Mak'e

Yani Al Qudsy




TEMUI aku di taman rumah sakit Mardi Rahayu dekat ruang Eva, tepat setelah jam sembilan malam. Aku memiliki kawan di bagian keamanan, singkirkan ketakutan tak bisa masuk, Ajisaka.

Pesan tertulis yang diberikan Mak’e, titipan dari seorang perempuan. Ada yang ganjil. Mengapa harus larut malam? Ketika bangsal perawatan telah disterilkan dari pembesuk.

Kutepis anggapan Yud, bahwa perempuan itu menyimpan rasa pada penulis puisi sepertiku. Perempuan matang, karir cemerlang, dan belum berumah tangga, cenderung memiliki ruang sepi dan kehampaan. Kalau benar ia ingin mendekati-ku, segala kebutuhanku terpenuhi. Kata Yud, ini kesempatan.

Tapi, Azizah Halim, sepertinya bukan perempuan yang dipersangkakan Yud. Ia perempuan anggun yang menjaga muruahnya. Pernah beberapa kali aku bertemu di kedai miliknya ketika ada acara literasi. Tapi hanya sebatas pengunjung, dan ia tuan rumah dengan ratusan tamu yang datang.

Aku mahasiswa mandiri, masuk kuliah jalur bidikmisi, tak minta uang pada Mak’e untuk biaya. Beberapa kali karya sastra yang kukirim ke media cukup untuk sekadar menyambung nyawa, paket data, serta ongkos bensin. Dan harusnya tak perlu kuterima jika perempuan itu benar-benar me-nawarkan materi. Ada Mak’e, wanita kuat di belakangku. Mak’e yang tangguh, dan cukup memberiku penghidupan dengan lengan perkasanya, hingga usiaku sembilan belas tahun.

“Mak yakin Aji harus menemui perempuan itu?” Kulayangkan tanya pada Mak’e yang sedari subuh mengikat sayuran hasil mberem (sepetak tanah barat tanggul dekat kali Wulan yang diberikan oleh pemerintah desa).

Mak’e sudah hampir berkepala enam. Namun fisiknya masih kuat memanggul karung sayur-sayuran ke pinggir jalan raya, memberhentikan bus jurusan Kudus-Babalan, membaur ke pasar. Bus-bus yang berbalik arah setelah lepas subuh, mengantarkan ratusan buruh pabrik rokok untuk menyambung kehidupan menuju kota.

 “Yakin, Nang. Ada pesan khusus dari perempuan itu.”

Njeh, Mak.”

“Kamu itu, Nang. Selalu nurut kata Mak’e, mbok ya kasih sangkalan dikit. Bisa jadi yang Mak’e katakan itu salah. Mak’e kadang jadi pembohong ulung. Ingat ndak? Mak’e pernah kasih apus-apus soal candikolo yang datang jelang magrib, kamu percaya. Bahkan kamu nekat memantau dari tritis Mbah Darto, walau sudah terdengar azan. Padahal candikolo cuma mitos.”

“Tapi, Mak. Dahulu saat candikolo dikabarkan datang, manusia bergegas menghentikan aktivitas keduniaan, bersiap ke musala untuk salat Magrib.”

“Mitos ya tetep mitos, Nang. Mak’e itu suka berbohong sama kamu. Padahal Mak’e sadar, para orang tua jaman dulu juga bohong.” Keriput di dahi itu terbaca jelas. Apakah, hanya pertanda bahwa matahari pernah begitu tajam menerpa dahinya?

“Kalau orang tak percaya mitos candikolo, bukankah justru tanda buruk, Mak? Orang tidak akan takut wayah surup. Padahal, ajaran Kanjeng Sunan Kudus, Ja’far Shodiq, gusjigang, ada pengertian bagus perilaku, pintar mengaji, dan pandai berdagang. Bahwasanya dalam mencari penghidupan atau dagang, tak disangkal kita butuh mengaji kaitannya ketuhanan,  selain hubungan dengan sesama manusia harus memperbagus perilaku.”

“Mak’e tidak tahu soal itu. Intinya yang diajarke orang tua jaman dulu ya Ngunduh wohing pekerti, sapa sing nandur, bakal ngunduh. Lelaku apik, bali ning awak ya apik.” (Menuai buah dari perbuatan, siapa yang menanam, ia yang memanen. Perbuatan baik, akan berbuah kebaikan pula).

