Cinta Masa Lalu
Kebiasaan menyendiriku masih melekat sampai sekarang. Pergi ke mana-mana sendiri. Lebih asik. Teman? Ah, masa bodoh dengan yang namanya teman. Mereka adalah musuh dalam selimut. Kompetitor. Berteman hanya untuk menjatuhkan. Mencari kelemahan, dan dihempaskan. Lebih baik sendiri. Mereka sama saja. Bermuka dua.
Sepulang kerja, aku mampir ke kafe di perempatan jalan. Kafe tersebut baru buka
seminggu lalu. Kata Sendi, sirloin steak-nya enak. Tempatnya juga nyaman. Jika benar seperti
itu, akan kujadikan langganan. Jika tidak, cukup sekali saja aku bertandang.
Sudah
jam sepuluh malam. Parkiran depan kafe masih padat. Aku turun dari taksi. Masih mengenakan pakaian kerja, kemeja putih dibalut blazer hitam dengan bawahan pencil skirt di atas lutut. Badanku terlihat bagus, apalagi kakiku terlihat semakin jenjang. Itu daya tarikku, hingga penjualanku sering melebihi target. Dan pasti
membuat rekan kerjaku iri.
Untung
saja masih ada satu meja kosong di pojokan. Tak apalah, daripada harus pulang, atau
mencari kafe lain. Rupanya pengunjungnya banyak juga. Itu membuatku yakin
mengiyakan testimoni Sendi.
Langsung saja kupesan hot cappuccino dan sirloin steak, setelah disodorkan buku menu oleh pelayan muda nan tampan. Menggoda sekali pelayan itu. Tinggi, badannya tegap dan kulitnya putih. Tak ada satu pun noda jerawat di wajahnya. Ups. Pikiranku jadi ke mana-mana.
“Semoga diantar pelayan cakep tadi.” Aku memohon
pelan.
Mataku masih terpaku pada layar ponsel pintarku. Tak kuperhatikan, rupanya pesananku telah berpindah dari nampan ke meja.
“Silakan,” kata peyan itu.
Aku mengangkat wajahku, untuk berterima kasih.
“Terima ...," kalimatku terhenti. Wajah itu ... tidak-tidak. Aku menggeleng pelan.
Mataku tak lepas dari wajah pelayan pria yang masih
tersenyum ke arahku. Kuperhatikan benar setiap senti wajah dengan mata hazel itu.
Bukan-bukan, bukan yang tadi, ini beda lagi. Tapi, sepertinya aku mengenalnya.
Tak salah lagi. Aku tak mungkin lupa wajah tampan
yang pernah menjadi bagian sejarah hidupku.
“Glift,”
panggilku pelan saat pria itu akan meninggalkan mejaku.
Dia
menoleh ke arahku, kemudian memandangku. Bingung. Penuh tanda tanya.
“Maaf
siapa, ya?” tanyanya ragu.
Oh Tuhan
benar tebakanku, itu Glift. ID card-nya
tertulis namanya, “Glift Antonio”.
“Oh
benar tebakanku, kau melupakanku. Aku Riana. Ups, namun sekarang orang-orang
lebih mengenalku dengan nama Slefi.”
Dia
masih terlihat bingung. Ah, mungkin dia sedang mengumpulkan ingatan untuk
menemukan satu nama, Riana.
“Teman
kuliahmu, Glift....” Kubantu dia mengingat. “Kurang ajar sekali kau. Lupa
dengan teman dekatmu. Gadis berkacamata yang pernah kamu tembak dulu.”
“Slefi?
Riana?” tanyanya bingung, “benarkah Slefi itu Riana? Kau sungguh berbeda.”
Aku
tersenyum semringah. Namun ada kehawatiran yang muncul di hatiku. Kenapa dia
memandangku seperti itu? “Benar. Aku Slefi, ah ... emm maksudku Riana. Dan kau
benar, sekarang aku bukan lagi Riana yang lemah, yang rela hatinya ditusuk
dengan sembilu oleh sahabatnya.”
Dia
terdiam. Mungkin masih tak percaya melihatku, atau dia merasa bersalah telah
mencapakkanku dulu?
“Bolehkah
aku minta nomormu? Lain kali aku ingin ngobrol denganmu. Sekarang aku harus
kembali bekerja,” pintanya buru-buru.
Langsung
kuserahkan kartu nama untuknya. Dia langsung pergi meninggalkanku dalam
keremangan di antara kenangan.
***
Aku masih terkejut atas kemunculannya yang
tiba-tiba. Lebih lagi, ia yang menjadi pelayan di kafe baru ini. Di mana
kekayaannya yang dulu.
