Tentang Din

 Mujiana A Kadir

Mujiana A Kadir


Saya tahunya di grup. Tiba-tba saja, "Innalillahi wainailaihi rojiun, telah meninggal dunia, Mas Dindin, karena sakit." Begitu isi beritanya.

Dalam hati, ini apa-apaan, bercandanya nggak lucu banget. Lalu iseng-iseng saya kepoin facebook yang bersangkutan, dan memang benar berita itu. Ya Allah, tiba-tiba serasa ada petir menggelegar dan menyambar saya. Jiwa ini seolah melayang meninggalkan tubuh yang terduduk lemas. Tak Berdaya.

***

“Mas Broto, ini saya Etika, mau nanya aja Mas. Meskipun mungkin tak ada maknanya, tapi tetap saja merasuk rasa penasaran dan keingintahuan akan hal tersebut. Mas Dindin almarhum meninggal karena sakit, sakit apa dia? Karena saya tidak pernah mendengar kabar tentang sakitnya sebelumnya. Tiba-tba saja satu tahun lalu ada kabar melalui grup teman-teman kampus seangkatan, bahwa dia meninggal karena sakit. Mas Andi bilang, Mas Broto yang tahu semua tentang sakitnya. Lalu bagaimana dengan keluarganya sekarang, anak istrinya?”

“Dindin sakit asam lambung. Dua tahun sebelum meninggal, dia pernah bercerita telah melakukan general chek up karena sering lemas saat pekerjaannya menumpuk. Dia mengira hanya soal sering telat makan. Tapi ternyata, kadar gula darah dan kolesterol melebihi ambang batas. Mengenai istri dan anak-anaknya, kabarnya mendapat jaminan dari yayasan.

Tiga minggu sebelum dia meninggal, dirawat inap di klinik dekat kompleks tempat tinggalnya. Entah karena sudah membaik atau karena bertepatan dengan hari raya Idulfitri, pulang dari klinik langsung mudik. Setelah itu, aku tak bertemu. Bahkan ketika sakit terakhir, aku tidak bisa menjenguk di rumah sakit karena sedang ada pekerjaan di luar kota.”

“Astagfirullah, sampai separah itu kah sakitnya, sampai tidak tertangani dengan baik. Tapi alhamdulillah ya, anak dan istrinya mendapat jaminan dari yayasan, setidaknya meringankan beban istri almarhum. Sedih sekali, mengingat masih ada anak usia balita, baru berusia lima bulan. Ya Allah, nggak menyangka dia berumur pendek. Saya belum sempat minta maaf, dan lain lain. Semoga husnul khotimah. Cuma bisa kirim doa.”

***

Sebagi orang yang mengenal almarhum cukup lama, bahkan pernah dekat, pernah miskin bersama. Ibaratnya sebagai mahasiswa irit, senasib seperjuangan. Mungkin bila jodoh, kami sudah menikah dan memiliki anak yang cantik, pintar, dan lucu. Saya bisa menebak arah pikirannya ke mana.

Sejak kami berpisah, diam-diam saya membaca setiap tulisan-tulisannya. Dia dan saya menikmatinya, terhibur juga, sampai terbaca ada satu tulisan yang saya tahu, dia sedang bercerita tentang dirinya sendiri.

Ini cerita tentang istri yang tak mau lagi bekerja. Bisa jadi ini dialami oleh banyak wanita-wanita  di sekitar kita. Saya punya sahabat baik Rio namanya. Di siang yang terik, di sela-sela makan siang  ia bercerita tentang kegundahannya. Rio memiliki seorang istri, sebut saja Tia. Tia lulusan sarjana pendidikan  universitas ternama di Semarang. Nilai indek prestasi komulatifnya lumayan tinggi, bahkan jauh di atas rata-rata.

Menurut cerita Rio, Tia pernah bekerja  menjadi guru di sebuah sekolah ternama, dengan gaji yang lumayan juga. Kehidupan mereka pada awalnya  damai dan sejahtera. Namun begitu anak pertamanya lahir, ia merasa iba pada istrinya.  Tia harus menjalani peran ganda yang cukup menguras tenaga; sebagai ibu dan membantu keuangan keluarga. Maka akhirnya Rio menyarankan agar Tia berhenti  bekerja, dengan harapan suatu saat nanti saat anak-anak mereka sudah besar Tia akan bangkit dan mendapatkan pekerjaan kembali. Namun dalam perjalanan waktu, sepertinya Tia menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Hari-harinya diisi dengan rutinitas khas: memasak, mencuci, mengasuh anak, arisan, sampai kebiasaan baru, ngerumpi dengan tetangga pun sering dilakukannya.

Rio jadi tak tega mengingatkan bahwa keasyikannya itu tentu akan melupakan keinginan mulianya dahulu; kembali bekerja. Memang bekerja tidak hanya semata mendapatkan tambahan penghasilan. Bekerja akan melatih diri jadi pribadi yang kreatif dan lebih menghargai waktu. Bekerja penuh aktivitas sosial.  Dengan bertemu banyak orang setiap harinya  tentu akan menjadikan kita pribadi yang toleran dan bijak dalam bersikap. Namun sekali lagi, kesibukan barunya kini membuat Tia berubah.  Setiap kali Rio mengajak diskusi tentang  pekerjaan, Tia menjadi sensitif. Mudah tersinggung dan merasa dianggap sebagai laskar tak berguna.

"Padahal bukan begitu kan maksud saya?" ungkap Rio. Pada akhirnya Rio pasrah dan meluluskan permintaan sederhana istrinya; tetap menjadi ibu rumah tangga.

"Saya mau membesarkan anak-anak  dengan  sepenuh cinta. Salahkah?" Pertanyaan Tia tak pernah bisa dijawab Rio. Bahkan oleh saya.

***

Tulisan-tulisan Dindin sudah saya kumpulkan. Rencana akan saya terbitkan menjadi buku kumpulan tulisannya. Tapi, sejak dia masih hidup sampai sekarang, belum terlaksana. Entah kapan, tetap ingin saya terbitkan. []



Tentang Penulis:
Mujiana A Kadir
Direktur Cipta Prima Nusantara dan Konsultan Agrobisnis "Kadang Tani".

0 comments