Apakah Kita Perlu New Normal?
Dunia sudah terlampau lelah sepertinya. Pandemi beberapa bulan terakhir yang bukan hanya menjangkiti satu negara saja,
tetapi hampir seluruh dunia. Yang awalnya congkak seperti warga +62 pun
akhirnya dapat giliran terjangkit. Parah dan betah si Corona
ini berada di Indonesia. "Corona takut masuk
Indonesia. Bakso lava, bakso mercon, tahu gimbal, nasi kucing, sampai mie
setan, iblis dan banyak lagi, sudah jadi santapan masyarakat. Sudah kebal. Corona mah nggak ada apa-apanya." Begitu komentas kebanyakan warganet yang berseliweran di media sosial mana pun. Ini wabah lho Bro-Sis. Corona ditantang. Akhirnya main juga dia ke sini, kan?
Fenomena
penyebaran Corona di Indonesia tergolong sangat cepat. Tidak heran, apa-apa
yang ada di Indonesia memang lumayan cepat viralnya. Lonjakan kasus positif
setiap harinya bertambah. Kegiatan belajar di sekolah secara tatap muka dialihkan di rumah secara daring. Keluar
tren baru di dunia kerja, yakni WFH atau Work From Home. Kampanye #DiRumahAja pun gencar. Segala kebijakan yang ditempuh pun berakibat banyak hal, seperti banyaknya karyawan yang dirumahkan,
jualan sepi, sampai-sampai industri rumahan gulung tikar, industri besar pun terkena imbasnya. Jadi tidak hanya kesehatan, perekonomian pun gonjang-ganjing. Hal tersebut memaksa
pengusaha kecil dan menengah untuk mencari ide dan peluang baru, agar dapur masih
tetap ngebul. Misalnya industri di bidang konveksi di Kudus akhirnya banting setir beralih membuat masker. Upaya tersebut dilakukan agar
usahanya tetap berjalan dan karyawan tetap mendapat pemasukan.
Anehnya, sebagian besar masyarakat memilih tak acuh terhadap wabah yang
terjadi. Di Kudus misalnya, lucu sih, dari 100% mungkin hanya 25% warga Kudus
yang waspada corona. Selebihnya menganggap biasa saja. Anehnya, orang yang
pakai masker justru dianggap “kemayu/kemaki”. Seperti
awal-awal corona merebak, ketika saya pergi belanja sayur pakai masker
justru banyak pasang mata yang memandang nyinyir. Mohon maaf
nih ya, saya mengikuti anjuran pemerintah lho, biar saya aman, kalian juga aman.
Ini musuhnya tidak kelihatan, lho. Sekarang, jadi diwajibkan pakai masker, kan? Haha.
Belum lagi saya juga banyak mendengar, “Halah Corona ora tekan ndeso, onone neng kota”. Saya cuma geleng-geleng, mau komentar, tapi takut dibilang anak muda tidak punya sopan santun,
tidak geleng-geleng tapi kok gemas. Belum lagi kalau dengerin emak-emak ngerumpi di warung, “Aku nyetel TV ono berita, tak ganti Indo**ar, Lapo isine
corona wae.” Mendengar kata-kata itu, seketika hati saya menjerit, “Ku menangis, membayangkan betapa kejamnya
dirimu atas diriku." (Halah!) Iya sih jangan sampai terlalu parno, tapi waspada dan
jaga diri kan perlu gitu lho. Setidaknya ikuti protokol kesehatan. Pakai masker
jika harus keluar rumah, ngrumpinya juga ganti ngrumpi from home, buat whatsap grup biar
tambah ngetren. Jangan lupa update kelanjutan film Indo**ar sambil iris-iris
bawang kan enak tho, Bu?
Bayangin, bagaimana rasanya harus dikarantina jauh dari keluarga, ditemani perawat berpakaian astronot setiap hari. Masalahnya, jika Anda sudah
terjangkit, pilihannya dua, sembuh dan ketemu keluarga
yang disayang, atau meninggal dan dimakamkan tanpa diantar dan didampingi
keluarga. Naudzubillah.
Betahnya Corona di Indonesia berimbas di segala sektor negara, khususnya ekonomi. Akhirnya pemerintah diharuskan untuk menilik ulang kebijakan #DiRumahAja. Pemerintah akhirnya mulai mencanangkan kebijakan new normal. Dan survei membuktikan sebagaian besar masyarakat setuju diterapkan adanya new normal. Hal itu berdasarkan survei SMRC pada 18-22 Juni 2020 terhadap 1.978 responden secara nasional.
"Sebanyak 80 persen responden sepakat pemerintah melakukan transisi ke new normal meski kasus Covid-19 belum menurun," ujar Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando, dalam rilis survei SMRC yang digelar secara daring, Kamis. Adapun sebanyak 15 persen responden menyatakan tidak sepakat new normal diterapkan meski kasus Covid-19 belum menurun.
Pertanyaannya, perlukah new normal?
Pertanyaan ini sering sekali terlintas di kepala saya. Contoh dekat
saja. Di Kudus, banyak masyarakat yang sebelum diterapkannya new normal, masih santai-santai saja. Tidak ada bedanya. Jalanan masih terlihat ramai, masih banyak yang tidak menggunakan
masker, masih banyak yang tenang berkerumun, dan lain sebagainya. Masih
perlukah new normal jika kenyataannya
kita sudah lebih dulu new normal sejak
pandemi ini melanda.
Sekarang kita dituntut untuk mau bersahabat dengan Corona. Anehnya, sebagian masyarakat semakin awur-awuran dengan adanya kebijakan new normal. Tempat nongkrong kembali ramai, mall kembali penuh, dan banyak aktivitas keluar lainnya. Belum lagi, meningkatnya jumlah peminat bersepeda. Menurut sumber, permintaan sepeda dikabarkan melonjak di tengah kebijakan new normal dan dirasakan langsung oleh sejumlah produsen sepeda lokal di dalam negeri. Sehat sih, tapi ... tetap jangan berkerumun ya.
Entah siapa yang mengkomando. Tetapi faktanya hampir setiap pagi maupun sore, jalanan mulai dipadati pesepeda secara bergerombol. Seperti yang saya katakan di awal tadi. Apa-apa yang masuk Indonesia, memang tidak butuh waktu lama untuk viral dan ramai diikuti. Mulai anak-anak hingga lanjut usia pun tidak ketinggalan meminati bersepeda. Entah cuma gaya, atau beneran olahraga?
Kembali lagi ke pandemi Corona, kita tidak punya kuasa untuk menghentikan wabah ini. Yang kita bisa lakukan adalah berdoa dan tetap menjaga protokol kesehatan yang sudah ditetapkan, lebih-lebih jika tetap menjaga kesehatan dan kebugaran. Mulai dari kita sendiri yang harus ikut memutus rantai penyebaran Corona. Tetap jaga jarak, kenakan masker, sering cuci tangan, dan jaga kesehatan. Semoga Tuhan lekas mengangkat wabah ini di negara kita, dan bumi. Semoga sehat selalu.
2 comments
Aamiin...semoga Corona lekas sirna dari bumi ini ya Mbak Nae....dan semoga bisnisnya mbak Nae juga semakin maju...Aamiin..
BalasHapusAamiin. Terima kasih ibu.
BalasHapusSehat selalu buat ibu 😇