Mak'e
TEMUI
aku di taman rumah sakit Mardi Rahayu dekat ruang Eva, tepat setelah jam
sembilan malam. Aku memiliki kawan di bagian keamanan, singkirkan ketakutan tak
bisa masuk, Ajisaka.
Pesan
tertulis yang diberikan Mak’e,
titipan dari seorang perempuan. Ada yang ganjil. Mengapa harus larut malam?
Ketika bangsal perawatan telah disterilkan dari pembesuk.
Kutepis
anggapan Yud, bahwa perempuan itu menyimpan rasa pada penulis puisi sepertiku.
Perempuan matang, karir cemerlang, dan belum berumah tangga, cenderung memiliki
ruang sepi dan kehampaan. Kalau benar ia ingin mendekati-ku, segala kebutuhanku
terpenuhi. Kata Yud, ini kesempatan.
Tapi,
Azizah Halim, sepertinya bukan perempuan yang dipersangkakan Yud. Ia perempuan
anggun yang menjaga muruahnya. Pernah beberapa kali aku bertemu di kedai
miliknya ketika ada acara literasi. Tapi hanya sebatas pengunjung, dan ia tuan
rumah dengan ratusan tamu yang datang.
Aku
mahasiswa mandiri, masuk kuliah jalur bidikmisi, tak minta uang pada Mak’e untuk biaya. Beberapa kali karya
sastra yang kukirim ke media cukup untuk sekadar menyambung nyawa, paket data,
serta ongkos bensin. Dan harusnya tak perlu kuterima jika perempuan itu
benar-benar me-nawarkan materi. Ada Mak’e,
wanita kuat di belakangku. Mak’e yang
tangguh, dan cukup memberiku penghidupan dengan lengan perkasanya, hingga usiaku
sembilan belas tahun.
“Mak
yakin Aji harus menemui perempuan itu?” Kulayangkan tanya pada Mak’e yang sedari subuh mengikat sayuran
hasil mberem (sepetak tanah barat tanggul dekat kali Wulan yang
diberikan oleh pemerintah desa).
Mak’e
sudah hampir berkepala enam. Namun fisiknya masih kuat memanggul karung
sayur-sayuran ke pinggir jalan raya, memberhentikan bus jurusan Kudus-Babalan,
membaur ke pasar. Bus-bus yang berbalik arah setelah lepas subuh, mengantarkan
ratusan buruh pabrik rokok untuk menyambung kehidupan menuju kota.
“Yakin, Nang. Ada pesan khusus dari
perempuan itu.”
“Njeh,
Mak.”
“Kamu
itu, Nang. Selalu nurut kata Mak’e,
mbok ya kasih sangkalan dikit. Bisa jadi yang Mak’e katakan itu salah. Mak’e
kadang jadi pembohong ulung. Ingat ndak? Mak’e pernah kasih apus-apus soal candikolo yang
datang jelang magrib, kamu percaya. Bahkan kamu nekat memantau dari tritis
Mbah Darto, walau sudah terdengar azan. Padahal candikolo cuma mitos.”
“Tapi,
Mak. Dahulu saat candikolo dikabarkan datang, manusia bergegas
menghentikan aktivitas keduniaan, bersiap ke musala untuk salat Magrib.”
“Mitos
ya tetep mitos, Nang. Mak’e itu suka
berbohong sama kamu. Padahal Mak’e
sadar, para orang tua jaman dulu juga bohong.” Keriput di dahi itu terbaca
jelas. Apakah, hanya pertanda bahwa matahari pernah begitu tajam menerpa
dahinya?
“Kalau
orang tak percaya mitos candikolo,
bukankah justru tanda buruk, Mak? Orang tidak akan takut wayah surup.
Padahal, ajaran Kanjeng Sunan Kudus, Ja’far Shodiq, gusjigang, ada pengertian bagus
perilaku, pintar mengaji, dan pandai berdagang. Bahwasanya dalam mencari
penghidupan atau dagang, tak disangkal kita butuh mengaji kaitannya
ketuhanan, selain hubungan dengan sesama
manusia harus memperbagus perilaku.”
