Agama tanpa Kitab Suci
Judul Buku: Nilai-nilai Pembentuk Karakter (Dalam
Cerita Pertunjukan Wayang Purwa)
Pengarang: Prof.Dr. AY.Soegeng .Ysh,M.Pd. (Guru Besar Univ.PGRI Semarang)
Penerbit: Magnum Pustaka Utama,Yogyakajarta
Cetakan/tahun: Pertama
Tebal Buku: 343 Hal
ISBN: 978-602-1217-44-3
Di saat pagelaran wayang mencapai tengah malam, muncul
Panakawan, yaitu: Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Empat sekawan ini melambangkan potret kerakyatan yang
hidupnya mengutamakan kerukunan, walaupun
sebenarnya peran mereka penuh dengan konflik. Terutama tiga serangkai Petruk, Gareng
dan Bagong (Bawor: wayang Banyumasan). Tiga serangkai tersebut dalam dialog selalu
heboh dan menyulut partisipasi penonton yang ikut “nyeletuk”, menyahuti topik pembicaraan
dalang, atau sekurang-kurangnya sekadar tepuk tangan.
Ki Dalang mengangkat tema yang masih hangat di masyarakat, misalnya korupsi, KPK, media sosial, bully, hoaks, persekusi, terorisme,
serta topik lain yang sedang hangat di media, terutama masalah sosial politik. Dalam
dialognya, dipastikan ada nasehat moral yang diperankan oleh Semar. Panakawan
selalu tampil penuh tawa yang dibarengi saling kritik, saling membantah, bahkan
caci-maki gaya lokal yang familiar. Kepiawaian dalang selalu menuntun dialog
mengerucut pada titik temu. Setiap pagelaran Wayang Purwa, siapa pun dalangnya,
selalu merangkum dalam kesimpulan “Rukun agawe santoso-Crah agawe bubrah” yang
artinya, kerukunan menjadikan kekuatan dan perpecahan mengakibatkan kelemahan.
Prof. Dr. Aloysius Yohannes Soegeng Yosohartono menulis
buku wayang setelah penelitian hampir dua
tahun yang dilakukannya sejak 2013. Demikian pengakuannya pada saat berada di forum
diskusi sastra bahasa di Universitas Muria Kudus akhir 2016. Prof. Soegeng menemukan nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita dan pertunjukkan Wayang Purwa atau Wayang Kulit. Beliau
menyusunnya dalam tujuh bab pembahasan. Pembaca buku ini dapat dengan mudah menghafal
tokoh-tokoh wayang, karena banyak dijumpai gambar yang disertai keterangan detail.
Pada Bab I, nilai estetika yang terkandung dalam cerita wayang
dibahas, berikut nilai empirik dari seni lukis, seni suara, seni musik, drama,
juga nilai abstraksinya. Menurut penulis, estetika abstrak hanya dapat ditangkap
dengan rasa batin yang penuh kebajikan. Kebajikan selalu berisi kejujuran dan kebebasan
tanpa tekanan dan keadilan. Sebagai sebuah karya kebudayaan, nilai estetika wayang
sudah diakui sebagai Adi Karya Lisan non
Bendawi Warisan Peradaban Manusia (Materpiece of Oral and Istangible Heritage of Humanity)
oleh Unesco. (Hal. 28)
Prof. Soegeng kemudian
mengungkapkan nilai-etika wayang pada
Bab II. Penulis banyak memetik berbagai cerita terutama pada perang
yang memunculkan nilai nasionalisme dan patriotisme. Ada yang menarik dalam
buku ini. Disebutkan bahwa wayang mengajari juga etika pembalasan. Maksudnya,
pembalasan bagi diri seseorang itu sendiri
yang telah berbuat kesalahan.
Sehingga pada dasarnya hidup seseorang dalam sejarahnya akan bersiklus dalam dialektika “Ngundhuh Wohing Pakerti” (menuai hasil
perbuatannya). Dicontohkan dalam buku ini, yakni cerita Abimanyu Gugur.