Seingatku dia anak orang kaya. Papanya pengusaha
sukses. Mamanya yang dari Jerman itu terpaksa mengalah, cukup menjadi ibu rumah
tangga. Ibu rumah tangga yang punya geng sosialita, sering pamer kekayaan.
“Kok bisa, ya?” Aku terheran-heran.
Aku tertegun. Membiarkan pesananku dingin begitu saja. Aku masih tak mengerti dengannya sekarang. Ingin bertanya panjang lebar, tapi kondisinya tak mungkin, ia sedang bekerja. Lagipula aku takut rasa masa lalu itu hadir begitu saja. Masa lalu yang susah payah kupendam akan mencuat kembali. Dan cinta yang pernah kurasa hadir lagi.
Aku membuyarkan lamunan segera. “Sudahlah, biarkan
saja.”
Aku meneguk cappuccino-ku yang sudah dingin, dan kelebatan masa lalu seperti menghantuiku. Aku segera menyantap sirloin steak-ku yang sama dingin. bahkan kentangnya sudah tak renyah lagi.
Tepat tengah malam aku pulang. Ingin cepat-cepat
merebahkan tubuhku di ranjang, beristirahat hingga siang datang.
***
Ponsel pintarku
terus berdering. Aku terpaksa membuka mata, padahal masih jam delapan. Harusnya
aku bangun jam sepuluh atau sebelas. Sialan! Siapa yang berani menggangguku di
hari minggu yang tenang?
Kutatap
layar ponsel pintarku, nomor baru. Oh my God. Haruskah mingguku terganggu dengan telepon
dari nomor tak kukenal ini? Segera kumatikan ponsel pintarku dan kupejamkan mata lagi.
***
Segar, itu
yang kurasa. Jam satu aku baru bangun. Serasa lunas sudah hutang tidurku, meski
sempat diganggu nomor sialan itu. Kulucuti bajuku dan segera pergi berendam.
Busa yang melimpah, kelopak mawar dan lilin aroma terapi, cukup menenangkan pikiranku.
Selesai mandi, kuhidupkan ponsel pintarku. Dua pesan langsung masuk. Kalau tidak
salah, itu nomor sialan yang memotong tidurku tadi.
Kok nggak diangkat malah dimatikan?
Aku ingin mengajakmu ngobrol lagi. Kapan kamu bisanya?
-Glift.
Aku termenung sejenak. Kubaca pesan itu lagi,
memastikan bahwa benar si pengirim adalah pria masa laluku. Rentetan kisah masa
lalu itu tiba-tiba melintas di pikiranku.
Aku tersenyum mengenangnya. Saat kami bersama,
bercanda dan bersuka ria. Namun saat sampai pada hal menyakitkan itu, hatiku
mendadak panas. Perih bukan main. Ternyata ... dia hanya mempermainkan cintaku.
Tak kurasa, air mata menetes membasahi pipiku. Aku menyekanya dan segera membalas pesan itu.
***
Cahaya
temaram memancar dari lampu-lampu yang tergantung di langit-langit kafe
romantis itu. Kafe baru di perempatan jalan. Kafe yang kemarin, tempat Glift
bekerja.
Aku
duduk di meja nomor 27, yang sebelumnya sudah dipesan Glift. Namun Glift belum datang. Ah, aku malas
menunggu. Bukankah dia yang ngotot bertemu di kafe tempatnya bekerja? Kupanggil
pelayan untuk menanyakan di mana Glift. Mengejutkan! Glift libur hari ini.
Terus mengapa dia mengajakku datang ke sini? Apa dia membohongiku?
“Maaf
menunggu.”
Akhirnya yang ditunggu datang juga. Malam ini Glift mengenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak berwarna biru. Rapi.
“Kamu
tahu kan, aku paling tidak suka menunggu?”
“Maafkan
aku. Sudah pesan?”
Aku
menggeleng. “Tak mungkin aku memesan duluan?”
“Maaf,
tadi ada hal mendadak yang harus diurusi. Kupanggilkan pelayannya dulu.”
Dia
langsung memanggil pelayan, memesan makanan. Duh, bukankah dia juga kerja di
sini? Kenapa tidak langsung ke dapur saja? Sok kaya, padahal sudah kere. Sebenarnya aku belum tahu betul alasanya kerja di sini. Masih kaya atau beneran sudah kere.
“Lama
tidak berjumpa, ya. Oh ya, kok bisa kerja di sini? Perusahaan papamu?” tanyaku
langsung ke inti, tanpa basa-basi. Aku sudah sangat penasaran.
Dia
tertunduk. “Papa meninggal karena serangan jantung. Perusahaannya pailit, ditipu
rekan bisnisnya. Semua aset habis untuk memberi pesangon karyawan. Dan di
sinilah aku mulai dari nol. Mama kusuruh tinggal bersama nenek di Bandung.”
