Filosofi Mijil, Teras, dan Kantor

Fadlillah Rumayn

Satu tahun berlalu, namun yang dibilang banyak orang benar juga. Kalau benci, yang baik pun akan terlihat jelek. Dan kalau sudah cinta, tai kucing pun harum baunya.

“Anak baru, telat melulu!” caci Bu Anggun setibanya aku di kantor.

Ya, aku memahami iklim di madrasahku, dan barangkali ini situasi yang lumrah. Ada kesalahan kecil, diviralkan. Dan soal keterlambatanku, memang susah dimaklumi. Bila kupikir-pikir, memang salahku sendiri sih. Tidak seharusnya aku menerima pekerjaan di tempat sejauh 15 km dari rumah. Selain itu, mereka tak sadar kondisi jalanan pada jam setengah tujuh hingga pukul tujuh pagi. Terlambat sepuluh-dua puluh menit tidak ada apa-apanya dibanding bila aku harus mengebut, melewati banyak truk, atau menyalip beraneka macam pengendara yang tak bisa dipastikan lampu seinnya. Maklum saja, rumah Bu Anggun hanya beberapa belokan saja dari madrasah.

“Kamu tahu Filosofi Teras?” tanya suamiku suatu malam. Waktu kami berdua mengobrol santai. Hampir setiap malam kami jadikan sesi curhat.

Aku menggeleng.

Suamiku seorang penulis, tapi menurutku dia lebih banyak menjadi pembaca. Di mana pun tempatnya, yang dibawa adalah buku. Di taman, di kafe, di rumah sakit, di bengkel, di kamar mandi, tidak heran bila banyak hal yang ia tahu. Seringkali aku menganggapnya seperti Mr. Owl dalam animasi Tinkerbell. “Filosofi ini meyakini, bahwa ada hal-hal yang di luar kendali kita, seperti omongan teman-temanmu, juga kerewelan anakmu. Tapi, kamu bisa mengendalikan sikapmu menghadapi semua itu.”

Benar juga, aku memang tidak bisa mengendalikan mulut mereka, mereka juga tidak bisa mengendalikan jam kedatanganku, tetapi aku bisa mengontrol sikapku ketika digunjingkan di belakang.

Aku memilih untuk diam dan tersenyum. Hidup bukan seputar mulut mereka saja.

Maka kujalani hidupku dengan tempelan catatan evaluasi di sana-sini. Toh ke depan aku bisa jadi lebih banyak digunjingkan. Apa karena mereka kadung tak suka padaku? Yang mereka komentari bukan soal telat lagi. Tapi, juga soal cara mengajarku, caraku memberi penilaian pada murid-muridku (aku tahu kemudian bahwa cara mengajar dan memberi nilai tidak seideal yang kutahu), sampai hal-hal yang sebenarnya hanya mereka buat-buat untuk menaikkan pamor di depan kepala madrasah atau sekadar bikin ramai di kantor. Biarlah mereka sibuk mendefinisikan aku, sementara aku sibuk menyusun kesuksesanku.

Sukses? Ya ini berkaitan erat dengan nominal gajiku. Kau tahu sendiri kan, gaji guru-guru swasta di kota ini. Dan aku mulai menyadari, semenjak aku kerja, perekonomian keluargaku bukannya membaik, justru kebutuhan membengkak. Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Kesempatan mengajar di madrasah sudah sesuatu yang mewah bagiku. Melihat mereka lancar dan tartil membaca Al-Qur’an, mulai terkena virus membaca yang kudapat dari suamiku, dan mulai terpantik pertanyaan-pertanyaan dari mereka soal sastra. Itu sudah luar biasa.