Dikatakan bahwa Abimanyu, anak Arjuna sebetulnya
sudah punya istri. Tetapi ketika dia akan menyunting perempuan lain, yaitu Dewi
Utari (Putri Prabu Mastwapati) dia mengaku masih perjaka, dan berjanji, bila
dia berbohong , akan mati dikeroyok panah seribu. Kata-kata itu betul terwujud.
Itu terjadi saat perang Bharatayudha, Abimanyu
gugur dihujani panah oleh Kurawa. Itulah lakon Abimanyu Gugur. Abimanyu menuai
sumpahnya sendiri.
Sementara dalam etika perkawinan ataupun perjodohan
dicontohkan tentang Arjuna yang beristri banyak yang sejatinya bukan playboy, tetapi sebagai simbol bahwa dia
sempurna maka dia banyak yang suka. Itulah bukti Arjuna sangat baik. Dalam
pemikiran penulis, Arjuna adalah simbol atau lambang kebaikan. Kebaikan itu
menyatu dengan kesempurnaan. (Hal. 61). Jadi, Etika perkawinan Arjuna ini
menyatakan bahwa memperistri itu menyempurnakan. Istri itulah yang menyempurnakan
dirinya. Dikatakan pula kesempurnaan tujuan akhirnya adalah Allah yang Maha Sempurna.
Proses menuju kepada Allah adalah manunggaling
kawula Gusti dengan jalan kesempurnaan hidup dan mempersiapkan mati kang
pratitis atau kematian yang tepat. Kematian
yang tepat adalah kematian dalam keadaan baik atau dalam istilah Islam, husnulkhatimah.
Untuk mencapai kematian yang tepat perlu tariqah
atau perilaku dan etika yang baik, termasuk perkawinan Arjuna. Pemikiran Prof.
Soegeng ini memancing kontroversi dan bisa menjadi diskusi filsafat moral dan
bahkan ilmu tariqah.
Tentang perkawinan Arjuna juga dikemukakan mengenai
kitab Arjuna Wiwaha yang menjelaskan bahwa perkawinan itu bermakna luhur.
Karena semua perkawinan adalah ritual yang
menuju kebersamaan dengan Garwo
(siGARaning nyoWO) terjemahan
indonesianya adalah belahan jiwa.
Maka perkawinan yang ideal tentu memenuhi beberapa
syarat, yang pertama adalah Bibit, yaitu benih yang sehat lahir-batin. Kedua adalah Bobot, yaitu bekal hidup, ilmu pengetahuan dan harta kekayaan. Ketiga adalah Bebet atau Babat yang artinya sejarah, riwayat hidupnya, termasuk asal keturunan atau
nasab dalam istilah Islam.
Nilai mistik diungkapkan dalam Bab III di buku ini. Nilai mistik adalah suatu misteri, rahasia atau
nilai-nilai yang tersembunyi di balik cerita dan pertunjukkan wayang. Semua peristiwa dalam pertunjukkan merupakan simbol,
lambang atau gambaran dari makna yang terkandung di dalamnya. Maka perlu
perenungan, refleksi atau verstehen secara
utuh. Seperti juga kalau ingin memahami makna
simbolik kelengkapan perangkat pagelaran Wayang Purwa seperti Kothak, Debog, Kelir,
Blencong, Dalang dan termasuk Gending-gending
atau irama gamelan/tabuhan dan tariannya. Dalam buku ini dibahas tujuh macam gending, yaitu Gending Cucur Bawuk yang berkonotasi bayi, saat
kelahiran manusia dan balita. Gending
Pare Anom yang berarti mulai tampil sebagai manusia, tepatnya remaja yang mulai memunculkan “diri”nya. Gending Sri
Katon, Asri Katon, yaitu perkembangan manusia yang makin tampak indah terutama masa muda. Gending
Sukma Ilang atau roh hilang yang berarti suatu masa dewasa atau menjemput kematian. Gending
Ayak-ayak artinya gending pengiring perjalanan
sukma manusia menuju penyatuan diri dengan Illahi. Gending Srepeg,
artinya age-age, segera secepatnya menuju Illahi. Gending Sampak-Suwuk Pancer, sampak
artinya jalan rata, polos diterima oleh Tuhan, sedangkan Suwuk Pancer artinya manunggaling kawula Gusti.
