Kunjungan Jumat Wage
Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya
Tak pernah berubah. Pagi tadi pun, sebelum Pak
Mamik—ayah saya—berangkat
takziah, ia didatangi dua perempuan gemuk tersebut. Pada saat itu Pak Mamik
sedang di samping rumah membersihkan kandang kambing. Pak Mamik tak tahu kalau
di luar sudah berdiri dua perempuan yang membawa kertas.
”Permisi,” sapa dua perempuan itu bersamaan.
”Ada apa ya?” jawab Pak Mamik pura-pura tidak
mengenal. Padahal sebetulnya ia tidak suka sama sekali dengan datangnya mereka
yang serba kepura-puraan.
”Amal jariyah untuk yatim-piatu, Pak.”
”Satu rupiah pun aku tidak ada. Maaf.”
”Seikhlasnya saja, Pak. Bapak punya berapa,” ucap
perempuan gemuk yang membawa amplop.
”Walah, sudah dibilang saya tidak punya serupiah pun,” balas Pak
Mamik tak menggubris mereka lagi.
Mereka tampak kecewa. Di rumah kami tadi yang
tidak mendapat apa-apa, perempuan-perempuan itu lantas menunjuk rumah-rumah
yang akan menjadi target mereka selanjutnya. Langkah mereka berikunya tertuju
pada rumah Kang Todin, marbot di desa kami. Dari kejauhan, sebelum mereka
sampai di rumah Kang Todin, mereka meneteskan cairan ke matanya.
Sudah tertebak bahwa setiap rumah yang mereka
datangi strateginya selalu berbeda. Senin kemarin, sebelum mereka mendatangi
tiap-tiap rumah, perempuan yang selalu membawa amplop itu turun dari mobilnya.
Tepat di persimpangan jalan gang desa kami. Pak Mamik melihatnya ketika Pak Mamik
sedang ke ladang tebu yang letaknya tak jauh dari sana.
Pak Mamik bercerita bahwa perempuan itu meletakkan
besek di pojok jalan persimpangan. Tatkala Pak Mamik menengoknya, besek itu
berisi telur ayam kampung, bunga kantil, mawar merah, pisang, uang dua logam
dan apem. Pak Mamik bergegas membakar besek beserta isinya itu setelah mereka
menjauh pergi.
”Dasar Nyai
Torek. Agama dibawa-bawa!” gerutu Pak Mamik di depan rumah ketika pulang dari
ladang tebu. Cangkul yang di pundaknya serasa ingin ia lempar ketika itu karena
saking geregetan.
Sebenarnyalah tak hanya Pak Mamik saja yang geram,
warga desa kami pun sangat terganggu setiap mereka datang. Bukan berarti
keberatan untuk mengeluarkan, tetapi cara mereka menodong di pagi-pagi sangat
mengusik. Mereka menjual atas nama yatim-piatu, padahal uang yang mereka
mumpulkan masuk ke dalam perut mereka sendiri.
Pak Yoto yang memergoki. Dia sengaja membuntuti
dua perempuan gemuk itu setiap kali selesai memelas di pintu rumah warga desa kami. Kata Pak Yoto,
mereka akan merobek-merobek kertas yang disodorkan kepada setiap warga lalu
dibuang ke tempat sampah lantas diguyur dengan air yang telah mereka sediakan
di dalam tas supaya tak berjejak. Dan tugas perempuan pembawa amplop ialah
mengeluarkan uang-uang di dalam amplop
lalu kemudian dimasukkan ke dalam tas dan juga ditaruh di saku bajunya.
Atas wawanrembuk bersama, warga memutuskan untuk
melaporkan ke pihak yang menangani. Akan tetapi sudah dua bulan ini tidak ada
respons. Dan
perempuan-perempuan itu tak hentinya mengemis dengan dalih agama.
”Tidak usah dikasih. Kalau mereka maksa, tinggal
pergi saja,” ucap Pak Tari tampak geram.
”Tidak dikasih juga masih datang. Namanya juga tak
tahu malu!” sahut Todin.
”Yang penting jangan sampai kita kena tipu.” Paklik Wandi yang dikenal pendiam
akhirnya ikut angkat bicara.