“Mak’e
tidak tahu soal itu. Intinya yang diajarke orang tua jaman dulu ya Ngunduh
wohing pekerti, sapa sing nandur, bakal ngunduh. Lelaku apik, bali ning
awak ya apik.” (Menuai buah dari perbuatan, siapa yang menanam, ia yang
memanen. Perbuatan baik, akan berbuah kebaikan pula).
“Mak...”
kupandang wajah tua itu, sebanyak apa ia berbohong, tentang candikolo,
juga banaspati yang memangsa anak di kali ketika jelang zuhur, tentang
tubuh anak durhaka yang dijelmakan jambu mete yang terbalik kepalanya,
atau banyak hal lain. Bahwa menurutku, kebohongan itu adalah isyarat kejujuran.
“Nang,
jangan lupa temui perempuan itu ya.”
Anggukan
kecilku menyudahi perbincangan. Mak’e tak pernah mengajariku berhitung tentang
tanam tuai. Bahwa memberi sekian tak harus mengaharap imbalan sekian. Filosofi ‘Gang’
dalam gusjigang juga tak harus dikaitkan melulu tentang untung rugi
bukan? Jika rumus plus minus kita patok keduniaan, sejatinya siapa yang
menentukan? Ini aku lihat saat Mak’e pulang tanpa pernah membawa kembali
sayurnya, meski tak habis terjual. Ia membagikan sayur sisa pada kawan sesama
penjual di pasar. Mungkin nilai keberkahan ada pada hal itu. Mak’e juga sering
membawa pulang bungkusan sego menir dan jagung berbungkus daun
jati. Dari siapa? Dari tetangga lapak emperan pasti.
***
Dahi
yang mengucur garis
di
bawahnya ada mata yang tak suka aku tatap
lantaran
pada mata itu
aku
dibuat tak bisa berhenti mengucap
terima
kasih
ucapan
itu yang tak akan menemu kata tamat
sebab
dari rahimnya
kehidupan
kucecap
Selamat,
Mak
Kau
tak bertanya ini hari apa?
Kudus,
22 Desember 2018.
“Setelah
membaca bait itu, Azizah Halim melipat sobekan koran yang pernah termuat
tulisanku. Udara di dekat taman ruang Eva yang dingin. Perempuan itu sepertinya
menangis.
“Ini
sajak untuk ibumu?” Azizah menyeka bulir samar di mata
“Mbak
Azizah ada perlu apa bertemu saya?”
“Ini
sajak untuk ibumu?”
“Itu
untuk Mak’e. Perempuan yang surgaku
ada pada kakinya.”
“Ia
perempuan hebat.”
“Sangat
hebat, Mbak.”
Azizah
bangkit. Sepatu hak tinggi itu ia lepas, sengaja menginjak rumput taman.
“Aku
ingin mendapat puisi seperti ini dari anakku.”
“A-nak?”
Tanya itu kulemparkan padanya, bukankah Aziza Halim tak pernah menikah?
“Ajisaka,
namamu Ajisaka Mardi Rahardian?”
“Iya,
Mbak. Mbak Azizah menangis?”
“Kamu
tahu arti nama itu?” Ia bertanya lagi.
“Tidak
tahu, Mbak.”
“Mardi
Rahayu, rumah sakit ini belasan tahun lalu, tepat jam sembilan malam, tangis
anak laki-laki pecah membuncah ruang kosongku. Sayang, bayi kecil itu tak
dikehendaki kakek dan neneknya. Ibu bayi itu bingung. Berkali-kali sang kakek
berkata jika bayi itu lahir, ia hendak melenyapkannya.”
“Wah,
itu cerpen siapa, Mbak? Di koran yang sama dengan puisiku?”
“Ajisaka,
ini bukan cerpen. Juga bukan karya sastra ciptaan manusia. Itu sejarah ciptaan
Tuhan yang tak bisa dihilangkan. Bayi kecil itu … Ia telah dewasa, dan harus
tahu.”
“Mbak
Azizah kuantar pulang?” ajakku tak tega melihat kondisi fisiknya yang lelah dan
agak nyeleneh bicaranya.
“Tidak.