Dalam pembahasan nilai mistik berikutnya, lagi-lagi
Prof. Soegeng menggali makna mistik dari ladang peran
Panakawan yang ternyata bukan sekadar tokoh yang asal ditampilkan saja,
karena Panakawan mengandung simbol karakter
manusia.
Panakawan arti bahasanya adalah Pana yaitu tahu dan Kawan
berasal dari kata kawanan (bahasa
jawa) artinya kesiangan. Maksudnya, orang yang tahu sebelum kesiangan atau terlambat.
Jadi berkonotasi bijak-arif dan bicara dengan hati nurani, dari kalbu suci, kebenaran
hakiki.
Mengamati tokoh Semar, Petruk, Gareng, Bagong dan Togog,
serta Bilung, dari fisiknya yang khas, tidak standar. Para pecinta Wayang cenderung
mengatakan figur Panakawan jelek dan
lucu. Bahkan akhirnya bisa dikatakan tanpa bentuk. Tapi kekurangan itu
menyimpan makna simbolik fungsi dan watak manusia. Kejelekan bentuk tubuhnya mengandung
arti totalitas manusia. Contohnya bentuk tubuh Gareng yang jelek,
justru melambangkan cipta atau akal. Ditandai mata yang kero (Juling) seperti layaknya orang yang berpikir. Lengan tangan yang
berkelok-kelok menandakan orang yang berpikir banyak kemungkinan, kaki yang
berjalan pincang menunjukkkan kehati-hatian atau cermat (hal 124).
Secara historis, Panakawan merupakan unsur budaya Jawa
asli yang awal dimunculkan pada zaman kerajaan Kediri (Abad ke-12) dalam cerita
Gatotkaca Sraya, karangan Mpu Panuluh. Akhirnya ide tersebut mengembang hingga Wayang
Purwa Surakarta dan Yogyakarta. Panakawan
terdiri empat, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Empat tersebut
bermakna sebagai perlawanan nafsu manusia yaitu Amarah, Luamah, Supiah dan Mutmainah.
Sebetulnya dalam cerita pedalangan, inti Panakawan adalah
Togog dan Semar yang keduanya asli titisan dewa. Kemudian dilengkapi Gareng, Petruk,
Bagong dan Bilung. Diketahui bahwa Togog, Semar dan Batara Guru adalah tiga
bersaudara putra Sang Hyang Tunggal, cucu Sang Hyang Wenang. Mereka diberi tugas
masing-masing. Di dunia manusia, Semar bertugas
sebagai Pamamong, mengabdi pada ksatria. Togog ditugasi
mengabdi pada raksasa atau buto. Sedangkan Batara Guru
di Kahayangan Jungring Salaka yang merajai para dewa, manusia dan jin.
Prof. Soegeng, menulis Bab IV, yang di dalamnya menerangkan nilai religius pertujukan Wayang Purwa, yaitu terdapatnya
ritual sebagai pemujaan kepada nenek moyang. Dan seluruh isi cerita bermuatan penyadaran
akan adanya kekuasaan Sang Hyang Wenang. Prinsip tutur cerita tersebut sebagai
sarana pembentuk karakter seseorang dalam masyarakat, sekaligus membekali dan
membentengi diri dalam perjalanan hidup melawan nafsu yang merintangi pencapaian tujuan
manusia, yaitu manusia susila sebagai
tingkat kebahagiaan tertinggi dan sejati, “mulih
pati kang pratitis”, manunggaling kawula
lan Gusti, napaki sangkan paraning
dumadi. (The Origin and destination).
