Kembalikan Kami ke Sekolah

Agnia Fadillah Rahmadini



~sebuah curahan hati siswa~

Sudah seratus hari lebih kita akrab dengan istilah "Sekolah Daring". Kebetulan bulan April dan Mei tahun 2020 yang lalu berbarengan dengan puasa, disambung dengan lebaran, sehingga perasaan kami selaku siswa masih nyaman-nyaman saja jika disuruh belajar di rumah. Ya, hampir semua siswa sangat menyukai libur panjang tahunan itu. Namun sesudah lebaran Idulfitri, kerinduan siswa pada teman-teman dan suasana sekolah tidak dapat dibendung.

Kerinduan kami tak terbalas, karena sekolah masih mengintensifkan program “Pendidikan Online“. Sistem pendidikan yang mendadak bikin kelabakan ini, bukan kehendak kita semua, melainkan karena Covid-19. Tetapi virus yang semula dari Kota Wuhan ini tidak bisa diusir dengan mudah, bahkan hari demi hari justru makin bertambah saja angka positif terpapar Covid-19 di Indonesia. Angka yang belum juga melandai inilah penyebab semua berubah, termasuk dalam bidang pendidikan.

Mengamati perjalanan Sekolah Daring tiga bulan terakhir, banyak orang bertanya-tanya, bisakah sistem pendidikan tersebut mencerdaskan bangsa. Kemudian bagaimana efisiensinya bagi sekolah dan peserta didik. Lalu apakah Sekolah Daring efektif untuk menjadi model pembelajaran dalam satu tahun ini, dan bisa jadi tahun yang akan datang.

Kita mengetahui bahwa pendidkan adalah pembelajaran tentang pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Dalam dunia pendidikan, guru merupakan peran penting  yang memiliki keahlian khusus. Namun, juga mempunyai cara mengajar dengan baik dan benar, agar siswa dapat memahami apa yang dijelaskan. Sebab keberhasilan siswa juga tergantung pada guru yang mengajarkan.

Koordinasi yang Membingungkan

Tetapi, pengalaman beberapa bulan mengikuti Sekolah Daring, terutama ketika penjelasan dibuat dalam bentuk video atau voice note ternyata memunculkan masalah. Disaat siswa dituntut mengikuti dan memahami, justru membuat siswa bingung. Tak hanya itu, ada beberapa guru yang memberikan daftar kehadiran tidak terjadwal. Satu contoh, pelajaran sejarah dimulai jam 10 pagi, sebelum masuk jam yang sudah dijadwalkan, guru tersebut sudah memberikan pemberitahuan agar siswa mengisi daftar hadir. Padahal siswa masih mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru pada jam tersebut. Keadaan ini menggambarkan lemahnya koordinasi dan manajemen, sekaligus gagalnya target pembelajaran. Membingungkan.

Belum lagi jika ada  guru yang hanya memberikan materi dalam bentuk dokumen tanpa penjelasan, lalu diberikan tugas yang lebih sulit dari contoh-contoh yang sudah ada. harus ke manakah siswa bertanya? Di sini memang harus ada kesepakatan antara pendidik dan siswa untuk memilih model pembelajaran yang nyaman dan ramah untuk semua.

Sekarang siswa harus siap dengan baterai ponsel pintar atau laptop, sebelum pembelajaran daring berlangsung. Acapkali juga terkendala sinyal dan kuota yang menipis. Persoalan itu bagi siswa yang secara ekonomi tercukupi dan orang tua yang melek teknologi bukanlah menjadi maslaah. Untuk Sekolah Daring ini setiap siswa harus membeli kuota yang memadahi, katakanlah setiap anak butuh Rp10.000 setiap harinya. Ini cukup menguras kantong. Belum lagi harus menyediakan ponsel pintar atau laptop yang memadahi. 

Persoalan pendidikan sekarang sangat menyedihkan karena keberhasilan pembelajaran yang cenderung gagal, karena faktor budaya belajar, teknologi, ekonomi dan letak geografis. Ini menunjukkan bahwa Sekolah Daring kurang atau dapat kita tegaskan tidak efisien tidak mencapai tujuan.

Banyak Siswa Mengeluh

Sampai hari ini dan mungkin masih lama lagi, kita akan mendengar ribuan bahkan jutaan siswa yang mengeluh jika saja Sekolah Daring ini masih diadakan. Secara umum siswa tidak terbiasa menjadikan rumah sebagai tempat belajar di saat pagi hingga siang hari. Dan mengganti jam istirahat di malam hari yang tidak menentu. Tidak ada lagi bercengkrama dengan teman saat jam istirahat, tidak ada lagi jajan di kantin, ini benar-benar membuat semangat belajar turun drastis.

Memaklumi keadaan yang sedang dihadapi  merupakan kebiasaan atau tradisi orang Indonesia. Tetapi bagi generasi milenial yang sudah terlanjur dipacu untuk maju. Tentu tidak bisa menerima kondisi tanpa protes atau koreksi. Terlebih dalam persoalan pendidikan yang merupakan sarana utama atau tulang punggung pembentukan tegaknya kualitas manusia. Maka tidak berlebihan bilamana kebijakan pemerintah dalam menetapkan Sekolah Daring harus ditinjau ulang. Kembalikan siswa ke sekolah. Agar tujuan mencerdaskan bangsa tidak terputus (missing link) rantai pembelajarannya. Jika perekonomian bisa new normal, kenapa pendidikan tidak?  Semoga lekas ada solusi yang cerdas dan tepat untuk permasalahan pendidikan yang belum juga menemui titik cahaya.


Tentang Penulis:
Photo
Anggota Keluarga Penulis Kudus (KPK), siswa kelas 12, SMA 2 Kudus.

0 comments