Kondisi ini, memperkuat keputusanku untuk berjualan. Pada dasarnya ini hobiku, dan selama ini aku menjadi dropshipper. Ada yang order, kuambilkan, kalau tidak ya promosi saja. Semakin lama, kebutuhan hidup bertumbuh. Aku jadi menganggarkan sebagian gajiku untuk menyetok barang, untuk berjaga-jaga saat tanggal tua. Biar tetap ada barang yang bisa dijual tanpa harus ambil dulu dari supplier saat ada orderan. Karena di antara kendalaku adalah ada yang pesan, tak ada modal untuk ambil barang. Sementara pembeli minta pembayaran COD, atau masih keluarga sendiri yang membuatku pakewuh untuk meminta dibayar dulu.

Banyak stok dagangan di rumah membuatku tergoda untuk membawanya ke sekolahan. Barangkali ada yang berminat kemudian membeli.

"Aku juga dulu sepertimu, Bu," curhat Bu Jelita. "Dulu aku sering membawa jualanku ke sekolahan. Aku juga membuka stan di berbagai acara. Karena nggak bisa dipungkiri jiwa enterpreneur-ku besar saat itu." Ia berhenti sebentar. Sepertinya sedang menyusun kenangan pahit. "Aku malah baru tahu beberapa waktu kemudian, ada yang berkomentar, guru kok nyambi dodolan, yah mau gimana lagi, akhirnya mereka sukses mematahkan semangatku. Sejak itu, aku tetap berjualan, tapi di luar sekolahan," tuturnya.

Aku memahami apa yang dikatakan Bu Jelita. Ini juga tamparan bagiku. Apa setiap kubawa daganganku, mereka berkomentar seperti itu? Padahal apa salahnya jualan? Jualan juga pekerjaan baik. Nabi Muhammad SAW juga jualan, sampai sejauh Negeri Syam. Kita hanya guru, yang jiwanya belum tentu lebih bersih dari selembar HVS. Prestise guru seolah tak mengizinkan berprofesi pendukung sebagai penjual tas, sosis, kopi, parfum, baju, dan sebagainya. Pada dasarnya manusia memang tidak bisa terlepas dari lingkaran muamalah.

Sejak itu, aku jarang bawa dagangan. Aku mulai fokus di penjualan online. Di sekolah, aku seorang guru. Baru seusai mengajar, aku mengatur jadwal COD, aku memberi tiga titik pilihan, Simpang Tujuh, Museum Kretek, atau Menara Kudus.

Masa-masa untuk membuktikan aku sebagai seorang guru perlahan merembet mendekat. Pertengahan Februari madrasah kami bersiap-siap menghadapi PKKM, semacam penilaian dari Departemen Agama bagi para kepala madrasah. Minggu itu menjadi minggu yang sibuk, dengan berbagai job desk masing-masing.Yang wajib bagi setiap guru adalah pembuatan RPP, semacam lesson plan namun jarang digunakan dalam pembelajaran.

Januari sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar, di mana ada beberapa poin yang mengatur pendidikan dasar dan menengah di negara berkembang ini. Salah satunya yakni RPP ringkas, cukup satu lembar. Kebijakan ini mengundang empati para guru yang selama ini terbebani berkas yang rumit dan berjilid-jilid. Pun aku. Dan kebijakan ini sangat membantuku dalam menyiapkan momen PKKM. Aku segera mengeprint contoh RPP selembar tersebut dan membawanya ke kantor kepala madrasah. Meski telah menonton video persnya, aku juga butuh persetujuan kepala madrasahku.

"Lho, ini tuh belum resmi. Ga bisa pakai yang begitu!"

Di luar ekspektasiku, respon beliau setengah marah dan seolah meledekku habis-habisan. Aku yang waktu itu bersama Bu Endang langsung malu. Sedikit geram, tapi kuhargai keputusan itu. Mungkin saja aku yang kurang memahami info ini.

Hari berikutnya, Bu Endang berbisik kepadaku, "Bu, teman-temanku yang mengampu di SMP bilang kalau sudah bikin format selembar sejak setengah bulan yang lalu."

"Ya sudah nggak apa-apa, Bu, anggap aja yang dibutuhkan bukan yang itu," jawabku berusaha menenangkannya juga.

