Mata Amira

Sitta Zukhrufa


Cerpen Sitta Zukhrufa


IA sibuk. Ya, ia selalu sibuk. Namun aku memilih menunggunya. Tak apa. Bagiku, musik Bossanova Jawa yang mengalun di galeri batik ini adalah keteduhan kedua setelah sorot mata pemiliknya, Amira. Kusebut keteduhan, karena memang setiap kali di sini aku merasa tenang. Dan sorot mata Amira, adalah sumber rindu yang candu.

Aku selalu betah di galeri batik ini. Galeri batik milik Amira cukup luas. Bangunan berbentuk joglo ini dulunya rumah warisan dari orang tuanya. Atapnya tinggi, orang Kudus menyebutnya atap pencu. Dinding Gebyog menambah kesan menawan. Halaman depan juga luas, khas rumah kuno. Bunga-bunga berderet memanjakan mata. Melati, Mawar, Petunia, Kembang Sepatu, Bugenvil, semuanya tumbuh indah. Pohon Tanjung di sisi kiri halaman membuat galeri terasa sejuk.

Amira bisa saja membuat galeri batik yang lebih modern dan mewah, tapi dia lebih suka galerinya seperti ini. Di ruang Jogo Satru atau ruang depan, batik-batik Kudus berjejer dengan berbagai motifnya. Paling kanan adalah batik motif Sekar Jagad. Motif itu melambangkan kekayaan alam yang berupa macam-macam bunga di dunia. Batik itu membawa pesan pada manusia untuk melestarikan kekayaan alam. Begitu Amira pernah menjelaskan. Sebelahnya ada batik motif Pagi Sore, Parijotho, Beras Kecer, Merak Cattleya, Pakis Haji, Gebyok Rogomoyo, dan paling baru motif Menara Kudus. Motif terbaru itulah yang hendak aku bahas dengan Amira.

Galeri batik sepi. Kutanya Asri—penjaga galeri—sejak pagi memang belum ada pengunjung. Kata Asri juga, dua perajin batik mengundurkan diri karena beralih kerja di pabrik sepatu. Aku mendengus. Akhir-akhir ini, Amira terlalu padat dengan jadwalnya mengisi materi lokakarya, mengurusi kunjungan sekolah-sekolah ke galerinya, sampai lupa mengurusi nasib batik di galerinya sendiri, pikirku.

“Aduh, maaf. Menunggu lama ya, Mas?” Amira muncul mengenakan baju batik motif Menara Kudus kombinasi motif garis-garis vertikal.

“Nggak apa-apa, aku dari tadi ngobrol sama Asri, kok. Iya kan, Asri?” Mataku mengarah pada Asri. Asri mengangguk.

“Bagaimana, teman-teman Mas jadi pesan batik Menara Kudus buat seragam baru?”

Keresahanku sepertinya terbaca oleh mata Amira.

“Mas?” Amira mendekatkan wajahnya, menyelidiki wajahku.

“Nggak jadi.” Berat sekali mengatakannya.

“Nggak apa-apa. Nggak masalah. Belum rezekiku,” kata Amira tetap tenang.

“Mereka memilih batik printing.”

“Oh….” Amira tersenyum kecut, tapi tetap tak kehilangan ketenangan. Matanya masih teduh.

“Kamu tidak marah?”

“Buat apa?”

Aku bekerja di kantor pemerintahan kota. Itu berarti, orang-orang sepertiku, juga teman sekantorku, sudah selayaknya memiliki misi memajukan produk lokal. Ketika ada wacana akan membuat seragam baru, aku mengusulkan untuk pesan batik di galeri batik Amira. Kujelaskan pada mereka, ada batik motif baru dan bagus, motif Menara Kudus. Awalnya mereka setuju, setelah harga kusebutkan, mereka berubah pikiran.

“Waduh, kemahalan itu. Batik biasa saja yang tidak terlalu mahal,” kata salah satu dari mereka.

“Ya nggak mahal, itu batik tulis, lho. Itu juga sudah dikasih potongan harga. Kalau ingin yang lebih murah berarti pesan yang batik cap saja. Bagaimana?” usulku kemudian.

Mereka tanya harga lagi, dan harga yang kusebutkan lagi-lagi dianggap mahal. Batik biasa saja yang tidak terlalu mahal maksud mereka adalah batik printing. Andai mereka tahu, batik printing bukanlah batik. Batik printing hanya kain biasa yang bermotif batik. Dan tentu saja, batik printing bukan termasuk warisan budaya Indonesia seperti yang sudah ditetapkan oleh UNESCO.

“Katanya mau memajukan Kudus, masak kita pakai batik printing,” sanggahku.

“Halah, nggak usah idealis seperti itu. Pak Arya bilang seperti itu kan karena kekasih Pak Arya pengusaha batik. Iya kan?” Kalimat itu diamini teman-teman sekantorku disusul gelak tawa.

Setelah aku menceritakan semuanya, kukira Amira marah. Nyatanya tidak sama sekali. Matanya masih sama, tenang.

“Lihat batik yang tertempel di dinding itu, Mas.” Telunjuk Amira mengarah pada pigura besar yang berisi selembar batik kuno. Di bawah batik itu tertulis, Batik Kudus Motif Kapal Kandhas.

Kapal Kandhas menyimpan cerita. Ya, setahuku batik diciptakan memang menyimpan makna dan ceritanya masing-masing. Ribuan tahun silam kapal Sam Po Kong yang berlayar melewati Muria kandas karena rusak. Para penumpang asal Negeri Tirai Bambu akhirnya mukim di lereng Muria. Batik itu adalah batik peninggalan Mbah Uti, motif favorit sekaligus karya pertama Mbah Uti. Mata Amira yang tenang sekarang terlihat berkaca-kaca. Ia bercerita. Aku diam, mendengarkan.

