pejuang keadilan, memperjuangkan saudara-saudaranya, tetangga, dan semua rakyat yang tertindas karena tidak pernah mengenyam keadilan.”

Sang raja masih diam.

“Mulai sekarang, saya ingin mengusulkan kepada Paduka. Janganlah menggunakan istilah pemberontakan. Kakek dan orang-orangnya bukan musuh negara. Pemuda-pemuda yang hilang sampai sekarang bukan pengkhianat negara. Mereka tentu bukan pemberontak, melainkan pejuang keadilan.”

Sang raja masih diam. Diam-diam ia merenungkan kata laki-laki bertubuh kecil tinggi itu. Semua teori dan referensi tentang keadilan yang pernah ia baca, menyeruak ke atas layar kesadarannya. “Lalu apa yang ingin kamu usulkan?”

“Seandainya Paduka berkenan, gantilah istilah ‘Pemberontakan Gerakan Tanah Perdikan’ menjadi ‘Peristiwa Gerakan Tanah Perdikan’. Itu saja. Kami dan keturunan kami sudah merasa lega.”

Sang raja itu diam. Dan, diam-diam ia mengangguk. Ia ingin belajar dari sejarah. Bahwa sejarah yang penuh duri tak selalu melukai.

***

Baca juga: 

Tentang Penulis:
Photo
Redaktur Tajug.net. Bisa diakses di bit.ly/bu-buku

0 comments