“Mak...” kupandang wajah tua itu, sebanyak apa ia berbohong, tentang candikolo, juga banaspati yang memangsa anak di kali ketika jelang zuhur, tentang tubuh anak durhaka yang dijelmakan jambu mete yang terbalik kepalanya, atau banyak hal lain. Bahwa menurutku, kebohongan itu adalah isyarat kejujuran.

Nang, jangan lupa temui perempuan itu ya.”

Anggukan kecilku menyudahi perbincangan. Mak’e tak pernah mengajariku berhitung tentang tanam tuai. Bahwa memberi sekian tak harus mengaharap imbalan sekian. Filosofi ‘Gang’ dalam gusjigang juga tak harus dikaitkan melulu tentang untung rugi bukan? Jika rumus plus minus kita patok keduniaan, sejatinya siapa yang menentukan? Ini aku lihat saat Mak’e pulang tanpa pernah membawa kembali sayurnya, meski tak habis terjual. Ia membagikan sayur sisa pada kawan sesama penjual di pasar. Mungkin nilai keberkahan ada pada hal itu. Mak’e juga sering membawa pulang bungkusan sego menir dan jagung berbungkus daun jati. Dari siapa? Dari tetangga lapak emperan pasti.

***

Dahi yang mengucur garis

di bawahnya ada mata yang tak suka aku tatap

lantaran pada mata itu

aku dibuat tak bisa berhenti mengucap

terima kasih

ucapan itu yang tak akan menemu kata tamat

sebab dari rahimnya

kehidupan kucecap

Selamat, Mak

Kau tak bertanya ini hari apa?

 

Kudus, 22 Desember 2018.

 

Setelah membaca bait itu, Azizah Halim melipat sobekan koran yang pernah termuat tulisanku. Udara di dekat taman ruang Eva yang dingin. Perempuan itu sepertinya menangis.

“Ini sajak untuk ibumu?” Azizah menyeka bulir samar di mata

“Mbak Azizah ada perlu apa bertemu saya?”

“Ini sajak untuk ibumu?”

“Itu untuk Mak’e. Perempuan yang surgaku ada pada kakinya.”

“Ia perempuan hebat.”

“Sangat hebat, Mbak.”

Azizah bangkit. Sepatu hak tinggi itu ia lepas, sengaja menginjak rumput taman.

“Aku ingin mendapat puisi seperti ini dari anakku.”

“A-nak?” Tanya itu kulemparkan padanya, bukankah Aziza Halim tak pernah menikah?

“Ajisaka, namamu Ajisaka Mardi Rahardian?”

“Iya, Mbak. Mbak Azizah menangis?”

“Kamu tahu arti nama itu?” Ia bertanya lagi.

“Tidak tahu, Mbak.”

“Mardi Rahayu, rumah sakit ini belasan tahun lalu, tepat jam sembilan malam, tangis anak laki-laki pecah membuncah ruang kosongku. Sayang, bayi kecil itu tak dikehendaki kakek dan neneknya. Ibu bayi itu bingung. Berkali-kali sang kakek berkata jika bayi itu lahir, ia hendak melenyapkannya.”

“Wah, itu cerpen siapa, Mbak? Di koran yang sama dengan puisiku?”

“Ajisaka, ini bukan cerpen. Juga bukan karya sastra ciptaan manusia. Itu sejarah ciptaan Tuhan yang tak bisa dihilangkan. Bayi kecil itu … Ia telah dewasa, dan harus tahu.”

“Mbak Azizah kuantar pulang?” ajakku tak tega melihat kondisi fisiknya yang lelah dan agak nyeleneh bicaranya.

“Tidak. Aku bisa pulang sendiri. Tapi aku belum ingin pulang.”

“Sepertinya Mbak Azizah butuh istirahat. Adakah yang bisa saya bantu? Kontak nomor keluarga?”

“Ajisaka, boleh kubaca banyak puisimu tentang ibu?”

“Wah, saya tidak membuat klipingnya, Mbak. Soalnya korannya kan harus beli, eman-eman.”

“Makmu sehat?”

