Perempuan Istri dan Perempuan Ibu

Mukti Sutarman Espe




Di balik sukses seorang pria, ada perempuan hebat di belakangnya. Di balik sukses seorang anak, ada ibu luar biasa di belakangnya. Dua ungkapan indah itu secara maknawi menempatan perempuan pada posisi istimewa. Yang pertama, perempuan sebagai istri. Pendamping setia sekaligus pendukung utama suami dalam mewujudkan cita-cita. Sedang yang kedua, perempuan ibu, penggula wentah sejati, pendoa khusuk serta penghayat laku prihatin yang gentur.

Adakah yang  berani menampik kebenaran ungkapan tersebut? Jika pun ada kiranya mereka termasuk dalam golongan minoritas. Sebab realitas kehidupan dengan sejujurnya telah banyak mendedahkan betapa kuat peran besar perempuan istri bagi keberhasilan karier suami. Pun demikian peran perempuan ibu pada cerlang cemerlangnya masa depan anaknya.

Perempuan Istri

Diakui atau tidak, dalam sejarah kesuksesan seorang laki-laki (baca suami) peran seorang istri tidak bisa dinafikan begitu saja. Peran itu bisa berupa kesetiaan, kesabaran, ketegaran, bahkan penderitaan. Tidak usah mencari bukti hingga jauh. Coba simak sejarah perjalanan karier laki-laki nomor 1 negeri ini. Di situ, niscaya akan terbaca nama-nama perempuan istri hebat. Seperti, Inggit Ganarsih, Fatmawati, Siti Hartinah, Hasri Ainun Basari, Sinta Nuriyah, Kristiani Herrawati, Iriana.

Itu belum termasuk para perempuan istri hebat -entah siapa dan berapa jumlahnya- yang telah  sukses mengantar suaminya menjadi jenderal, menteri, gubernur, bupati, bankir, direktur, dokter, dosen, guru, atlet, seniman, hingga pun hanya sebagai seorang kepala keluarga yang arif bijaksana.

Lantas apa dan bagaimana peran mereka terhadap kesuksesan suami masing-masing? Tentu teramat absurd bila semuanya mesti dibeber dalam tulisan ini. Sebagai contoh, di sini akan diunggah secara singkat kisah perempuan istri hebat bernama Inggit Ganarsih. Perempuan tegar berhati samudra yang mendampingi Bung Karno, presiden pertama RI, dalam rentang masa pergerakkan nasional.

Inggit Garnasih dan Soekarno menikah tahun 1923 di Bandung. Belum genap sewindu menjalani hidup sebagai suami istri, tahun 1929, pemerintah Belanda menangkap dan menjebloskan Soekarno ke penjara Bancuey lalu dipindah ke Sukamiskin. Selama suaminya di dalam bui, Inggit tampil sebagai perempuan istri yang hebat. Demi terpeliharanya ekonomi keluarga, ia membuat bedak, menjahit baju dan kutang, membuat rokok, untuk dijual. Semua dilakukan agar asap dapurnya tetap mengepul.

Dalam pada itu, seperti yang dituturkan Reni Nuryati dalam Biografi Inggit Ganarsih: Perempuan dalam Hidup Soekarno (2007), setiap kali menjenguk Soekarno di Sukamiskin, Inggit tak pernah lupa menyelipkan uang dalam makanan yang dibawanya. Uang itu dimaksudkan bisa digunakan membujuk penjaga agar mau membelikan koran untuk suaminya. Tidak hanya itu, inggit juga kerap mengirim buku-buku politik dengan cara dramatis. Supaya lolos dari pengawasan penjaga, buku-buku itu diselipkan di perutnya. Agar perutnya tidak terliha menonjol, beberapa hari sebelumnya Inggit melakukan puasa.

Ramadhan KH, dalam bukunya, Soekarno Kuantar Kau ke Gerbang (2014) menuturkan, sewaktu Soekarno menyusun pembelaan di persidangan, Inggit membantu dengan mencarikan data, dokumen, dan sejumlah buku untuk referensi. Teks panjang pembelaan Soekarno di persidangan itu di kemudian hari dikenal dunia sebagai buku  dengan judul Indonesia Menggugat.

Tahun 1933 Soekarno dibuang ke Ende, Flores lalu tahun 1938 dipindah ke Bengkulu. Di dua tempat pembuangan itu bersama segala duka deritanya, Inggit Garnasih tetap setia mendampingi si Boeng, sang suami tercinta, dengan ketabahan perempuan istri yang hebat.

Perempuan Ibu

Tidak terhitung berapa banyak entah karya seni yang mendeskripsikan kemuliaan seorang perempuan ibu. Lukisan, tari, lagu, puisi, cerpen, novel, patung, dibuat sebagai dedikasi estetis para seniman atas kasih sayang serta seluruh pengorbanan seorang ibu.

Memang, teramat sulit dipungkiri bagaimana totalitas seorang perempuan ibu dalam mengasuh dan membimbing anak-anaknya. Sedari dalam gua garba, lahir, menyusui, menyuapi, mengajari jalan, mengenalkan dengan kata-kata sederhana, “ibu”, “ayah”, “maem”, “pipis”, dan sebagainya. Semua merupakan ekspresi tulus  kasih sayang seorang ibu.

Tidak berhenti di situ, bahkan sampai pun anak-anaknya sudah dewasa, ibu maih saja tetap menyertai dengan doa-doa berpinta pengharapan baik dan keselamatan abadi. Doa yang terlangitkan melalui sunyinya sujud malam dan "sakralnya” laku prihatin puasa Senin, Kamis.

Tiga puluh sekian tahun silam, ketika menjadi koresponden sebuah surat kabar, di Weleri, Kendal, saya pernah mewancarai seorang ibu yang namanya (lupa) cukup terkenal di daerah setempat. Terkenal bukan karena ia seorang pesohor atau keluarga kaya raya, tetapi lebih dikarenkan keberhasilannya dalam mendidik dan mengantarkan 7 putra-putrinya menjadi Orang (dengan o kapital). Ketujuh anak ibu tersebut semua mempunyai jabatan tinggi -untuk ukuran kota kecamatan. Ada yang jadi jaksa, jadi perwira tinggi Angkatan Udara, dokter, bupati, camat, dosen, pilot. Dan kunci pembuka kesuksesasn itu, menurutnya, antara lain, adalah salat tahajud dan puasa Senin, Kamis.

Sangat dimungkinkan perempuan luar biasa seperti itu terdapat di mana-mana. Mengingat memang begitulah naluri dasar seorang ibu, rela berkorban demi kebahagiaan hidup anak-anaknya. Maka boleh jadi itulah mengapa dunia internasional memberi penghargaan dan penghormatan kepada para ibu dengan menetapkan setiap minggu kedua bulan Mei sebagai perayaan Mother’s Day. Hari Ibu Sedunia. Sementara di Indonesia Hari Ibu dirayakan setiap tanggal 22 Desember. SELAMAT MERAYAKAN HARI IBU, WAHAI PEREMPUAN HEBAT INDONESIA!!!



Tentang Penulis:
Photo
Penyair, mukim di Kudus.

0 comments