Perempuan Istri dan Perempuan Ibu
Di balik sukses seorang pria, ada
perempuan hebat di belakangnya. Di balik sukses seorang anak, ada ibu luar
biasa di belakangnya. Dua ungkapan indah itu secara maknawi menempatan perempuan
pada posisi istimewa. Yang pertama, perempuan sebagai istri. Pendamping setia
sekaligus pendukung utama suami dalam mewujudkan cita-cita. Sedang yang kedua,
perempuan ibu, penggula wentah sejati, pendoa khusuk serta penghayat laku
prihatin yang gentur.
Adakah yang berani menampik kebenaran ungkapan tersebut? Jika pun ada kiranya mereka termasuk dalam golongan minoritas. Sebab realitas kehidupan dengan sejujurnya telah banyak mendedahkan betapa kuat peran besar perempuan istri bagi keberhasilan karier suami. Pun demikian peran perempuan ibu pada cerlang cemerlangnya masa depan anaknya.
Perempuan Istri
Diakui atau tidak, dalam sejarah
kesuksesan seorang laki-laki (baca suami) peran seorang istri tidak bisa
dinafikan begitu saja. Peran itu bisa berupa kesetiaan, kesabaran, ketegaran, bahkan
penderitaan. Tidak usah mencari bukti hingga jauh. Coba simak sejarah
perjalanan karier laki-laki nomor 1 negeri ini. Di situ, niscaya akan terbaca
nama-nama perempuan istri hebat. Seperti, Inggit Ganarsih, Fatmawati, Siti
Hartinah, Hasri Ainun Basari, Sinta Nuriyah, Kristiani Herrawati, Iriana.
Itu belum termasuk para perempuan
istri hebat -entah siapa dan berapa jumlahnya- yang telah sukses mengantar suaminya menjadi jenderal,
menteri, gubernur, bupati, bankir, direktur, dokter, dosen, guru, atlet,
seniman, hingga pun hanya sebagai seorang kepala keluarga yang arif bijaksana.
Lantas apa dan bagaimana peran mereka terhadap kesuksesan
suami masing-masing? Tentu teramat absurd bila semuanya mesti dibeber dalam tulisan
ini. Sebagai contoh, di sini akan diunggah secara singkat kisah perempuan istri
hebat bernama Inggit Ganarsih. Perempuan tegar berhati samudra yang mendampingi
Bung Karno, presiden pertama RI, dalam rentang masa pergerakkan nasional.
Inggit Garnasih dan Soekarno menikah
tahun 1923 di Bandung. Belum genap sewindu menjalani hidup sebagai suami istri,
tahun 1929, pemerintah Belanda menangkap dan menjebloskan Soekarno ke penjara
Bancuey lalu dipindah ke Sukamiskin. Selama suaminya di dalam bui, Inggit tampil
sebagai perempuan istri yang hebat. Demi terpeliharanya ekonomi keluarga, ia
membuat bedak, menjahit baju dan kutang, membuat rokok, untuk dijual. Semua
dilakukan agar asap dapurnya tetap mengepul.
Dalam pada itu, seperti yang
dituturkan Reni Nuryati dalam Biografi
Inggit Ganarsih: Perempuan dalam Hidup Soekarno (2007), setiap kali
menjenguk Soekarno di Sukamiskin, Inggit tak pernah lupa menyelipkan uang dalam
makanan yang dibawanya. Uang itu dimaksudkan bisa digunakan membujuk penjaga
agar mau membelikan koran untuk suaminya. Tidak hanya itu, inggit juga kerap mengirim buku-buku politik
dengan cara dramatis. Supaya lolos dari pengawasan penjaga, buku-buku itu
diselipkan di perutnya. Agar perutnya tidak terliha menonjol, beberapa hari
sebelumnya Inggit melakukan puasa.
Ramadhan KH, dalam bukunya, Soekarno Kuantar Kau ke Gerbang (2014)
menuturkan, sewaktu Soekarno menyusun pembelaan di persidangan, Inggit membantu
dengan mencarikan data, dokumen, dan sejumlah buku untuk referensi. Teks
panjang pembelaan Soekarno di persidangan itu di kemudian hari dikenal dunia
sebagai buku dengan judul Indonesia Menggugat.
Tahun 1933 Soekarno dibuang ke Ende,
Flores lalu tahun 1938 dipindah ke Bengkulu. Di dua tempat pembuangan itu bersama
segala duka deritanya, Inggit Garnasih tetap setia mendampingi si Boeng, sang
suami tercinta, dengan ketabahan perempuan istri yang hebat.
Perempuan Ibu
Tidak terhitung berapa banyak entah
karya seni yang mendeskripsikan kemuliaan seorang perempuan ibu. Lukisan, tari,
lagu, puisi, cerpen, novel, patung, dibuat sebagai dedikasi estetis para
seniman atas kasih sayang serta seluruh pengorbanan seorang ibu.
Memang, teramat sulit dipungkiri
bagaimana totalitas seorang perempuan ibu dalam mengasuh dan membimbing
anak-anaknya. Sedari dalam gua garba, lahir, menyusui, menyuapi, mengajari
jalan, mengenalkan dengan kata-kata sederhana, “ibu”, “ayah”, “maem”, “pipis”,
dan sebagainya. Semua merupakan ekspresi tulus kasih sayang seorang ibu.
Tidak berhenti di situ, bahkan sampai
pun anak-anaknya sudah dewasa, ibu maih saja tetap menyertai dengan doa-doa
berpinta pengharapan baik dan keselamatan abadi. Doa yang terlangitkan melalui
sunyinya sujud malam dan "sakralnya” laku prihatin puasa Senin, Kamis.
Tiga puluh sekian tahun silam, ketika
menjadi koresponden sebuah surat kabar, di Weleri, Kendal, saya pernah mewancarai
seorang ibu yang namanya (lupa) cukup terkenal di daerah setempat. Terkenal
bukan karena ia seorang pesohor atau keluarga kaya raya, tetapi lebih
dikarenkan keberhasilannya dalam mendidik dan mengantarkan 7 putra-putrinya
menjadi Orang (dengan o kapital). Ketujuh anak ibu tersebut semua mempunyai
jabatan tinggi -untuk ukuran kota kecamatan. Ada yang jadi jaksa, jadi perwira
tinggi Angkatan Udara, dokter, bupati, camat, dosen, pilot. Dan kunci pembuka
kesuksesasn itu, menurutnya, antara lain, adalah salat tahajud dan puasa Senin, Kamis.
Sangat dimungkinkan perempuan luar
biasa seperti itu terdapat di mana-mana. Mengingat memang begitulah naluri
dasar seorang ibu, rela berkorban demi kebahagiaan hidup anak-anaknya. Maka boleh
jadi itulah mengapa dunia internasional memberi penghargaan dan penghormatan
kepada para ibu dengan menetapkan setiap minggu kedua bulan Mei sebagai
perayaan Mother’s Day. Hari Ibu
Sedunia. Sementara di Indonesia Hari Ibu dirayakan setiap tanggal 22 Desember.
SELAMAT MERAYAKAN HARI IBU, WAHAI PEREMPUAN HEBAT INDONESIA!!!
0 comments