“Tidak pernah sakit, Mbak. Sangat sehat.”

“Alhamdulillah.”

“Dari mana Mbak Azizah kenal Mak’e? Seorang sosialita mengenal tukang jual sayur di pasar?”

Dering ponsel pintar terdengar dari tasnya, tapi tak coba ia buka, atau sekadar melihat. Sepenting itukah obrolanku dengannya?

“Ia benar-benar layak bahwa di kakinya ada surgamu, Ajisaka.”

“Sangat, Mbak. Kenapa telponnya tidak diangkat?”

Azizah tak menjawab, hanya tambah menjejaliku tanya lagi.

“Ajisaka, bisakah kubaca puisimu yang lain tentang ibu? Seandainya aku memintamu memanggil ibu agar kerinduanku pada anakku terobati, bisa?”

“Ibu? Waah. Bisa turun reputasi Mbak Azizah. Wanita karir yang sukses dan cantik, single, banyak lelaki menginginkan.”

“Ajisaka.” Perempuan itu tak melanjutkan kalimatnya, ia memungut high heels yang sedari tadi dilepas. Jaket kulit bermerek dengan aroma wangi ia rapatkan lagi pada tubuhnya. Sepertinya ia kedinginan.

“Ajisaka, aku pulang. Terima kasih sudah berkenan kuajak bertemu. Salam buat makmu.”

Perlahan langkah anggun itu menjauh menelusuri koridor rumah sakit. Sebuah taman, dekat ruang Eva. Aku tak langsung pulang. Hanya membaca tentang tragisnya perihal cerita bayi malang yang diucap Azizah tadi. Aku duduk di kursi sebuah taman. Tanaman bonsai, kerdil, aku pada bagian daun bergerak kecil. Sekerdil itukah perasaan dan sensitivitas Azizah dalam membaca puisiku? Atau hanya kebetulan terkait dengan rindunya pada sang bayi?

“Ajisaka Mardi Rahardian.” Terdengar suara perempuan yang aku kira sudah keluar dari pintu masuk rumah sakit. Ia berbalik dan berlari ke arahku yang masih tak beranjak, hingga duduk pada renung yang getir.

“Kamulah bayi itu.” Azizah Halim, perempuan sosialita yang berkawan dengan banyak penyair itu akhirnya hujan air mata, yang tak mau menemu kata henti. Laju dan alir, terasa jelas bahwa isak tak bisa ia sembunyikan.

“Ibu biadab itu lari dari ruang Eva, menuju sebuah tempat yang entah, ia tak tahu jalan. Hanya ke depan. Menitipkan bayinya pada rumah kecil. Sesaat meletakkan bayi itu, sang perempuan sebatang kara keluar memanggil ibu bayi itu. Mempersilakannya masuk. Memberi makanan, minuman, membiarkan ibu biadab itu cerita banyak. Terlebih, membiarkan ibu biadab itu menangis dan menitipkan sang bayi padanya.”

Aku mulai menangkap sedikit demi sedikt apa yang Azizah katakan. Dengan penafsiran yang aku paksakan utuh. Perempuan itu kembali berlari ke arah jalan keluar rumah sakit. Matanya basah. Pada apa ia lari? Setelah menyibak sebuah kisah, lalu siapa yang tak lebih cedera? Aku cedera, Tuhan. Laut teduh yang menuangi tinta puisi-puisiku, bukankah Mak’e? Perempuan yang menyimpan surgaku, bukankah Mak’e?

***



Tentang Penulis:
Photo
Ialah nama pena dari seorang blogger dan pecinta sastra. Anggota Komunitas Omah Gatra (Gandrung Sastra) Undaan Kudus. Menulis di beberapa antologi puisi, diantaranya: Munajat Ramadhan (Nusantara Sakti, 2018), Bermemoar di Kedai Kopi (LovRinz, 2017), antologi Sampah Serapah Sripah bersama Komunitas Kresek Indonesia (2019), Antologi Kapok Lombok terbitan Penerbit Intishar (2019), Antologi Penyair Nusantara (2019), Sesapa Mesra Selinting Cinta (Balai Bahasa Jateng, 2019), Antologi Rawatirta (Reybook Media, 2019). Redaktur akarrantingdaun.com

2 comments