Renung Menung di Pangkal Tahun
~ Sebuah Senandika ~
Desember pun selesai. Tahun 2020 juga sudah pergi melambai. Segala apa yang terjadi sepanjang tahun itu telah menjadi masa lalu berupa kenangan atau sejarah. Disebut kenangan jika tergolong sebagai peristiwa berkesan yang kapan diingat, dayanya mampu menggetarkan rasa. Disebut sejarah jika tercatat sebagai peristiwa besar, luar biasa, yang jejaknya tansah menyertai riwayat hidup atau jati diri seseorang.
Seseorang dengan yang lain dan dengan yang lainnya lagi niscaya punya kenangan dan sejarah berbeda. Perbedaan itu dipengaruhi latar belakang kehidupan masing-masing. Seseorang berlatar belakang dosen misalnya, tentu kenangan atau sejarah yang dibuatnya relatif erat terkait dengan hal pendidikan atau dunia keilmuan. Seseorang yang suntuk bergiat menulis puisi pastilah punya kenangan atau sejarah yang tak jauh-jauh dari kegiatan yang ditekuni.
Sebagai seorang yang suntuk bergiat menulis puisi, lantas kenangan atau sejarah apa yang sudah saya buat selama tahun 2020? Tidak ada yang luar biasa. Kenangan? Saya membukukan beberapa. Sekalipun itu banyak yang berasa getir daripada sebaliknya. Betapa tidak, pada tahun 2020, tidak sedikit keinginan saya yang meleset dari bidikan. Getir bukan?
Bagaimana dengan sejarah? Lebih-lebih ini. Selama setahun, sekian puluh puisi tayang di media massa, lolos kurasi pada pembuatan belasan buku antologi puisi bersama serta diundang hadir di sejumlah tempat perhelatan puisi, adakah itu layak dinamai sejarah? Sejujurnya, saya ragu.
Keraguan itu muncul sebab saya merasa puisi-puisi yang saya tulis cuma begitu-begitu saja. Penggarapan tema, penggunaan diksi dan metafornya merupakan pengulangan demi pengulangan apa yang sudah saya tulis pada tahun-tahun sebelumnya. Merisaukan! Apa yang sebenarnya terjadi? Saya mencari musababnya.
“Itu karena engkau telah menemukan ciri khas. Gaya ucap sendiri,” kata seorang teman. “Salah itu. Menurutku, musababnya kini mata penamu sudah tumpul. Kreativitasmu mulai stagnan,” ujar teman lainnya. Saya termangu. Mana yang benar?
Beberapa waktu, setelah merenungkan dua pendapat tersebut, pada akhirnya saya cenderung membenarkan pendapat yang kedua. Ya, ya, boleh jadi benar kreativitas saya memang sudah mandek. Kemampuan saya hanya tinggal bisa mengulang-ulang apa yang pernah saya lakukan. Begitu-begitu saja. Tak ada progres, apalagi pembaruan. Duh, jika begini kondisinya, rasa-rasanya sudah tiba waktu predikat penyair - yang dengan bangga kerap saya terakan sendiri di biodata- mesti saya delet segera. Tidak sayang? Ngapain sayang?. Toh, selama ini predikat itu hanya serupa gelembung sabun. Tidak punya pengaruh yang - baik secara ekonomi maupun sosial- signifikan terhadap hidup keseharian saya.
Pembenaran saya pada salah satu pendapat teman di atas bukan tanpa alasan. Saya menulis puisi sejak tahun 1980. Dihitung sampai kini sudah 40 tahun. Separuh lebih dari bilangan usia saya. Wajar kiranya jika waktu yang relatif panjang itu menjadikan mata pena saya tumpul, imajinasi saya garing. Kondisi raga jiwa saya capai dalam arti sebenarnya. Karenanya, jalan terbaik yang mesti saya pilih adalah berhenti menulis puisi. Selamanya.
Akan tetapi, ah, bisakah saya? Sekitar tahun 2010 lampau, saya pernah punya niat sama. Berhenti menulis puisi. Gagal total. Ibarat candu, zat adiktif puisi kepalang meracuni seluruh tetes darah saya. Menguasai setiap jengkal benak dan hati saya. Terus mesti bagaimana? (O, andai saja ada pusat rehabilitasi bagi orang yang punya ketergantungi pada puisi!)
Saya hanya bisa tercenung. Diam dan tafakur. Dengan tawaduk, pelahan saya masuki lubuk hening mikrokosmos, jagat cilik, dalam diri. Lewat telinga batin, secara sungguh saya dengar kata hati kecil. Apa katanya? Yups, hati kecil saya berkata, agar saya tetap menulis puisi. Menulis dengan riang gembira. Jujur, tanpa pretensi. Menulis tanpa keinginan menjadi terkenal. Tanpa berharap sanjung puji dan timbal balik dalam wujud apa juga. Menulis sebagai klangenan. Bentuk laku produktif dalam mengisi hari tua.
Mampukah saya melaksanakannya? Mengingat saya hanya manusia biasa. Di dalam dada saya tumbuh subur berbagai penyakit duniawi; riya, iri, kemaruk, bakhil, dan semacamnya. Tetapi tidak, saya tidak boleh ragu. Saya mesti berkeyakinan bahwa jika sungguh-sungguh mau berupaya dengan tekad bulat disertai doa dan pengharapan kuat, tidak ada satu pun yang tidak bisa. Insyaallah!
Kini 2021 telah tiba. Di dinding rumah, di meja kerja, penanggalan baru telah terpasang. Dengan ramah 1 Januari menyapa mesra. Dan sebagaimana biasanya, ia senantiasa menyembunyikan aneka rahasia. Peristiwa tak terduga yang berkemungkinan menjadi kenangan atau sejarah bagi setiap manusia. Peristiwa tak terduga yang bakal terjadi di sepanjang hari-hari di bulan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Maka, agar tidak menjadi sekadar peristiwa biasa, momentum pergantian tahun ini akan saya gunakan sebagai sarana muhasabah. Bersih-bersih, mengoreksi diri, membuang segala kotoran hati. Memperbaiki yang kurang, melengkapkan yang rumpang. Harapannya, sekecil apa pun terjadi nuansa perbedaan antara tahun lalu dan tahun sekarang.
Selain itu, pergantian tahun juga akan saya gunakan untuk menyusun seberkas rencana, melangitkan sebait doa dan pengharapan mulia. Berkas rencana yang satu per satu, semoga dapat terealisasi dengan sukses dalam rentang waktu 12 bulan ke depan. Doa pengharapan mulia agar di tahun ini hidup dan kehidupan, di dalam maupun di luar diri, bisa berlangsung lebih bernilai, nyaman, aman, tenteram, sejahtera sentosa.
Satu lagi, seturut kata hati, saya juga akan tetap menulis puisi. Menulis puisi dengan jujur dan tanpa pretensi. Contohnya puisi ini , Seperti ada yang tanggal/ jatuh ke timbun waktu/saat Desember terlepas dari dinding/Apakah?/Mungkin sebuah kenangan/Sebuah peristiwa yang ingin terkekalkan//Tetapi, katamu, Januari telah kembali/Datang membawa teka-teki panjang/Sesuatu bakal terjadi/Sedetik di depan atau nanti//Apakah?
Selamat Tahun Baru, Saudara!
0 comments