Bagiku itu bukan masalah besar. Lebih prioritas memikirkan lauk apa yang nanti sepulang sekolah kumasak.

Job desk yang diberikan kepala madrasah padaku kini bertambah. Aku diamanahi membuat power point sebagai bahan tayang saat mempresentasikan profil sekolah. Dulu aku sangat suka membuat power point, namun karena sudah tidak ada kebutuhan, aku jarang membuatnya. Kini aku mengenang kembali kemampuanku merancang slide. Seharian di lab komputer tidak terasa bila mengerjakan sesuatu yang menyenangkan.

Tak kusangka hasil power point yang kugarap dibagikan di Grup WA Guru. Beliau memberi caption, "Profil sekolah untuk bahan tayang. Ternyata Bu Rini punya bakat luar biasa dalam membuat power point." Kiriman itu mengundang komentar positif dari teman-teman. Aku tidak sempat memilah mana yang penuh tendensi, mana yang tulus dari hati.

Dalam hati aku tertawa. Memang sih aku suka merancang slide, namun itu bukan seluruhnya buatanku. Aku tinggal mengunduh template dan mengedit gambar, ikon, keterangan, dan transisinya.

"Makanya aku pernah dengar, sekarang ini, semua orang bisa terlihat ahli. Di internet sudah tersedia berbagai informasi. Tergantung kita, bisa tidak mendayagunakan itu semua. Kadang kan banyak orang mau download saja salah klik, yang muncul malah iklan," terang suamiku seusai menyimak curhatku.

Diam-diam aku mengagumi ketegaranku sendiri. Setelah ditertawakan, kemudian dipuji. Setelah diperosokkan ke gua yang dalam dan penuh mata-mata merah, kini dilambungkan ke awan penuh pelangi. Saat mengalami keduanya, aku diam, tersenyum, mendengarkan. Ke depan, bisa jadi aku akan menjadi bola pantul, menubruk tanah dan mengangkasa.

Sebagaimana tembang Mijil yang digubah oleh Sunan Kudus, "Dedalane guno lawan sekti/ Kudu andhap asor/ Wani ngalah dhuwur wekasane/ Tumung kula yen dipun dukani/ Bapang den simpangi/  Ono catur mungkur…" (Jalan untuk menjadi hebat, harus menghormati/ berani mengalah baik nasibnya/ tidak membantah saat kena marah/ berusaha menjauhi kesombongan/  menghindari pergunjingan).

"Bu, apa benar kemarin ada anak yang lari-lari di lab komputer sampai mecahin keyboard kamu diam saja? Tadi di kantor ramai dibicarakan," Bu Kartini tergopoh-gopoh menemuiku di perpustakaan.

"Ha?" aku melongo.

***

Tentang Penulis:
Photo
lahir di Kudus, 12 Maret 1994. Menulis puisi, cerpen, resensi, dan artikel. Buku puisi tunggalnya berjudul Menanam Hutan dengan Lenganmu Sendiri (Paradigma Institut, 2017). Karyanya terbit dalam Sajak-Sajak Ramadhan (FAM Publishing, 2014), Menjemput Lazuardi (Leutika Prio, 2014), Senja yang Mendadak Bisu (de TEENS, 2015), Panci Wasiat Kakek Kuma (AG Litera, 2013), dan Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar (Kofiku Media, 2016). Karyanya juga dimuat dalam Sumut Pos, Tribun Jateng, dan Koran Jakarta. Diundang dalam Kampus Fiksi Emas 2 (2015) dan Playdate Yuk Main Tema Literasi Keluarga (Januari 2019). Mendapat penghargaan sebagai Puisi Terbaik dalam buku Kata Kota (Kofiku Media, 2017), dan Sampah Serapah Sripah (Reybook Media, 2019). Mengelola Komunitas Fiksi Kudus dan Ruang Baca Petrikor. Bisnis online buku, pakaian, dan buket. Tinggal di Kudus. Email: fadlillahrumayn@gmail.com. Fb: Shoma Noor Fadlillah..

0 comments