Warisan
*Kepada Yth. Santri*
ISLAM tak akan mati meski Kanjeng Nabi telah wafat.
Itu prinsip yang membuat kita mampu bertahan dan betapa
mengagumkannya masyarakat muslim yang setia memuji nama, yang Allah dan para
malaikat juga memujinya. Kanjeng Nabi memang tokoh utama dalam Islam, bahkan menurut
suatu riwayat Allah menyatakan dengan tegas bahwa kalau bukan karena Muhammad,
jagat raya tak akan pernah Ia ciptakan.
Kita tahu, Kanjeng Nabi yang sejati bukan hanya manusia
yang hidup selama 63 tahun itu. Sejak awal manusia telah dilatih untuk beriman
pada Ketidaktahuan, pada Yang Gaib. Sehingga tak sulit kita menyadari, bahwa dari
diri Kanjeng Nabi yang wafat hanyalah jasad.
Tapi apa yang membuat Islam tetap terwariskan?
Mungkin jawabannya adalah pengetahuan. Bayangkan saja,
jika manusia tak punya pengetahuan tentang ayat-ayat Tuhan dan segala perangkat
ilmu, yang hari ini kita tahu, apakah kita akan percaya bahwa Tuhan, Dzat yang
Maha Kuasa itu ada dan apakah tanpa kepercayaan itu, kita mampu berakhlak mulia?
Barangkali karenanya, kita sangat takzim pada ulama,
kiai, syaikh, atau siapapun yang memiliki pengetahuan, terlebih ilmu yang mampu
mengantarkan kita kepada keimanan.
Karena itu juga, barangkali santri ini menyesal: Harun telah
meninggalkan Tebuireng, pada suatu pagi persis ketika kepala Kiai Zaenal
Mustofa dipenggal algojo Jepang di Ancol, suatu hari yang menyedihkan,
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari memandang dari kejauhan
bayang-bayang santrinya yang perlahan putih.
Itu adegan yang sangat sulit dilupakan dalam film Sang Kiai. Harun mungkin adalah tokoh
imajiner. Tapi, selalu ada sesuatu yang bisa kita curi dari imaji. Dalam film
itu, Harun adalah tokoh paling dinamis. Ia mungkin melambangkan kompleksitas
sisi kejiwaan santri.
Harun mencintai kiai dan sebaliknya, romantisme itu
terbangun sejak awal, sampai suatu saat kemesraan itu hilang. Kita kecewa pada
Harun, santri yang ‘menghianati’ kiai. Tapi kita terharu ketika ia mati syahid
di medan perang.
Jadi sebenarnya apa yang paling ia sesali? Ia telah
melupakan sesuatu yang membangkitkan ingatannya tentang Tuhan, dan dengan mewariskan
jejak hitam, prasangka buruk yang diteriakkan: kiai telah berpihak pada Jepang!
Ingatan tentang Tuhan itu, adalah pengetahuan yang utama
dalam kehidupan. Andaikata kita tahu segala rumus matematika, segala prinsip
pada sains, atau sejarah secara kongkret dan kompleks sejak Adam sampai hari
kita,
semua itu akan jadi percuma, dan akan menjadi berbahaya
kalau justru membuat kita lupa kepada-Nya.
Tugas kiai, barangkali, adalah mengajarkan kita semua
(yang manja) ini untuk tak lupa pada yang seharusnya kita ingat; mewariskan
kepada kita pengetahuan dan keimanan. Pembelajaran itulah yang mungkin
dinamakan ngaji. Manusia yang ngaji itu, kita namai sebagai santri, yang setiap
tahun kini kita peringati harinya.
Tapi mengapa hari santri, dan bukan hari kiai?
Seorang sufi menjawab: sebab kiai pasti santri, sebab
misalnya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari adalah kiai besar,
gurunya para kiai, beliau tetaplah santrinya Syaikhona
Kholil Bangkalan, sebab kiai pasti santri.
Kadangkala kita bayangkan, ilmu sebagai air, para santri
dan kiai menampungnya: menjadi mata air, sungai, rawa, teluk, dan sebagainya,
semua berasal dari samudra. Tetapi kita, atau setidaknya
saya, hanyalah gelas yang amat kecil muatannya, tidak berdaya menampung
apa-apa, tidak layak diwarisi rahasia.
Kita belum berbicara tentang hujan: ilmu yang deras,
membasahi bumi setelah kekeringan yang panjang.