Aku bisa pulang sendiri. Tapi aku belum ingin pulang.”
“Sepertinya
Mbak Azizah butuh istirahat. Adakah yang bisa saya bantu? Kontak nomor
keluarga?”
“Ajisaka,
boleh kubaca banyak puisimu tentang ibu?”
“Wah,
saya tidak membuat klipingnya, Mbak. Soalnya korannya kan harus beli, eman-eman.”
“Makmu
sehat?”
“Tidak
pernah sakit, Mbak. Sangat sehat.”
“Alhamdulillah.”
“Dari
mana Mbak Azizah kenal Mak’e? Seorang
sosialita mengenal tukang jual sayur di pasar?”
Dering
ponsel pintar terdengar dari tasnya, tapi tak coba ia buka, atau sekadar
melihat. Sepenting itukah obrolanku dengannya?
“Ia
benar-benar layak bahwa di kakinya ada surgamu, Ajisaka.”
“Sangat,
Mbak. Kenapa telponnya tidak diangkat?”
Azizah
tak menjawab, hanya tambah menjejaliku tanya lagi.
“Ajisaka,
bisakah kubaca puisimu yang lain tentang ibu? Seandainya aku memintamu
memanggil ibu agar kerinduanku pada anakku terobati, bisa?”
“Ibu?
Waah. Bisa turun reputasi Mbak Azizah. Wanita karir yang sukses dan cantik, single,
banyak lelaki menginginkan.”
“Ajisaka.”
Perempuan itu tak melanjutkan kalimatnya, ia memungut high heels yang
sedari tadi dilepas. Jaket kulit bermerek dengan aroma wangi ia rapatkan lagi
pada tubuhnya. Sepertinya ia kedinginan.
“Ajisaka,
aku pulang. Terima kasih sudah berkenan kuajak bertemu. Salam buat makmu.”
Perlahan
langkah anggun itu menjauh menelusuri koridor rumah sakit. Sebuah taman, dekat
ruang Eva. Aku tak langsung pulang. Hanya membaca tentang tragisnya perihal
cerita bayi malang yang diucap Azizah tadi. Aku duduk di kursi sebuah taman.
Tanaman bonsai, kerdil, aku pada bagian daun bergerak kecil. Sekerdil itukah
perasaan dan sensitivitas Azizah dalam membaca puisiku? Atau hanya kebetulan
terkait dengan rindunya pada sang bayi?
“Ajisaka
Mardi Rahardian.” Terdengar suara perempuan yang aku kira sudah keluar dari
pintu masuk rumah sakit. Ia berbalik dan berlari ke arahku yang masih tak
beranjak, hingga duduk pada renung yang getir.
“Kamulah
bayi itu.” Azizah Halim, perempuan sosialita yang berkawan dengan banyak
penyair itu akhirnya hujan air mata, yang tak mau menemu kata henti. Laju dan
alir, terasa jelas bahwa isak tak bisa ia sembunyikan.
“Ibu
biadab itu lari dari ruang Eva, menuju sebuah tempat yang entah, ia tak tahu
jalan. Hanya ke depan. Menitipkan bayinya pada rumah kecil. Sesaat meletakkan
bayi itu, sang perempuan sebatang kara keluar memanggil ibu bayi itu.
Mempersilakannya masuk. Memberi makanan, minuman, membiarkan ibu biadab itu
cerita banyak. Terlebih, membiarkan ibu biadab itu menangis dan menitipkan sang
bayi padanya.”
Aku
mulai menangkap sedikit demi sedikt apa yang Azizah katakan. Dengan penafsiran
yang aku paksakan utuh. Perempuan itu kembali berlari ke arah jalan keluar
rumah sakit. Matanya basah. Pada apa ia lari? Setelah menyibak sebuah kisah,
lalu siapa yang tak lebih cedera? Aku cedera, Tuhan. Laut teduh yang menuangi
tinta puisi-puisiku, bukankah Mak’e?
Perempuan yang menyimpan surgaku, bukankah Mak’e?
***

2 comments
Mak e
BalasHapusAku rindu belai cintamu
MasyaaAllah..cerita yang inspiratif, mewek ini...
BalasHapus