“Dulu, Perang Dunia II menyebabkan pasokan kain dari Belanda menurun. Harga bahan-bahan dasar membatik melambung. Perajin batik memilih berhenti. Produksi batik Kudus diambang kemati-an.” Tangan kanan Amira mengusap matanya yang basah.

Itulah mata Amira. Yang tegas dan tegar menghadapi segala masalah, tapi selalu gagal untuk tidak menangis setiap bercerita tentang perjuangan panjang batik Kudus.

“Tapi, Mbah Uti memutuskan akan tetap membatik apa pun yang terjadi. Mbah Uti bahkan perempuan satu-satunya yang masih membatik waktu itu. Dan setelah batik selesai, tentu dengan proses panjang dan rumit, apakah lantas batik itu laku? Tidak.” Air di mata Amira deras.

“Lalu urusan batik dilanjutkan oleh Ibu. Sulit sekali mencari perajin batik karena memang penghasilan membatik tidak sebanding dengan kerumitan pembuatannya. Ibu pernah tidak memiliki perajin batik Satu pun. Ibu mengerjakan-nya sendiri. Dan apa, batik tulis, batik cap, kalah di pasaran dengan batik printing.”

“Dan sekarang, kamu. Kamu sama hebatnya dengan Ibu dan Mbah Uti. Kamu sudah punya galeri batik sebesar ini, 17 perajin batik yang kamu ajari dari nol, dua penjaga galeri. Kamu hebat,” kataku menghiburnya.

Ia menggeleng, “Aku belum ada apa-apanya dibanding Mbah Uti dan Ibu, Mas. Tugasku masih banyak.”

Tugas banyak itu salah satunya mencintai batik Kudus sebaik-baiknya, jelasnya. Itu yang membuat Amira getol sekali mempelajari batik Kudus ke sana kemari dengan biaya yang tidak sedikit. Lalu bersikeras mengajak masyarakat Kudus untuk melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya tanah kelahiran berupa batik Kudus itu.

Aku mengusap pundak Amira, berusaha membuatnya lebih tenang. Namun usahaku tak terlalu berarti, karena bahkan dalam tangis aku masih bisa melihat pantulan ketenangan di matanya.

“Mas tahu, apakah ibu marah ketika batik tulis Kudus tidak terlalu dihargai, lalu perajin beralih pada pekerjaan yang lain? Sama sekali tidak. Ibu berpikir, mungkin masyarakat belum tahu, belum mencapai kesadaran bahwa batik adalah warisan budaya yang mesti dijaga. Atau bisa jadi, mereka memang tidak punya cukup uang untuk membeli batik asli.”

“Tapi mereka tahu, Amira. Mereka juga punya cukup uang untuk menghargai batik dengan membeli batik Kudus yang asli.”

“Tahu dan punya uang saja tidak cukup, Mas. Harus ada kesadaran.”

Logis. Kesadaran yang dibutuhkan. Aku mengangguk.

“Ibu pernah memberi tahu prinsip yang sampai sekarang masih aku pegang,” kata Amira.

“Apa itu?”

“Gusjigang.”

“Gus-ji-gang?”

“Gus, berarti bagus. Bagus akhlaknya. Akhlak baik harus kita jadikan ruh dalam semua aktivitas. Ji, ngaji. Ngaji berarti mau menuntut ilmu. Kita harus berpengetahuan. Ini yang membuat tekadku benar-benar bulat mempelajari batik. Dan ilmu berada di bawah akhlak. Jadi mau secerdas apa pun, tiada guna jika kita tidak memiliki akhlak. Jika kedua hal itu sudah dimiliki, maka yang ketiga akan berjalan dengan benar.”

“Sebentar, itu nilai yang diajarkan Sunan Kudus bukan? Gus-Ji-Gang. Yang ketiga, Gang. Berdagang?”

Amira mengangguk. “Gang, pandai ber-dagang. Berdagang diartikan usaha apa pun untuk memperoleh penghasilan sebagai bekal memenuhi kebutuhan. Ketiganya tidak bisa dibolak-bolik. Gus-Ji-Gang. Itulah keseimbangan hidup.” Amira ingat betul, ibunya pernah mengajarkan itu.

Ajaran Sunan Kudus itu memang luar biasa. Spirit itu yang diajarkan turun-temurun dari Mbahnya. Amira memang tegas, namun lembut. Amira punya modal pengetahuan yang mumpuni tentang batik. Tetapi, ia tidak mudah puas dan masih belajar bahkan sampai habis ratusan juta. Amira memiliki ambisi terhadap batik Kudus dan ia tidak mengejar materi semata. Amira bisa saja menguasai semua jalur perdagangan batik di Kudus dan sekitarnya demi omzet yang tinggi dengan cara apa saja, tapi Amira selalu kembali pada niat utamanya, menjaga warisan budaya, bukan sekadar demi uang.

Itukah yang membuat matanya selalu tenang? Itukah yang membuatku selalu merasa dijerat rindu yang candu? Itukah?

“Filosofi gusjigang keren, Mas. Gusjigang mesti diabadikan. Mas setuju gusjigang kujadikan motif batik Kudus selanjutnya?”

Aku bertepuk tangan pelan di depan mata perempuanku yang selalu tenang itu. []

Tentang Penulis:
Photo
Lahir dan tinggal di Kudus. Pendidik di SMK NU Banat Kudus. Tahun 2015 pernah menjabat sebagai Pemred di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Paradigma. Suka membaca dan jalan-jalan. Terinspirasi dengan gusjigang membawanya bergelut dengan usaha cokelat bernama Coklata. Bisa disapa melalui akun Facebook Sitta Zukhrufa atau instagram @sitta_zukhrufa.

0 comments