Puisi-Puisi Dimas Nugraha; Pada Sobekan Kain Ini Kutulis Puisi

Dimas Nugraha


Puisi Dimas Nugraha


PADA SOBEKAN KAIN INI KUTULIS PUISI

Adalah bayang cermin: kedamaian, atau segala arti di dunia
maka bersihkan, segala debu sesal, cemas yang makin menebal pada kaca
kokok ayam dan cericit burung pagi ini, mengusap sebagai daya
sehingga akan jelas saja ketemukan, yang dicari dalam ini kehidupan

(Kudus, 2020)


 

JAMAK KONTRAS

 (1)

Kutarik garis dari atas ke bawah
membentuk angka satu
untuk mengakhiri kekosongan larik ini
sekaligus mengawali sebuah puisi

Dengan sikap ia seolah berkata, “pulanglah, usap kaca jendela rumahmu.”
kematian mulut dan tatapan
kematian lidah kemanusiaan
ah, sahabatku, baiklah, aku akan pergi; aku pulang
meski rumah adalah botol arak paling purba
telah siap kuterima todongan pistol tanda tanya dari tetangga
dan akan kuakrabi sekali lagi segala sunyi
buat apa juga berlama-lama mencederai hati dan harga diri?

Ibu memutar saluran radio
usaha mengisi baris hampa yang ditinggal kata-kata
tanda kita ke bait berikutnya
sehina itukah bagimu aku sebagai pengungsi
apakah kalian kira, kita,
seseram pelaku mutilasi di berita televisi?

Sudah, aku pergi, sahabat; aku kembali
aku undur diri, meski rumah adalah sebotol arak paling purba
kini sampailah diri pada kekosongan yang terlalu panjang masanya

 (2)

Bahkan, belum juga terjawab
di mana tempat untukku meredam
bunyi-bunyi duka maupun ratap
dinding kamar ataukah jalanan liar?

sebagai jeda:
asap rokok itu menjadi hampa
setelah dibikin keriting oleh api

lagu ini kunyanyikan, hanya ini
sebagai peluru bagi kebosanan dan kendi isi kepala
yang meninggalkan sempit lubang perih bahkan keremukan
yang tak sempat dikenali mata telanjang kesempatan

adalah jeda:
genting kaca pun dibisui oleh cahaya
setelah matahari di atas terhasut mulut awan lembut

meski tak terjawab olehmu dengan segera
segala kesabaran dan pertanyaan kupupuk padamu tetap
sebagai kegalauan, perasaan mungkin penasaran, atau apalah itu
semua tak akan pernah usai, puisiku, demi waktu
meski pada suatu ketika telah kutemukan nyala lampu

 (3)

Kuaduk cat merah muda dan warna biru
mengikat arti kebebasan bayang-bayang dengan lagu
dan, saudara, bolehkah aku meminta tisu?
aku ingin menangis, namun dengan sebuah cara
seperti lelaki terhormat mengeluarkan air mata

(Kudus, 30 September 2020)


Tentang Penulis:
Photo
Lahir di Kudus, 1998. Berkarya dengan medium puisi. Anggota Komunitas Fiksi Kudus. Puisi-puisinya terbit dalam buku pertamanya, Pecah (Reybook Media, 2019). Diundang sebagai peserta dalam Pertemuan Penyair Nusantara 2019.

0 comments