Aku
tertegun. Tuhan, memang benar, roda kehidupan selalu berputar.
“Maaf, jika aku mengungkit itu. Oh ya bagaimana dengan Sisil dan anakmu?” tanyaku lagi sembari tersenyum, kecut.
“Sisil
minta cerai setelah aku kere. Aku malah senang, karena aku sama sekali tak
mencintainya.”
“Oh....”
“Papa...
Papa... Papa!.” Dari dalam terdengar suara anak kecil memanggil papanya.
“Steve,”
kata Glift tiba-tiba. Matanya tertuju pada anak kecil yang berlari menujunya.
Ia
bangkit dan mendekati anak laki-laki tampan yang teriak-teriak tadi, kemudian
menggendongnya dan mendudukkannya di kursi sebelahnya.
“Tadi
kau menanyakan anakku? Ini, Steve. Tanpa perebutan hak asuh, Sisil
menyerahkannya padaku. Untung saja. Aku mencintainya. Bagiamanapun juga dia anakku.
Kita tinggal di kafe ini. Di belakang ada kamar-kamar untuk pegawainya. Seperti
inilah kehidupanku sekarang.”
Sedikit
demi sedikit hatiku terasa nyeri. Sakit. Apa kata dia tadi? Mencintai anaknya
dengan Sisil? Namun mendengar kisahnya sungguh aku teriris. Kasihan dia,
bukankah dia orang yang baik? Kenapa Tuhan memberikan cobaan begitu berat pada
orang baik?
Tunggu
dulu! Dia jahat, bukankah dia yang telah melukaiku? Ah, Glift aku masih bingung
tentang perasaanmu, juga perasaanku. Tapi aku tak mau dilukai lagi.
Pesanan
datang. Glift memesankan makanan lagi untuk Steve. Glift sayang sekali dengan
anaknya itu. Kelihatan benar cintanya pada Steve. Aku mulai cemburu. Apa ini
berarti aku masih mencintainya? Oh no!
“Coba
ceritakan kenapa Riana bisa jadi Slefi?” godanya.
Aku
hampir tersedak. Segera kuteguk cappuccino-ku.
“Anu, lulus kuliah aku kerja di perusahaan kontraktor selama setahun, namun
dipecat gara-gara difitnah rekanku, telah menggelapkan sejumlah uang. Setelah
itu aku jadi SPG, sampai sekarang. Rekan-rekan SPG dan bosku yang memanggil aku
Slefi, kurang paham dapat nama itu dari mana mereka,” bohongku. Padahal nama
Slefi kubuat sendiri saat kerja jadi SPG. Aku baru paham, dunia pekerjaan
begitu kejam. Aku memperbaiki diri menjadi kuat dan tidak bisa ditendang.
“Karirmu
cukup lumayan, tidak seperti aku, yang hanya pelayan kafe.” Dia menghela napas.
“Sebetulnya setelah perceraian itu, aku mencarimu. Tapi tidak ada satupun teman
kuliah yang mengetahui keberadaanmu.”
“Kenapa?”
tanyaku tak mengerti.
“Kau
teman baikku.”
Cuma itu
Glift? Aku masih ingin lebih padamu. Bukankah dulu kau sempat menyatakan kau
cinta aku? Apa rasa itu masih?
“Dan ...”
dia menahan kalimatnya, “aku ... masih mencintaimu. Aku ingin melamarmu. Cukup
gila memang, tapi kau cinta sejatiku sejak saat itu?”
Deg, aku
terkaget. Hampir saja aku tersedak lagi. Ini terlalu ekstrim dan mendadak. Aku
terdiam.
“Bagaimana?”
tanyanya lagi.
“Aku tak
bisa menerima orang yang dihatinya masih tersimpan cinta untuk orang lain.”
“Maksudmu?”
“Aku
bisa menerimamu, tapi tidak untuk Steve. Aku tak mungkin bisa ikut merawat dan
mencintai Steve, yang juga anak Sisil, teman yang rela menikungku. Rawatlah
Steve dan lupakan aku.”
“Namun,
kekuatan cintaku padamu yang membuatku tetap bersemangat hidup dan tetap
menduda.”
Kupegang
tangan Glift. Air mataku menggenang. Sungguh ini keputusan yang sulit. Tapi aku
harus rela memutuskanya untuk kebaikan semua.
“Maaf,
Glift. Aku tidak bisa, meski aku juga mencintaimu. Dan aku tak ingin
memisakanmu dengan buah hatimu.”

1 comments
sedih ceritanya, kenapa tak menerima saja..ya
BalasHapus