Cinta Masa Lalu

Reyhan M Abdurrohman




Kebiasaan menyendiriku masih melekat sampai sekarang. Pergi ke mana-mana sendiri. Lebih asik. Teman? Ah, masa bodoh dengan yang namanya teman. Mereka adalah musuh dalam selimut. Kompetitor. Berteman hanya untuk menjatuhkan. Mencari kelemahan, dan dihempaskan. Lebih baik sendiri. Mereka sama saja. Bermuka dua.

Sepulang kerja, aku mampir ke kafe di perempatan jalan. Kafe tersebut baru buka seminggu lalu. Kata Sendi, sirloin steak-nya enak. Tempatnya juga nyaman. Jika benar seperti itu, akan kujadikan langganan. Jika tidak, cukup sekali saja aku bertandang.

Sudah jam sepuluh malam. Parkiran depan kafe masih padat. Aku turun dari taksi. Masih mengenakan pakaian kerja, kemeja putih dibalut blazer hitam dengan bawahan pencil skirt di atas lutut. Badanku terlihat bagus, apalagi kakiku terlihat semakin jenjang. Itu daya tarikku, hingga penjualanku sering melebihi target. Dan pasti membuat rekan kerjaku iri.

Untung saja masih ada satu meja kosong di pojokan. Tak apalah, daripada harus pulang, atau mencari kafe lain. Rupanya pengunjungnya banyak juga. Itu membuatku yakin mengiyakan testimoni Sendi. 

Langsung saja kupesan hot cappuccino dan sirloin steak, setelah disodorkan buku menu oleh pelayan muda nan tampanMenggoda sekali pelayan itu. Tinggi, badannya tegap dan kulitnya putih. Tak ada satu pun noda jerawat di wajahnya. Ups. Pikiranku jadi ke mana-mana. 

“Semoga diantar pelayan cakep tadi.” Aku memohon pelan.

Mataku masih terpaku pada layar ponsel pintarku. Tak kuperhatikan, rupanya pesananku telah berpindah dari nampan ke meja.

“Silakan,” kata peyan itu.

Aku mengangkat wajahku, untuk berterima kasih. “Terima ...," kalimatku terhenti. Wajah itu ... tidak-tidak. Aku menggeleng pelan.

Mataku tak lepas dari wajah pelayan pria yang masih tersenyum ke arahku. Kuperhatikan benar setiap senti wajah dengan mata hazel itu. Bukan-bukan, bukan yang tadi, ini beda lagi. Tapi, sepertinya aku mengenalnya.

Tak salah lagi. Aku tak mungkin lupa wajah tampan yang pernah menjadi bagian sejarah hidupku.

“Glift,” panggilku pelan saat pria itu akan meninggalkan mejaku.

Dia menoleh ke arahku, kemudian memandangku. Bingung. Penuh tanda tanya.

“Maaf siapa, ya?” tanyanya ragu.

Oh Tuhan benar tebakanku, itu Glift. ID card-nya tertulis namanya, “Glift Antonio”.

“Oh benar tebakanku, kau melupakanku. Aku Riana. Ups, namun sekarang orang-orang lebih mengenalku dengan nama Slefi.”

Dia masih terlihat bingung. Ah, mungkin dia sedang mengumpulkan ingatan untuk menemukan satu nama, Riana.

“Teman kuliahmu, Glift....” Kubantu dia mengingat. “Kurang ajar sekali kau. Lupa dengan teman dekatmu. Gadis berkacamata yang pernah kamu tembak dulu.”

“Slefi? Riana?” tanyanya bingung, “benarkah Slefi itu Riana? Kau sungguh berbeda.”

Aku tersenyum semringah. Namun ada kehawatiran yang muncul di hatiku. Kenapa dia memandangku seperti itu? “Benar. Aku Slefi, ah ... emm maksudku Riana. Dan kau benar, sekarang aku bukan lagi Riana yang lemah, yang rela hatinya ditusuk dengan sembilu oleh sahabatnya.”

Dia terdiam. Mungkin masih tak percaya melihatku, atau dia merasa bersalah telah mencapakkanku dulu?

“Bolehkah aku minta nomormu? Lain kali aku ingin ngobrol denganmu. Sekarang aku harus kembali bekerja,” pintanya buru-buru.

Langsung kuserahkan kartu nama untuknya. Dia langsung pergi meninggalkanku dalam keremangan di antara kenangan.

***

Aku masih terkejut atas kemunculannya yang tiba-tiba. Lebih lagi, ia yang menjadi pelayan di kafe baru ini. Di mana kekayaannya yang dulu.

