Kau Sahabat Terbaik

Ginasti Mareta


Cerpen Ginasti Mareta

Cut..!” Suara pelatih teater akhirnya menghentikan acara latihan hari ini. Huh, akhirnya selesai juga, batinku dalam hati. Selepas pulang sekolah tadi, aku dan teman-teman yang lain langsung menuju aula sekolah untuk melakukan latihan, demi mempersiapkan diri mengikuti ajang festival teater pelajar yang rutin diadakan oleh salah satu perusahaan swasta di kotaku.

Setelah melakukan pendinginan dan doa bersama, semua bergegas menuju parkiran motor, kecuali aku dan Rafael. Ya, kami berdua tidak mengendarai motor ke sekolah, kami akan menunggu jemputan di dekat pos satpam.

Ketika aku dan Rafael berjalan melewati lorong depan ruang BK. Angin berembus cukup kencang dan berhasil membuat bulu kudukku merinding seketika. Sial, mengapa hawa sekolah selalu seperti ini tiap malamnya. Aku yang mulai gugup berusaha menenangkan diri dengan cara  berbicara mengenai tugas sekolah bersama dengan Rafael.

“Giselle…”

“Giselle…”

Aku yakin seratus persen, suara Rafael tidak seperti itu. Tuhan, sebentar lagi aku akan sampai di ujung lorong, tolong jangan biarkan makhlukmu yang tak kasat mata menggangguku.

“Giselle! itu Darren manggil kamu.” Kesadaranku akhirnya kembali setelah Rafael berkata seperti itu sambil menunjuk Darren.

“Oh, Darren. Astaga sorry aku kira setan yang panggil,” kataku sedikit cengengesan menertawakan diri sendiri, kenapa aku bisa secupu ini.

“Bodoh! Btw, kamu udah dijemput? Kalo belum, pulang bareng, yuk?”

“Belum sih, aku juga belum telepon bapak. Tapi, gak apa-apa nih nebeng kamu?”

Sans aja, rumah kita searah juga kan?” Darren masih berusaha meyakinkanku.

“Oke deh.” akhirnya aku mengiyakan ajakan Darren untuk pulang bersama.

“Raf, aku sama Darren duluan ya,” pamitku pada Rafael.

“Iya, kalian hati-hati.”

Setelah sampai di parkiran motor, Darren cepat-cepat menghidupkan mesin motornya dan mempersilakanku untuk naik. Hmm, agaknya dia juga merasakan hal yang sama sepertiku. Parkiran motor sangat gelap, hanya mendapat sorot pencahayaan dari musala, ditambah lagi suara daun kering yang bergesekan satu sama lain membuat keadaan kian mencekam.

Saat hendak keluar dari gerbang sekolah, Darren menghentikan sepeda motornya, “Gis, mampir beli makan, yuk?”

“Hish, uang sakuku tinggal tiga ribu, gak cukup.”

“Gampanglah soal bayar nanti, warung bakso itu kok kayaknya menggoda iman. Skuy-lah mampir.”

“Ya udah deh, terserah yang bayarin aku mah.”

Selepas perundingan singkat itu, kami berdua pun memutuskan untuk mampir sebentar untuk membeli bakso. Beberapa saat kemudian pesanan kami datang, dua mangkuk bakso, segelas es teh dan segelas jus jeruk hangat.

“Loh, Darren kok ambil kerupuk sih, kan gak boleh makan makanan berminyak. Suaramu ilang baru tau rasa kamu!”

“Lah kamu minum es, emang es gak bikin suara kamu ilang? Hmm?” wah keterlaluan anak ini. Dia malah memutar balikkan fakta.

“Sudahlah its our cheating day, Gis. Tapi jangan bilang ke pelatih sama ke Bu Al.”

“Hmm, oke. Tapi janji ya jangan cepu ke Bu Al.” Lalu kami pun saling menautkan jari kelingking kami.   

Makananku habis lebih dulu. Sambil menunggu Darren selesai dengan acara makan baksonya, aku memperhatikannya dalam diam. Potongan rambut cepak, karena habis mengikuti diklat ektra kulikuler bela Negara. Kacamata berwarna hitam legam bertengger manis di hidung mancungnya, dan aura kepemimpinan tercetak jelas pada dirinya. Jantungku berdetak ratusan kali lebih cepat dari biasanya.

Hei, perasaan macam apa ini?

“Alhamdulillah…”

Oh dia sudah selesai makan rupanya.

“Kamu tunggu di luar, tak bayare dulu.” Dia menyuruhku untuk menunggu di luar.

“Oh, oke.”

