Dunia Anak di antara Intruksi dan Opsi-Opsi
Beberapa
waktu lalu saya membaca sebuah cerita anak yang berjudul “The Dot” yang
ditulis oleh Peter H. Reynold. Cerita
ini direkomendasikan untuk pengajar yang peduli pada perkembangan dan mental
anak.
Di
sana diceritakan bagaimana guru menumbuhkan positivity
dalam diri anak meski hanya dengan sebuah titik yang berhasil dibuatnya dalam
kelas menggambar. Sebuah penghargaan tinggi justru diberikan kepada mereka yang
nyaris gagal. Hal yang sangat membuat
saya kagum adalah, sama sekali saya belum pernah menghargai anak didik
saya setinggi itu ketika mereka nyaris gagal.
Menukil
dari Republika.co, psikolog keluarga,
Rustika Thamrin, menjelaskan, kemampuan seseorang menghadapi cobaan bergantung
pada faktor pribadi dan lingkungan saat ia dibesarkan. "Ia akan merasa
dirinya tidak berharga ketika gagal," ujarnya. Pada saat anak didik saya
nyaris gagal, saya sering mengatakan, “Nanti di rumah dibaca lagi, ya?”
sesederhana itu saya melimpahkan tugas saya kepada si anak didik yang mungkin
menganggap dirinya tidak mendapat penghargaan dari saya seperti teman-temannya.
Saya hanya berpikir dia akan baik-baik saja.
Kecenderungan anak merasa gagal membuatnya malas untuk mencoba. Bisa jadi dikarenakan ia gagal bukan di akhir, namun di awal pembelajaran saya sudah mematahkan semangatnya terlebih dahulu.
Persoalan
dunia anak di sekolah, juga disinggung Helen E. Buckley dalam puisinya berjudul
“The Little Boy”. Di sana kita diajak berdiri di atas ‘child line’.
Perspektif anak didik kita ketika
menerima instruksi di kelas, ternyata sangat berbeda jauh dari apa yang kita
tulis dalam lembar RPP.
Ketika
kita berbicara tentang menggambar, kita akan mengaitkannya dengan materi,
memfokuskan satu hal sebagai objek gambar. Kita lupa bahwa ketika otak anak
menerima stimulus kata ‘menggambar’ ia dengan cepat dan tak terkendali
memikirkan beragam objek gambar. Bisa jadi hewan kesukaannya, makanan favorit,
dan bukan gambar bunga seperti tema kita hari itu. Namun seringnya, kita akan
mengatakan, “Sebentar, kita tentukan dulu akan menggambar apa.”
Hal
serupa juga pernah saya amati di kelas menggambar anak saya yang PAUD. Pada
sesi mewarnai gambar manusia, anak-anak diminta untuk memegang krayon warna
salem untuk mewarnai bagian wajah dan tangan. Anak-anak yang tadinya memegang
krayon selain salem diminta untuk menukar krayonnya dengan warna salem. Ada
satu anak yang tanpa instruksi mewarnai dengan krayon merah. Sempat terjadi
tarik-menarik secara halus, namun akhirnya si anak berhasil melanjutkan
pewarnaan dengan warna merah.
Begitu
juga saat mewarnai daun. Ada yang mewarnai dengan warna kuning, oranye, merah,
bahkan biru. Dengan lemah lembut seorang Bunda Guru akan mengingatkan, “Warna
daun itu hijau, ayo diwarnai pakai warna hijau…” Begitulah, sehingga sebagian
siswa tadi menumpuk daunnya dengan warna hijau. Padahal dalam kenyataannya,
daun tidak melulu hijau. Tanaman-tanaman dengan daun bukan hijau begitu banyak,
justru lebih mahal. Saya tahu kenyataan ini tentu karena suka berkunjung ke florist,
meski hanya bertanya-tanya harga.
Tentu
tidak ada yang salah dengan guru tersebut. Beliau mengarahkan untuk mengenal
daun yang lazimnya berwarna hijau. Yang berbeda dari puisi “The Little Boy”
di atas adalah, ternyata bila kita hanya berhenti di lazimnya suatu hal, kita
akan memerangkap pemahaman anak pada sebatas itu saja.
Kita
tidak sadar sedang menghalangi pengetahuan lain, yang mungkin anak lebih tahu
dari kita. Mungkin saja siswa kita adalah anak dari penjual tanaman hias, misalnya.
Dia lebih tahu ragam warna daun dari pada kita. Atau misalnya, orang tuanya
menanam tanaman berdaun hijau kebiru-biruan, alih-alih hijau saja. Kita tentu
tak bisa menyalahkannya. Karena konsep dasar pengetahuan, ialah bisa ditemukan
di mana saja, dari kelima indra yang kita punya.
Yang
saya contohkan di atas, tentu bukan hanya guru anak saya saja yang
mengalaminya. Namun saya sendiri, ketika mengajar. Hal ini perlu menjadi
koreksi besar bagi saya. Seringkali tanpa sadar, saya memerangkap anak-anak
didik saya pada materi pelajaran, bukan membebaskan gairah eksplorasinya.
Barangkali,
yang seperti ini tak hanya terefleksi bagi dunia pendidikan saja. Di dalam
rumah, tempat pendidikan bermula, bisa jadi kita juga para orang tua yang
memerangkap perkembangan anak dengan sekedar instruksi yang perlu dituruti,
bukan opsi-opsi.
0 comments