Puisi-Puisi Puspa Rahmi; Tanah Pelayangan
TANAH PELAYANGAN
Di tanah ini aku dilahirkan
Daratan tempat tiga arus sungai berjajar
Penengah Kutuk dan Semarangan
Saksi pertemuan anak Serang dan Juwana
Menyatu dalam aliran yang tak pernah kering di kemaraunya
Jembatan merah gagah terkenang
Dengan rangka besi dan pijakan bilah kayu jati
Di bawahnya berlompatan ikan-ikan kali
Tak habis kuseberangi berpuluh jembatan
Penghubung lorong-lorong perkampungan
Tempatku mendewasakan laku dan pikiran
Di sini mushola dan vihara berdampingan
Syair sholawat dan kidung pujian kerap kali bersahutan
Hidup bersama tanpa saling mencampuri peribadatan
Setiap tahun kami bersuka cita di hari raya
Semua pintu terbuka, tersaji keciput dan botol limun di setiap meja
Tak ada pembeda, semua orang saling meminta maaf dan berjabat tangan
Di tanah pelayangan semua sanak semua saudara
Ketika halimun tersibak di pagi buta
Surya merekah di ujung timur pegunungan kapur utara
Traktor melenggak menggembur sawah
Dara laut berkerumun terbang mengitar mengepak sayap pelan-pelan
Menukik tajam ke permukaan lumpur memangsa ikan kecil dan orong-orong
Di batas penjuru utara terlihat gurat Gunung Muria hingga ke kakinya
Pemandangan puncak lima gunung di selatan menambah pesona
Di barat matahari lembayung senja bersenandung
Selaksa bayu menarikan pucuk hamparan hijau padi
Pada langitmu terpanjatkan doa-doa
Pada bumimu terpekur seluruh rasa syukur
Negeriku gemah ripah loh jinawi
Kutuk, September 2019
DI TANAH PARA PEMBABAT ALAS
di antara hiruk pikuk manusia ibu kota
di sela lalu lalang para pendatang
di riuh sorak-sorai perantau menjaja dagangan
aku mencari pertapa di jalan keramaian
yang datang membawa kisah dari tanah pelayangan
pengemban hikayat masa lalu yang tak tertulis
di lembaran sejarah ataupun di patok-patok makam dan petilasan
aku berlari ke arah perginya
kuikuti jejak satu telapak kaki di jalan paving
dan cap satu telapak tangan di dinding
ya, hanya jejak separuh raga, tak utuh
konon ia juga berpikir dengan setengah otaknya
“tapi tidak dengan hati, utuh dalam tirakat” katanya
“wahai pertapa, berhentilah
aku takkan letih mengejarmu hingga habis waktu!” teriakku
saat ia terjebak di jalan buntu
lihatlah tembok tinggi di hadapanmu
takkan mampu kau lewati dengan separuh ragamu
menyerahlah, tegasku
tiba-tiba ia berbalik melesat kilat ke arahku
menabrakku keras kemudian lenyap dan semua menjadi gelap
sederhanakanlah, bisik lirih menyadarkanku
pandanganku menjadi silau tak ada lagi tembok tinggi
melainkan layar kaca beberapa inci yang memantulkan bayangan
:aku terduduk di pusaran kata-kata
Yogyakarta, September 2019
SUNYI PURNAMA
Pijar lampu pembuat benderang telah padam
Padang bulan indah diusap awan
Menyinari kesendirian di tengah halaman
Bergidik sunyi
Jerit anak kecil terkurung di balik pintu yang terkunci
Bisik-bisik menyenyapkan
Kesunyian bertanya-tanya
Kemana bocah-bocah yang kemarin riang menyanyikan tembang dolanan?
Kemana orang tua yang kemarin berbincang tawa di pelataran?
Mengapa langit tak lagi menampakkan gugusan bintang-bintang?
Apakah terang purnama tak lagi memberi kehangatan?
Ataukah lingkungan tak lagi memberi rasa aman?
Sang dewi bulan turun ke bumi
Bukankah seperti ini dunia yang diinginkan?
Peradaban telah memindahkan keramaian
Ke dunia tak kasat mata yang manusia ciptakan
Barangkali kau baru terbangun setelah tidur selama tiga windu
Penjagaanmu membangkitkan kenangan masa lalu
Duhai jiwa-jiwa sunyi di bawah purnama
Dongeng-dongeng kemukus dan waluku telah terbawa mati
Cublak-cublak suweng dan kidang talun telah dininabobokan
Di dunia baru tak ada tempat untuk menyendiri
Kudus, September 2019
0 comments