Di sepanjang perjalanan pulang, kami hanya diam. Otakku masih berpikir keras tentang perasaan yang aku rasakan beberapa menit lalu. Tidak mungkin aku menaruh rasa padanya. Aku dan Darren sudah berteman baik sejak SMP. Banyak momen yang kami lalui bersama, mulai dari senang, sedih, haru, bahkan memalukan sudah kami lewati, tapi kenapa rasa ini baru datang sekarang.

Terlalu larut dalam pikiran membuatkan tak sadar, Darren sudah menghentikan sepeda motornya di depan pekarangan rumahku. Aku lalu turun dan mengucapkan selamat tinggal serta tak lupa berterima kasih untuk tebengannya, “Thanks ya, sering-sering kaya tadi.

“Iya deh. Aku pamit ya, bye,” katanya sambil memutar arah setang motornya.

Sesampai di rumah, aku langsung membersihkan diri dan merebahkan diriku di kasur. Huh, sungguh hari yang panjang. Aku mencoba untuk memejamkan mata, tapi tidak bisa karena aku masih dihantui dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya perasaan apa itu tadi. Tuhan tolong berikan aku petunjuk.

***

Keesokan harinya, aku berpikir bahwa perasaan ini akan memudar seiring bertambahnya waktu. Namun ternyata aku salah, diriku semakin larut dan tergiur akan dirinya. Tiap kali bertatapan dengannya, jantungku berdetak, terguncang mengilu, dan mengerang. Aku yakin hatiku tidak pernah dan tidak akan berdusta tentang rasaku ini pada Darren.

Hari demi hari kami semakin dekat, semua terasa sangat baik-baik saja. Aku menjadi semangat tiap kali pergi ke sekolah. Tiap harinya aku harus memastikan diriku untuk tetap terlihat menarik di depannya.

Aku masih ingat, saat itu kami melakukan salah satu metode baru untuk latihan teater. Pelatih teater kami meminta para pemain untuk saling berhadapan dan meminta kami untuk mendiskripsikan secara acak lawan main kami, karena aku dan Darren adalah tokoh sentral dalam drama tersebut. Aku dan dirinya diminta berpasangan untuk melakukan ini.

“Oke, Darren. Apa yang kamu pikirkan saat pertama kali saya sebut nama Giselle?” tanya pelatih teater kami.

“Mmmm, bulu matanya Pak, badai banget.”

Hatiku kembali menghangat untuk kesekian kalinya. Kalimat-kalimat sederhana yang ia ucapkan melalui bibir kecilnya selalu berhasil membuat setitik cahaya kebahagian di dalam hatiku.

Perasaan ini terus meningkat tanpa bisa aku kendalikan. Hingga sampai waktu di mana aku sedang duduk-duduk santai dengan sahabat baikku di kelas, Disa. Ia terlihat sangat sibuk memperhatikan telepon genggamnya.

“Dis! liat apa sih, serius banget!” Aku bertanya padanya.

“Liat deh Gis, kakel barusan share foto diklat bela negara kemarin. Tapi kok gak ada fotoku sama sekali ya?” kata Disa sambil menyerahkan telepon genggamnya kepadaku.

“Coba sini tak bantu cariin.” Aku melihat foto-foto dari grup ekstra kulikuler tersebut dengan saksama, hingga aku menemukan sebuah foto seorang lelaki berpose bersandingan dengan perempuan, dan mereka berdua tersenyum lebar menyiratkan rasa bahagia yang amat dalam.

Hatiku hancur seketika, itu foto Darren dan Angel.

Aku terpaku seperkian detik setelah melihat foto itu, hingga akhirnya Disa mengeluarkan suara, “Tau gak? katanya mereka dating loh.”

Dating?” ucapku sedikit parau.

“Katanya sih, tapi kayaknya beneran deh. Coba liat tuh fotonya.” Disa kembali menunjuk foto itu.

“Bagus deh, biar Darren gak jomblo lagi.” Aku mencoba menutupi rasa sesak di hatiku dengan mengulas senyum palsu. Disa, maafkan aku telah membohongimu.

Semenjak saat itu aku mulai belajar untuk meredam dan memendam saja rasaku ini pada Darren. Aku sudah bersyukur memilikinya di sisiku, sebagai sahabat terbaik. Darren, terima kasih, kau sudah memberikan banyak macam rasa pada hati ini. []



Tentang Penulis:
Photo
Adalah sosok di balik pemilik akun wattpad: marettakim. Berstatus sebagai beban keluarga, beragama islam tapi suka koko-koko katholik. Kegiatan sehari-harinya hanya streaming NCT dan menonton ganda putra di twitter. Jangan lupa follow instagramnya @ginastimareta, orangnya baik langsung di-follback kalo kenal.

0 comments