Kau Sahabat Terbaik
Setelah melakukan pendinginan dan doa bersama, semua
bergegas menuju parkiran motor, kecuali aku dan Rafael. Ya, kami berdua tidak
mengendarai motor ke sekolah, kami akan menunggu jemputan di dekat pos satpam.
Ketika aku dan Rafael berjalan melewati lorong depan
ruang BK. Angin berembus cukup kencang dan berhasil membuat bulu kudukku
merinding seketika. Sial, mengapa hawa sekolah selalu seperti ini tiap
malamnya. Aku yang mulai gugup berusaha menenangkan diri dengan cara berbicara mengenai tugas sekolah bersama
dengan Rafael.
“Giselle…”
“Giselle…”
Aku yakin seratus persen, suara Rafael tidak seperti
itu. Tuhan, sebentar lagi aku akan sampai di ujung lorong, tolong jangan
biarkan makhlukmu yang tak kasat mata menggangguku.
“Giselle! itu Darren manggil kamu.” Kesadaranku
akhirnya kembali setelah Rafael berkata seperti itu sambil menunjuk Darren.
“Oh, Darren. Astaga sorry aku kira setan yang panggil,” kataku sedikit cengengesan
menertawakan diri sendiri, kenapa aku bisa secupu ini.
“Bodoh! Btw,
kamu udah dijemput? Kalo belum, pulang bareng, yuk?”
“Belum sih, aku juga belum telepon bapak. Tapi, gak
apa-apa nih nebeng kamu?”
“Sans aja,
rumah kita searah juga kan?” Darren masih berusaha meyakinkanku.
“Oke deh.” akhirnya aku mengiyakan ajakan Darren untuk
pulang bersama.
“Raf, aku sama Darren duluan ya,” pamitku pada Rafael.
“Iya, kalian hati-hati.”
Setelah sampai di parkiran motor, Darren cepat-cepat
menghidupkan mesin motornya dan mempersilakanku untuk naik. Hmm, agaknya dia
juga merasakan hal yang sama sepertiku. Parkiran motor sangat gelap, hanya
mendapat sorot pencahayaan dari musala, ditambah lagi suara daun kering yang
bergesekan satu sama lain membuat keadaan kian mencekam.
Saat hendak keluar dari gerbang sekolah, Darren menghentikan
sepeda motornya, “Gis, mampir beli makan, yuk?”
“Hish, uang sakuku tinggal tiga ribu, gak cukup.”
“Gampanglah soal bayar nanti, warung bakso itu kok
kayaknya menggoda iman. Skuy-lah
mampir.”
“Ya udah deh, terserah yang bayarin aku mah.”
Selepas perundingan singkat itu, kami berdua pun
memutuskan untuk mampir sebentar untuk membeli bakso. Beberapa saat kemudian
pesanan kami datang, dua mangkuk bakso, segelas es teh dan segelas jus jeruk
hangat.
“Loh, Darren kok ambil kerupuk sih, kan gak boleh
makan makanan berminyak. Suaramu ilang baru tau rasa kamu!”
“Lah kamu minum es, emang es gak bikin suara kamu ilang?
Hmm?” wah keterlaluan anak ini. Dia malah memutar balikkan fakta.
“Sudahlah its
our cheating day, Gis. Tapi jangan bilang ke pelatih sama ke Bu Al.”
“Hmm, oke. Tapi janji ya jangan cepu ke Bu Al.” Lalu kami pun saling menautkan jari kelingking
kami.
Makananku habis lebih dulu. Sambil menunggu Darren
selesai dengan acara makan baksonya, aku memperhatikannya dalam diam. Potongan
rambut cepak, karena habis mengikuti diklat ektra kulikuler bela Negara.
Kacamata berwarna hitam legam bertengger manis di hidung mancungnya, dan aura
kepemimpinan tercetak jelas pada dirinya. Jantungku berdetak ratusan kali lebih
cepat dari biasanya.
Hei, perasaan macam apa ini?
“Alhamdulillah…”
Oh dia sudah selesai makan rupanya.
“Kamu tunggu di luar, tak bayare dulu.” Dia menyuruhku untuk menunggu di luar.
“Oh, oke.”
Di sepanjang perjalanan pulang, kami hanya diam.