Para santri memang wajib besar hatinya. Mereka sangat
mulia, sebab tanpa santri proses pewarisan Islam bisa saja berhenti. Berhenti
itu tidak sama dengan hilang atau mati, berhenti berarti kekeringan abadi,
kecuali.
Sejak masa Walisongo, atau bahkan sebelumnya: para santri
lahir, barangkali tak semuanya menjadi kiai di kemudian hari, tetapi setiapnya
telah menjadi tonggak dari peradaban yang baik, termasuk Harun, bahkan.
Kalau hari ini jumlah pesantren di Indonesia saja hampir
dua puluh sembilan ribu, berapa jumlah santri yang masih menempuh pendidikan
dan yang telah diluluskan? Salah satu pesantren tertua saja, ada yang telah
berdiri sejak abad ke-15.
Kita tak tahu persisnya. Tetapi mungkin kita tahu ini:
hikayat tentang Syaikhona Kholil Bangkalan dan empat santri pilihannya, yang
hari itu beliau warisi sesuatu. Tentu bukan tanah atau rumah, itu warisan
paling rendah. Yang beliau wariskan justru bisa kita maknai sebagai
infrastruktur kebangsaan, pada tataran nilai yang paling tinggi dan pada
jangkauan cakrawala yang seluas-luasnya.
Syaikhona Kholil Bangkalan itu terkenal sekali
kewaliannya. Jadi agar kita tak gagap memaknai warisan demi warisannya, mari
kita tinggalkan sejenak cara berpikir linier. Sebab wali pasti punya daya
jangkau ke masa depan, perhitungan tentang zaman yang dari hari ke hari semakin
menuju kehancuran; dan demi kehidupan manusia, demi menyeimbangkannya, beliau
wariskan tiga barang.
Kepada KH. Romli, beliau mewariskan pisang emas. Ini
adalah lambang dari kesejahteraan hidup. Infrastruktur ini difungsikan untuk
menjamin semua masyarakat mampu tercukupi kebutuhannya. Pada sejarah bangsa,
ketika kita mengalami krisis, pisang emas inilah yang berperan menanggulangi
derita itu. Sayang sekali, konon, pernah ada suatu masa ketika pisang emas
dijadikan kenduri bagi beberapa kalangan saja: maka masyarakat kecil tak dapat
jatah bagiannya.
Ketika kesejahteraan hidup bersama sudah diabaikan; ilmu
harus segera, secara ekstra diajarkan kepada masyarakat. Melalui masyarakat
yang alim ini dimungkinkan kelahiran ‘pisang emas’ baru. Karena itu, kepada
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan; Syaikhona Kholil Bangkalan
mewariskan kitab.
Kemungkinan lahirnya ‘pisang emas’ baru, sepertinya,
bukan tujuan utama dari ilmu, dari kitab itu. Kitab dan ilmu adalah gerbang
dari berbagai kemungkinan. Ia melahirkan cara berpikir yang, semodern apa
pun tetap akan berakar pada nilai religiusitas. Itu
mungkin semacam tandingan, ketika Syaikhona Kholil meraba masa depan: akan ada
waktu di mana manusia seluruh dunia terhubung, saling membagikan cara
berpikirnya, cara pandangnya dan orientasi kehidupannya. Masyarakat kultural
seperti kita, kalau belum sumeleh bisa
saja tergoda pada keserakahan dan keangkuhan; itu bukan martabat masyarakat
Nusantara.
Tetapi, kitab itu pernah diserbu, sekarang kita
merasakannya: perbedaan pandangan tentang nilai dalam agama memang sudah sejak
dahulu ada, hari ini kita saksikan dengan gerah. Akibatnya, masyarakat jadi
terpecah.
Mungkin saja, tercerai-berainya masyarakat itulah alasan
Syaikhona Kholil Bangkalan mewariskan cincin kepada Kiai Imam Zahid; lambang
dari cinta dan persatuan. Ketika kita berseteru soal benar salah, cincin hadir
menyeimbangkannya, dengan memberi tawaran tentang baik dan buruk saja. Ketika
kita diliputi amarah, lantaran kebenaran yang selama ini kita pegang dianggap
keliru oleh kelompok golongan lain, cincin hadir dengan kasih sayang: merangkul
semuanya agar saling menerima.
Konon warisan cincin itulah yang saat ini sedang bekerja
keras. Hikayat warisan dan santri ini tak perlu, atau tak akan saya dan Harun ketahui akhirnya.[]

0 comments