Seingatku dia anak orang kaya. Papanya pengusaha sukses. Mamanya yang dari Jerman itu terpaksa mengalah, cukup menjadi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang punya geng sosialita, sering pamer kekayaan.

“Kok bisa, ya?” Aku terheran-heran.

Aku tertegun. Membiarkan pesananku dingin begitu saja. Aku masih tak mengerti dengannya sekarang. Ingin bertanya panjang lebar, tapi kondisinya tak mungkin, ia sedang bekerja. Lagipula aku takut rasa masa lalu itu hadir begitu saja. Masa lalu yang susah payah kupendam akan mencuat kembali. Dan cinta yang pernah kurasa hadir lagi.

Aku membuyarkan lamunan segera. “Sudahlah, biarkan saja.”

Aku meneguk cappuccino-ku yang sudah dingin, dan kelebatan masa lalu seperti menghantuiku. Aku segera menyantap sirloin steak-ku yang sama dingin. bahkan kentangnya sudah tak renyah lagi.

Tepat tengah malam aku pulang. Ingin cepat-cepat merebahkan tubuhku di ranjang, beristirahat hingga siang datang.

***

Ponsel pintarku terus berdering. Aku terpaksa membuka mata, padahal masih jam delapan. Harusnya aku bangun jam sepuluh atau sebelas. Sialan! Siapa yang berani menggangguku di hari minggu yang tenang?

Kutatap layar ponsel pintarku, nomor baru. Oh my God. Haruskah mingguku terganggu dengan telepon dari nomor tak kukenal ini? Segera kumatikan ponsel pintarku dan kupejamkan mata lagi.

***

Segar, itu yang kurasa. Jam satu aku baru bangun. Serasa lunas sudah hutang tidurku, meski sempat diganggu nomor sialan itu. Kulucuti bajuku dan segera pergi berendam. Busa yang melimpah, kelopak mawar dan lilin aroma terapi, cukup menenangkan pikiranku. 

Selesai mandi, kuhidupkan ponsel pintarku. Dua pesan langsung masuk. Kalau tidak salah, itu nomor sialan yang memotong tidurku tadi.

Kok nggak diangkat malah dimatikan?

Aku ingin mengajakmu ngobrol lagi. Kapan kamu bisanya?

-Glift.

Aku termenung sejenak. Kubaca pesan itu lagi, memastikan bahwa benar si pengirim adalah pria masa laluku. Rentetan kisah masa lalu itu tiba-tiba melintas di pikiranku.

Aku tersenyum mengenangnya. Saat kami bersama, bercanda dan bersuka ria. Namun saat sampai pada hal menyakitkan itu, hatiku mendadak panas. Perih bukan main. Ternyata ... dia hanya mempermainkan cintaku.

Tak kurasa, air mata  menetes membasahi pipiku. Aku menyekanya dan segera membalas pesan itu.

***

Cahaya temaram memancar dari lampu-lampu yang tergantung di langit-langit kafe romantis itu. Kafe baru di perempatan jalan. Kafe yang kemarin, tempat Glift bekerja.

Aku duduk di meja nomor 27, yang sebelumnya sudah dipesan Glift. Namun Glift belum datang. Ah, aku malas menunggu. Bukankah dia yang ngotot bertemu di kafe tempatnya bekerja? Kupanggil pelayan untuk menanyakan di mana Glift. Mengejutkan! Glift libur hari ini. Terus mengapa dia mengajakku datang ke sini? Apa dia membohongiku?

“Maaf menunggu.” 

Akhirnya yang ditunggu datang juga. Malam ini Glift mengenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak berwarna biru. Rapi. 

“Kamu tahu kan, aku paling tidak suka menunggu?”

“Maafkan aku. Sudah pesan?”

Aku menggeleng. “Tak mungkin aku memesan duluan?”

“Maaf, tadi ada hal mendadak yang harus diurusi. Kupanggilkan pelayannya dulu.”

Dia langsung memanggil pelayan, memesan makanan. Duh, bukankah dia juga kerja di sini? Kenapa tidak langsung ke dapur saja? Sok kaya, padahal sudah kere. Sebenarnya aku belum tahu betul alasanya kerja di sini. Masih kaya atau beneran sudah kere.

“Lama tidak berjumpa, ya. Oh ya, kok bisa kerja di sini? Perusahaan papamu?” tanyaku langsung ke inti, tanpa basa-basi. Aku sudah sangat penasaran.

Dia tertunduk. “Papa meninggal karena serangan jantung. Perusahaannya pailit, ditipu rekan bisnisnya. Semua aset habis untuk memberi pesangon karyawan. Dan di sinilah aku mulai dari nol. Mama kusuruh tinggal bersama nenek di Bandung.”