Pada Bab V, pertunjukan wayang
dikupas menurut nilai-nilai sosial. Wayang Purwa meskipun terkesan mengajarkan feodalisme, melalui bahasa Kromo
dan Ngoko. Tetapi ternyata juga lebih
berisi nilai-nilai sosial yang mengemukakan struktur masyarakat dan pembentukan pola berpikir dan bahkan
demokrasi. Bahkan mengemukakan konsep monogami, poligami, poliandri, bahkan kawin campur antara perkawinan dewata,
dewana dan manusia.
Pendek kata, perjalanan hidup
manusia tertuang semua dalam perjalanan cerita dan pagelaran wayang sejak Bedhol Gunungan hingga Tancep Kayon dan Tayungan
yang tergambar dalam gendinggending yang dibunyikan. Kelebihan Wayang Purwa dibandingkan kesenian pentas lain adalah
pemapar kehidupan yang dimusikalisasikan dalam gending-gending. Topik Gending
dan maknanya diperjelaskan pada Bab VI buku ini, lebih menukik dari Bab III.
Sedangkan dalam Bab VII, penulis buku
menegaskan relevansi Wayang Purwa dengan pendidikan sebagai proses pembentuk
kepribadian. Ulasan Prof. Soegeng diperkuat
pendapat dari beberapa ahli pendidikan dan ahli filsafat serta psikologi.
Dalam hal kepribadian, penulis meninjau dari sudut pandang filsafat dan psikologi. Dalam tinjauan filsafat, tentang personality, antara lain menyunting teori kepribadian Heidegger bahwa pempribadian seseorang
itu dilaksanakan bersama-sama dengan pribadi-pribadi yang lain. Mempribadi itu
bersama, karena manusia ada bersama manusia yang lain. (Hal 259) Selain itu juga,
menyitir pendapat filsuf Indonesia Driyarkara tentang pembentukan kepribadian manusia
dalam pendidikan, pada hakekatnya adalah memanusiakan manusia. Berlanjut dengan tinjauan kepribadian menurut
psikologi disunting pendapat Abraham Maslow, Sigmund Freud dan BF. Skinner.
Kelebihan buku ini menyajikan glosarium seperti
catatan kesimpulan dalam bentuk inti sari
dan pengertian kata sejak halaman awal hingga akhir, sehingga pembaca mendapat penuntun, pengenal dan pemahaman Wayang Purwa
dari berbagai sudut pandang. Kelebihan kedua, buku dilengkapi gambar-gambar seluruh wayang
dengan ciri dan karakter, baik dari kelompok Kurawa (Kiri) dan Pandawa (Kanan).
Mungkin buku ini sangat tepat bagi
mahasiswa Prodi Filsafat, Seni, Psikologi dan Pendidikan. Dibanding dengan buku tentang Wayang Purwa yang lain, tulisan Prof.
Soegeng ini memang jauh lebih lengkap.
Bahkan terkesan sebagai buku ajar dan sumber baca. Dalam kaitannya
dengan keutuhan bangsa, buku ini patut dikaji di forum luas, terutama bagi calon
negarawan dan politisi, juga para ulama dan agamawan. Karena di dalamnya kita
dapati pengertian, ternyata wayang bisa mewadahi semua ajaran agama tanpa
timbul pergesekan sedikit pun.
Prof. Soegeng mengutip pendapat Frans Magnis Soeseno,
wayang bagi orang Jawa merupakan pelajaran moral yang paling efektif. Selaras
pula dengan Anderson (1965)
yang mengatakan bahwa wayang bagi
orang Jawa dapat disebut sebagai agama
tanpa nabi, tanpa amanat, tanpa kitab suci, tidak punya juru selamat dan tidak
mendakwahkan pesan keselamatan yang universal. (Hal 314). Memang masyarakat
Jawa lebih sering mengambil referensi wayang
dalam hal moral dan kehidupan sehari-hari, dan hampir saja menjadi agamanya orang Jawa.
Nilai-nilai universal yang diajarkan semua agama terinternalisasikan
dalam cerita dan pertunjukan Wayang Purwa, seperti nilai-nilai cinta-kasih dan rahmatan lil alamin terangkum dalam konsep wayang yang disebut Memayu Hayuning Bawana.

0 comments