Filsafat Sosrokartono: Tidak Menjadi Asin Tinggal di Laut

Bin Subiyanto. M


Sosrokartono


Di rumah dinas  Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Sosrokartono lahir, tepatnya pada 10 April 1877. Putra R.M.A. Sosroningrat (jabatan terakhir Bupati Jepara) dengan garwo ampil  Ibu Mas Ayu Ngasirah, asal Teluk Awur Jepara. Ibunda Ngasirah melahirkan 8 putra-putri. Raden Mas Panji Sosrokartono putra keempat, sedangkan R.A. Kartini putra kelima.

Dalam silsilah, Sosrokartono terlahir dari keturunan bangsawan sejak abad XV. Dari Prabu Brawijaya sampai keturunan kesepuluh, Bupati Surabaya pertama (Tumenggung Tjondronegoro I), menurunkan Bupati Lamongan, Bupati Pati, dan menurunkan Bupati Kudus pertama (Adipati Tjondronegoro III), kemudian Bupati Demak, dan akhirnya  ayahanda Sosrokartono yaitu Bupati Jepara (sumber data: Bijdragen tot de taal, Landen Volkenkunde Deel, 122).


Diplomasi  Budaya

Ketika Sosrokartono berusia 20 tahun, dan setelah lulus dari H.B.S. Semarang tahun 1897, dia langsung berangkat ke Belanda. Dia pun tercatat sebagai mahasiswa pertama yang belajar di negeri Kincir Angin itu.

Dua tahun kuliah di Technische Hogesschool di kota Delft, kecenderungannya di bidang Humaniora tak dapat dibendung. Penguasaannya dalam bahasa, berbuah prestasi. Sosrokartono di usia 22 tahun sudah tampil sebagai key speaker. Dia mendapat kesempatan pidato saat kongres ke-25 Bahasa dan Kesusastraan Belanda, di Kota Gent (Belgia).

Minatnya pada sastra, membujuknya untuk kuliah di Fakultas Sastra dan Filsafat Universiteit Leiden, Belanda. Saat baru lulus sebagai sarjana muda, Sosrokartono langsung menjadi redaksi Majalah “Bintang Hindia”. Majalah yang bersemangat nasionalis Indonesia itu berkibar mulai Tahun 1903. Di tahun itu pula pemuda Indonesia mulai bergejolak, termasuk H.O.S Tjokroaminoto yang secara berbarengan merintis Sarikat Dagang Islam. Berdirinya Boedi Utomo pun dideklarasikan tahun 1908. Pada tahun yang sama (1908), Sosrokartono bersama kawan mendirikan “Indische Vereeniging” di Den Haag, Belanda.

Nasionalisme Sosrokartono menggebu dengan identitas keindonesiaan yang masih bertahan. Terbukti di Belanda, dia sering mengenakan ageman lurik, jas beskap, serta jarik batik. Dan orang-orang Belanda mengelu-elukannya dengan sebutan “De Mooie Sos” yang maksudnya, Sosro yang tampan, simpatik dan cerdas. Dalam hal ini, bisa dikatakan seperti Prof. Habibie (Presiden RI ke-3) yang saat  di Jerman  menjadi bintang atas keilmuannya di negeri asing, tetapi tetap nasionalis sejati.

Sosrokartono tidak pernah berhenti berperan dalam bidang sosial politik Internasional. Dia diangkat oleh pemerintah Prancis, menjadi atase kedutaan Prancis di Belanda. Dia juga diangkat sebagai juru bahasa pada Volken Bond di Genewa, Swiss, dan oleh Amerika, Sosrokartono dinyatakan lulus sebagai wartawan perang pada surat kabar kaliber dunia “The New York Herald Tribune”.  Semua peran politik Internasionalnya itu semata-mata ingin dijadikan kekuatan diplomasi budaya yang mengesankan, bahwa ada seorang sarjana sekaligus cendekiawan Indonesia lulusan Leiden yang hebat.

Sosrokartono, lulus sarjana Sastra dan Filsafat tahun 1908. Dia berhasil menguasai 26 bahasa, yaitu 9 bahasa asing Timur dan 17 bahasa asing Barat. Dialah sang cendekiawan nasionalis di bumi kolonial,  dan tetap menjadi Indonesia. Seperti ikan di laut, ia tidak asin oleh air laut.


Sang  Alip

Ketika masih di Genewa, Swiss, ada kejadian yang istimewa bagi Sosrokartono. Seorang anak pejabat Prancis sakit keras. Para dokter tidak sanggup menyembuhkannya. Ketika Sosrokartono datang, ditempelkannyalah telapak tangannya ke dahi anak yang sakit, disertai doa. Anak tersebut sembuh seketika, dan langsung bisa bermain dengan temannya.

Kemampuan “khusus” tersebut diketahui oleh para dokter dan psikiater di Prancis. Dia kemudian dianjurkan kuliah di Universitas Sorbone, pimpinan Prof. Dr. Charcos, mengambil kuliah Psikometri dan Psikoteknik. Empat tahun belajar ilmu jiwa, Sosrokartono merasa “cukup” dan memutuskan pulang ke Tanah Air pada tahun 1925.  Pada awal kepulangannya, ia menetap di Bandung.