Aku tertegun. Tuhan, memang benar, roda kehidupan selalu berputar.

“Maaf, jika aku mengungkit itu. Oh ya bagaimana dengan Sisil dan anakmu?” tanyaku lagi sembari tersenyum, kecut.

“Sisil minta cerai setelah aku kere. Aku malah senang, karena aku sama sekali tak mencintainya.”

“Oh....”

“Papa... Papa... Papa!.” Dari dalam terdengar suara anak kecil memanggil papanya.

“Steve,” kata Glift tiba-tiba. Matanya tertuju pada anak kecil yang berlari menujunya.

Ia bangkit dan mendekati anak laki-laki tampan yang teriak-teriak tadi, kemudian menggendongnya dan mendudukkannya di kursi sebelahnya.

“Tadi kau menanyakan anakku? Ini, Steve. Tanpa perebutan hak asuh, Sisil menyerahkannya padaku. Untung saja. Aku mencintainya. Bagiamanapun juga dia anakku. Kita tinggal di kafe ini. Di belakang ada kamar-kamar untuk pegawainya. Seperti inilah kehidupanku sekarang.”

Sedikit demi sedikit hatiku terasa nyeri. Sakit. Apa kata dia tadi? Mencintai anaknya dengan Sisil? Namun mendengar kisahnya sungguh aku teriris. Kasihan dia, bukankah dia orang yang baik? Kenapa Tuhan memberikan cobaan begitu berat pada orang baik?

Tunggu dulu! Dia jahat, bukankah dia yang telah melukaiku? Ah, Glift aku masih bingung tentang perasaanmu, juga perasaanku. Tapi aku tak mau dilukai lagi.

Pesanan datang. Glift memesankan makanan lagi untuk Steve. Glift sayang sekali dengan anaknya itu. Kelihatan benar cintanya pada Steve. Aku mulai cemburu. Apa ini berarti aku masih mencintainya? Oh no!

“Coba ceritakan kenapa Riana bisa jadi Slefi?” godanya.

Aku hampir tersedak. Segera kuteguk cappuccino-ku. “Anu, lulus kuliah aku kerja di perusahaan kontraktor selama setahun, namun dipecat gara-gara difitnah rekanku, telah menggelapkan sejumlah uang. Setelah itu aku jadi SPG, sampai sekarang. Rekan-rekan SPG dan bosku yang memanggil aku Slefi, kurang paham dapat nama itu dari mana mereka,” bohongku. Padahal nama Slefi kubuat sendiri saat kerja jadi SPG. Aku baru paham, dunia pekerjaan begitu kejam. Aku memperbaiki diri menjadi kuat dan tidak bisa ditendang.

“Karirmu cukup lumayan, tidak seperti aku, yang hanya pelayan kafe.” Dia menghela napas. “Sebetulnya setelah perceraian itu, aku mencarimu. Tapi tidak ada satupun teman kuliah yang mengetahui keberadaanmu.”

“Kenapa?” tanyaku tak mengerti.

“Kau teman baikku.”

Cuma itu Glift? Aku masih ingin lebih padamu. Bukankah dulu kau sempat menyatakan kau cinta aku? Apa rasa itu masih?

“Dan ...” dia menahan kalimatnya, “aku ... masih mencintaimu. Aku ingin melamarmu. Cukup gila memang, tapi kau cinta sejatiku sejak saat itu?”

Deg, aku terkaget. Hampir saja aku tersedak lagi. Ini terlalu ekstrim dan mendadak. Aku terdiam.

“Bagaimana?” tanyanya lagi.

“Aku tak bisa menerima orang yang dihatinya masih tersimpan cinta untuk orang lain.”

“Maksudmu?”

“Aku bisa menerimamu, tapi tidak untuk Steve. Aku tak mungkin bisa ikut merawat dan mencintai Steve, yang juga anak Sisil, teman yang rela menikungku. Rawatlah Steve dan lupakan aku.”

“Namun, kekuatan cintaku padamu yang membuatku tetap bersemangat hidup dan tetap menduda.”

Kupegang tangan Glift. Air mataku menggenang. Sungguh ini keputusan yang sulit. Tapi aku harus rela memutuskanya untuk kebaikan semua.

“Maaf, Glift. Aku tidak bisa, meski aku juga mencintaimu. Dan aku tak ingin memisakanmu dengan buah hatimu.”



Tentang Penulis:
Photo
Menerbitkan tiga novel: Ajari Aku Melupakanmu, Mendayung Impian dan Chiang Mai. Ketua Komunitas Fiksi Kudus, redaktur tajug.net. Karyanya dimuat di berbagai media seperti: Tempo, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Panjebar Semangat.

1 comments