***
Ini cerita lain. Bukan di desa kami. Waktu Pak
Mamik membedol singkong di ladang, Pak Mamik mendapat cerita dari temannya
bahwa di desa temannya itu juga kedatangan peminta sedekah dengan
mengatasnamakan pembangunan masjid. Berbeda dengan desa kami, di desa teman Pak
Mamik itu, yang meminta-minta ialah seorang lelaki berperawakan kurus,
berjanggut dan sudah beruban, memakai baju koko, dan membawa kertas yang
dimasukkan map serta kotak.
Teman Pak Mamik bercerita kalau alamat yang
tertera di kertas ketika dicari di internet tak ditemukan, bahkan di peta pun
tak terjumpai. Pada awalnya, di desa teman Pak Mamik itu, warga tak segan
memberikan uang dari yang berjumlah paling rendah hingga paling tinggi. Namun
ketika diketahui bahwa lelaki itu sering datang dan selalu di hari Jumat Wage,
timbullah prasangka di benak warga.
Pada akhirnya warga di desa teman Pak Mamik tak
mau menggubris lelaki itu. Masih dari cerita teman Pak Mamik, bahkan ada warga
yang menghardik dan justru dibalas dengan khotbah beserta dalilnya. Mulai itu warga menutup
pintu di setiap hari Jumat Wage.
Cerita itu Pak Mamik sampaikan satu bulan lalu
tepat ketika dua perempuan gemuk meletakkan besek di pojok persimpangan jalan
lagi. Pak Mamik kemudian mencurigai bahwa lelaki kurus dengan dua perempuan itu
satu kubu. Mereka sengaja berpencar-pencar di desa-desa.
Akan tetapi hingga hari ini, dan bahkan pagi tadi
masih disambangi dua perempuan itu, prasangka Pak Mamik belum terbukti. Hingga
pada akhirnya, tadi sehabis mendatangi rumah kami, Pak Mamik membuntutinya
diam-diam.
Kata Pak Mamik, semula mereka jalan kaki mengetuk
satu pintu ke pintu lainnya, lantas mereka pndah tempat masih dengan jalan
kaki. Sekitar pukul sebelas siang, mereka menuju selatan desa kami yang sudah
tidak ada rumah-rumah lagi. Terbentang ladang tebu , mereka sudah ditunggu di
sana.
Mobil berwarna hitam memuat mereka. Benar saja,
jumlah mereka ada enam orang. Itu pun jika Pak Mamik tak salah lihat, karena Pak
Mamik mengintainya dari dalam ladang tebu. Ada seorang laki-laki gemuk berbaju
kotak-kotak berwarna biru memakai kacamata hitam, menagih mereka satu sebelum
masuk ke dalam mobil.
Mereka ada yang dipukul dengan map, masih cerita
Pak Mamik. Entah tak menghasilkan uang atau bagaimana. Yang dipukul itu lelaki
kurus yang keliling di desa teman Pak Mamik. Sementara itu, dua perempuan gemuk
bermanis-manis di depan lelaki gemuk. Merayunya agar tak kena pukul juga. Namun
sepertinya lelaki gemuk sudah dibutakan dengan uang. Dia tetap memukul dua
perempuan itu.
”Memang sudah tak ada yang mau ngasih, Bos,” ucap
perempuan gemuk pembawa amplop.
Kata Pak Mamik, lelaki yang dipanggil bos itu bukan lain ialah
yang memukul dua perempuan gemuk dan lelaki kurus. Pak Mamik juga mendengar
bahwa lelaki yang dipanggil bos itu ingin merubah operasi. Bukan di desa ini
lagi, tetapi pindah ke desa yang lain. Pak Mamik tak mendengar mereka akan
beroperai di mana, karena lelaki gemuk yang dipanggil bos itu berbicara dengan
bisik-bisik.
Pak Mamik kembali. Namun ia tak langsung ke rumah.
Ia ke tempat Pak RT melaporkan apa yang telah dilihat dan didengarnya. Pak RT
malah meminta pesangon Pak Mamik yang katanya sebagai uang jalan.