Selanjutnya Sosrokartono aktif bersama kawan-kawan pergerakan, yaitu Ir. Soekarno, Mr. Sunario, Dr. Samsi, Mr. Usman Sastroamidjojo, Suwandi, dan Iskandar Karto Menggolo. Mereka mendirikan  “Nationale Middlebare School” di bawah naungan Perguruan Taman Siswa. Namun Sosrokartono tidak selalu bersama dengan teman-temannya, malah secara swadaya, Sosrokartono keliling Sumatera hingga tahun 1931.  Agaknya tahun itu merupakan titik tolak Sosrokartono menjadi “Eyang Sosro”, sekelas guru spiritual dan paranormal, setelah puasa ngebleng 47 hari  tuntas.

Di Sumatera, Sosrokartono merasa nyaman menetap di Kota Binjai. Di sanalah lahir hasil renungan filsafat Jawa yang membuatnya merasa “ada” sesungguhnya. Sebagaimana yang sangat poluler, dia merefleksikan tentang kepribadian idealnya sebagai orang Indonesia (Jawa). Salah satu bait filsafatnya yang ditulis dalam tulisan tangan asli;

Bindjai, 12 Nov 1931.

Angloeroeg, tanpo bolo, tanpo gaman // Ambedah tanpo perang, tanpo pedang // Menang, tanpo medjahi, tanpo njakiti // Wenang, tanpo ngroesak ajoe, ngroesak adil // Jen oenggoel, soedjoed bakti marang sesame

Terjemahan bebasnya: Maju di percaturan sendiri, kekuatan sendiri, tanpa kekerasan dan alat kekerasan. Tidak perang (berarti diplomasi), tanpa senjata. Memperoleh kemenangan tanpa membunuh dan tanpa menyakiti. Dalam berkuasa tidak merusak kebahagiaan bersama dan keadilan.  Jika telah berkuasa, bersujud dan berbakti kepada sesama manusia.

Dasar falsafah moral tersebut, oleh Sosrokartono telah dijalaninya selama 27 tahun di Eropa. Tetap dipegangnya falsafah “Ojo Dumeh”, rendah hati,  dan  jangan lupa, semua bersifat sementara dan titipan Tuhan. Bagi Sosrokartono, semua kebaikan yang dilakukan adalah menjalani perintah Tuhan. Sebagaimana yang dijalani Sosrokartono di masa usia 60-75 tahunan, dia mengabdikan dirinya pada kemanusiaaan di Bandung, mengobati para penderita sakit dengan bermacam jenis, mengoperasi tanpa alat bedah. Dengan Tauhid yang mendalam, Sosrokartono belum pernah gagal mengobati.

Dalam pengobatannya, mengkhususkan dengan doa kepada Allah, dengan bahasa Jawa, surah-surah dalam Al-Quran, nyenyuwun“  kepada  almarhum ibundanya, kemudian membersihkan batin, niatnya untuk penyembuhan, dan akhirnya digunakan air putih serta huruf Alif yang tertulis pada kertas tebal (karton putih). Alif sebagai simbol Adadan sekaligus Esa (satu). Sampai saat ini para peneliti pengobatan spiritual menyimpulkan bahwa penutup doa huruf Alif ini  tidak bisa dipelajari oleh orang lain atau kita yang ingin “berguru” padanya. Ada keyakinan bahwa sang Alip adalah manifestasi “Eyang Sosro”, lelaki yang bujang sepanjang masa, atau Djoko Pring.

Sepeninggal Sosrokartono tahun 1952, sebagian benda bersejarah miliknya, khususnya kertas tebal bertuliskan Alif, tersimpan di pendapa Rumah Kanjeng, Jalan Muria, Kaliputu Kudus (sekarang Jl.  Sosrokartono). Demikian kentalnya nasionalisme Sosrokartono, menjadi teladan bagi bangsa ini, bahwa di mana pun kau berada, tetap menjadi dirimu sendiri. Ikan tidak menjadi asin meski tinggal di laut.

Setiap bulan April, banyak kerabat keturunan para Kanjeng (Bupati) ziarah ke Makam Sedho Moekti, Kec. Kota Kudus, tempat dimakamkannya Sosrokartono dan leluhurnya. Peninggalan Sosrokartono berupa ilmu intelektual dan spiritual sangat berharga dan berlimpah, terutama dalam ajaran perilaku budi pekerti ketimuran dan kejawen. Sosrokartono adalah guru bangsa yang turut serta melahirkan nilai-nilai kebangsaan dan persatuan. Kini sudah saatnya digali lagi sebagai nilai-nilai sosial di tengah nyarisnya disintegrasi saat ini. 



Tentang Penulis:
Photo
Pegiat buruh, direktur PADERI (Pusat Analisis Demokrasi Ekonomi keRakyatan Indonesia). Menulis sejak 1985. Tulisannya pernah dimuat di surat kabar, majalah, tabloid, dan media di Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Jakarta. Emailnya bins.indo@gmail.com.

1 comments