Otakku masih berpikir keras tentang perasaan yang aku rasakan beberapa menit
lalu. Tidak mungkin aku menaruh rasa padanya. Aku dan Darren sudah berteman
baik sejak SMP. Banyak momen yang kami lalui bersama, mulai dari senang, sedih,
haru, bahkan memalukan sudah kami lewati, tapi kenapa rasa ini baru datang
sekarang.
Terlalu larut dalam pikiran membuatkan tak sadar,
Darren sudah menghentikan sepeda motornya di depan pekarangan rumahku. Aku lalu
turun dan mengucapkan selamat tinggal serta tak lupa berterima kasih untuk
tebengannya, “Thanks ya, sering-sering
kaya tadi.”
“Iya deh. Aku pamit ya, bye,” katanya sambil memutar arah setang motornya.
Sesampai di rumah, aku langsung membersihkan diri dan
merebahkan diriku di kasur. Huh, sungguh hari yang panjang. Aku mencoba untuk
memejamkan mata, tapi tidak bisa karena aku masih dihantui dengan pikiranku
sendiri. Sebenarnya perasaan apa itu tadi. Tuhan tolong berikan aku petunjuk.
***
Keesokan harinya, aku berpikir bahwa perasaan ini akan
memudar seiring bertambahnya waktu. Namun ternyata aku salah, diriku semakin
larut dan tergiur akan dirinya. Tiap kali bertatapan dengannya, jantungku
berdetak, terguncang mengilu, dan mengerang. Aku yakin hatiku tidak pernah dan
tidak akan berdusta tentang rasaku ini pada Darren.
Hari demi hari kami semakin dekat, semua terasa sangat
baik-baik saja. Aku menjadi semangat tiap kali pergi ke sekolah. Tiap harinya
aku harus memastikan diriku untuk tetap terlihat menarik di depannya.
Aku masih ingat, saat itu kami melakukan salah satu
metode baru untuk latihan teater. Pelatih teater kami meminta para pemain untuk
saling berhadapan dan meminta kami untuk mendiskripsikan secara acak lawan main
kami, karena aku dan Darren adalah tokoh sentral dalam drama tersebut. Aku dan
dirinya diminta berpasangan untuk melakukan ini.
“Oke, Darren. Apa yang kamu pikirkan saat pertama kali
saya sebut nama Giselle?” tanya pelatih teater kami.
“Mmmm, bulu matanya Pak, badai banget.”
Hatiku kembali menghangat untuk kesekian kalinya.
Kalimat-kalimat sederhana yang ia ucapkan melalui bibir kecilnya selalu
berhasil membuat setitik cahaya kebahagian di dalam hatiku.
Perasaan ini terus meningkat tanpa bisa aku kendalikan.
Hingga sampai waktu di mana aku sedang duduk-duduk santai dengan sahabat baikku
di kelas, Disa. Ia terlihat sangat sibuk memperhatikan telepon genggamnya.
“Dis! liat apa sih, serius banget!” Aku bertanya
padanya.
“Liat deh Gis, kakel
barusan share foto diklat bela negara
kemarin. Tapi kok gak ada fotoku sama sekali ya?” kata Disa sambil menyerahkan
telepon genggamnya kepadaku.
“Coba sini tak bantu cariin.” Aku melihat foto-foto
dari grup ekstra kulikuler tersebut dengan saksama, hingga aku menemukan sebuah
foto seorang lelaki berpose bersandingan dengan perempuan, dan mereka berdua
tersenyum lebar menyiratkan rasa bahagia yang amat dalam.
Hatiku hancur seketika, itu foto Darren dan Angel.
Aku terpaku seperkian detik setelah melihat foto itu,
hingga akhirnya Disa mengeluarkan suara, “Tau gak? katanya mereka dating loh.”
“Dating?”
ucapku sedikit parau.
“Katanya sih, tapi kayaknya beneran deh. Coba liat tuh
fotonya.” Disa kembali menunjuk foto itu.
“Bagus deh, biar Darren gak jomblo lagi.” Aku mencoba
menutupi rasa sesak di hatiku dengan mengulas senyum palsu. Disa, maafkan aku
telah membohongimu.
Semenjak saat itu aku mulai belajar untuk meredam dan
memendam saja rasaku ini pada Darren. Aku sudah bersyukur memilikinya di sisiku,
sebagai sahabat terbaik. Darren, terima kasih, kau sudah memberikan banyak
macam rasa pada hati ini. []

0 comments