”Serupiah pun saya tak bawa, Pak!” kata Pak Mamik
langsung ngeloyor pulang.
***
”Kita pergoki bersama saja, Yah. Kebetulan besok kan jatuh hari Jumat
Wage,” kata saya kepada Pak
Mamik.
”Mungkin itu salah satunya.”
Sudah sejak pulang dari menguntit para peminta
pura-pura amal jariyah itu, Pak Mamik tak memikirkan lagi. Namun, hari ini ia risau kembali karena akan
menjumpai mereka lagi. Bukan risau karena takut uangnya habis, tetapi Pak Mamik kahwatir kalau sampai ia lupa diri ketika diajak
biacara dua perempuan gemuk itu.
Belum selesai kekhawatiran Pak Mamik akan hal itu, mendadak datang seroang
perempuan kurus, berkulit putih. Ia mengucap salam kepada kami yang kebetulas
sedang duduk di teras. Tanpa basi-basi ia langsung mengutarakan maksudnya.
”Untuk pembangunan sekolah. Seikhlasnya tidak
apa,” katanya kemayu.
Ganjil sekali, Pak Mamik memberikan selembar uang berwarna biru.
Saya belum tahu tujuan dan maksudnya, tetapi Pak Mamik memberikannya begitu saja. Padahal uang itu
seharusnya untuk membeli pupuk.
”Yah, kenapa dikasih banyak?” tanyaku setelah
perempuan itu menjauh.
”Ayo ikut Ayah!”
Saya langsung digelendeng Pak Mamik. Saya kira kita akan ke ladang tebu,
tetapi ternyata tak berhenti di sana. Pak Mamik terus masuk ke ladang tebu, menyusuri pohon demi
pohon. Saya yang memakai baju lengan pendek pun langsung gatal-gatal terkena
daun tebu.
”Yah, kita mau ke mana.”
Tak ada jawaban. Namun, akhirnya saya tahu,
ternyata Pak Mamik ke tempat
mobil yang sudah menunggu perempuan berkulit putih tadi. Entah dari mana Pak
Mamik tahu ada seseorang yang telah
menanti perempuan itu.
Saya terkejut ketika melihat ada dua perempuan gemuk di dalam mobil itu. Biasanya
mereka bekerja di hari Jumat. Itu tandanya satu hari lagi. Mereka yang ada di
dalam mobil berpakaian rapi semua. Wajahnya begitu bahagia; tertawa-tawa,
makan-makan.
Satu jam kemudian, perempuan kurus berkulit putih
itu tiba di mobil. Mereka tampak lebih bahagia ketika disodori amplop perempuan
kurus.
”Tebal!” kata perempuan gemuk pembawa kertas.
Namun sekarang ia tak membawa apa pun, bahkan biasanya mereka berkerudung kali ini
mereka justru memakain pakain serba pendek.
Pak Mamik kembali menggandeng tangan saya. Diajak semakin
mendekati mobil itu, jantungku berdegup. Tidak biasanya saya menghadapi semacam
ini.
”Ibu kenapa di sini? Biasanya Jumat Wage baru
mengunjungi desa saya,” celetuk Pak Mamik. ”Mbak
ini temannya ibu itu?” lanjut Pak Mamik sambil menunjuk perempuan kurus berkulit putih lalu berganti ke dua
perempuan gemuk.
”Kalian siapa?” Tiba-tiba muncul lelaki gemuk berkacamata
(potongannya seperti yang pernah diceritakan Pak Mamik).
”Saya sedang menengok tebu di ladang, mau panen.
Kalian sendiri kenapa di sini? Mau mengambil tebu? Ambil saja. Tidak usah
bayar. Saya memberi secara ikhlas.”
Lelaki gemuk berkacamata hendak melayangkan
tangannya kepada Pak Mamik,
tetapi Pak Mamik lebih
tangkas. Sementara itu, dua perempuan yang sudah kita hapal betul, begitu
sebaliknya, mulutnya menganga. Mereka berdua bersembunyi di belakang tubuh
lelaki gemuk. Badan lelaki itu lebar, tetapi tidak mampu menutupi dua perempuan
yang tubuhnya juga lebar.[]
0 comments