Kompleksitas Permasalahan Remaja dalam Kerenyahan Cerita

Impian Nopitasari


Buku Mawar Kertas untuk Mama

Keterangan buku

Judul: Mawar Kertas untuk Mama

Penulis: Reyhan M. Abdurrohman

Penerbit: CV. Reybook Media

Tahun: 2021

Tebal: viii+112 halaman           

ISBN: 978-623-92669-9-8

 

Di sore hari yang gerimis, saya menerima sebuah paket berisi buku terbaru teman saya, Reyhan. Buku dengan sampul putih bergambarkan seorang perempuan yang membawa bunga mawar. Cantik. Mawar Kertas untuk Mama, judul buku itu. Segera setelah saya menerima buku tersebut, saya kirim pesan ke Reyhan dengan pertanyaan apakah saya akan berjarak ketika membaca bukunya mengingat sudah lama sekali saya tidak membaca cerita remaja. Jarak kedua adalah saya mengira cerita yang ditulis Reyhan adalah cerita masa-masa remaja yang menyenangkan, sedang masa remaja saya lebih dekat dengan kesuraman daripada kebahagiaan. Kesimpulan prematur saya adalah, saya akan kurang menikmati cerita dalam kumpulan cerita yang ditulis Reyhan.

Ternyata saya keliru. Meski cerita yang disajikan memang remaja banget, saya sungguh menikmatinya. Cerita-cerita di buku ini bukan seperti cerita-cerita remaja di sebuah platform menulis (meski banyak juga cerita bagus di sana) yang klise dan kurang riset. Saya selalu berprinsip bahwa entah bagaimanapun bentuk tulisan, harus tetap riset, tidak cacat logika, agar tidak ngawur. Tanpa terasa saya sudah merampungkan 15 cerita dalam buku ini dalam waktu kurang dari dua jam. Cerita-cerita dalam kumcer ini memang singkat namun bisa membuat orang tidak berhenti untuk membacanya.

Saya mengamati di masyarakat ataupun di media sosial tidak sedikit orang yang meremehkan permasalahan yang dihadapi remaja. Perasaan remaja dianggap remeh dan tidak valid. Padahal apa pun perasaan yang dihadapi manusia baik tua ataupun muda adalah valid. Mungkin orang dewasa menganggap masalah putus cinta bagi remaja adalah hal yang remeh, tapi bukan bagi remaja itu sendiri. Mereka juga punya perasaan yang harus diakui. Hal inilah yang diangkat Reyhan dalam cerita-ceritanya. Remaja di dalam cerpen-cerpennya mengalami jatuh cinta, cemburu, kecewa dengan teman atau keluarga, ambisius mendapatkan sesuatu, caper, minder, dan sebagainya. Masalah remaja memang kompleks. Tidak hanya orang dewasa saja.

Remaja dan cinta memang tidak terpisahkan. Saya senyum-senyum sendiri ketika membaca kisah cinta di cerpen Bir Pletok, Menjemput Salsa, Jas untuk Rengga, Tak Mau Terganti, dan My Love. Dalam cerpen Bir Pletok dan Jas untuk Rengga, kita bisa menebak kalau penulis cerpen ini adalah orang yang dulunya bersekolah di sekolah kejuruan. Dalam Bir Pletok saya menduga tokoh-tokoh di cerpen ini belajar di jurusan tata boga ketika membaca dialog ini.

“Pak Anggoro (guru kuliner di sekolah) yang bilang. Saat praktik kemarin, katanya punyamu paling enak.”

Aku tersipu, “Benarkah? Padahal ini minuman yang sangat mudah.”

“Nggak bagiku. Aku tak tahu berapa banyak perbandingan jenis rempah yang direbus: jahe, kayu secang, batang serai, dan rempah lainnya.” (halaman 3).

Sedangkan cerpen Jas untuk Rengga, remaja dalam cerpen tersebut bersekolah di jurusan Tata Busana.

Tugas semesteran ini cukup menantang. Anak jurusan tata busana diberi tugas untuk membuat setelan busana pria. Jelas tugas ini punya kesulitan tersendiri, karena Bu Indira menuntut untuk membuat busana yang unik dan indah sesuai dengan karakter orang yang memakainya. Siapa yang akan memakai ditentukan dari lintingan-lintingan kertas yang diambil berurutan. (halaman 50).

Saya suka ending cerpen ini, berisi twist yang mengejutkan dan yang membuat pembaca tidak bosan adalah kita diberi referensi keadaan sekolah di luar sekolah umum.

Tema keluarga juga diangkat dalam cerpen-cerpen yang ditulis Reyhan seperti dalam cerpen Membeli Rindu dan Mawar Kertas untuk Mama. Membeli Rindu adalah salah satu cerpen favorit saya. Tema poligami atau perselingkuhan ternyata bisa ditulis dari sudut pandang remaja yang sedang merajut cinta. Sepertinya memang keahlian Reyhan untuk membuat twist di akhir cerpennya. Twist yang membuat hati pembaca seperti saya ikut merasa ngilu.

Aku menyerahkan HP-nya lagi. “Bukan, Cuma SMS. Tidak kubaca, kok. Itu di wallpaper foto siapa?”

Ia tersenyum, “Aku dan Mama-Papa.” Ia menunjukkan lagi foto itu. Mendadak dadaku sakit luar biasa. Kenyataan apa ini? Itu papaku, Aira. (halaman 39)

Mawar Kertas untuk Mama juga cerpen yang kelabu tentang kerinduan seorang anak kepada ibunya. Meski saya kurang sreg dengan bagian si tokoh menyuruh anak kecil untuk merekam pacarnya di pemakaman, tapi saya suka informasi yang diberikan penulis tentang fobia, dalam hal ini adalah fobia bunga mawar. Banyak sekali fobia di dunia ini, bahkan yang kadang kita sendiri tidak memikirkannya kalau fobia tersebut benar-benar ada.

Saya teringat novel Balada Si Roy ketika membaca cerpen Satu Syarat Terakhir dan Good Boy. Tentang remaja yang ingin menunjukkan eksistensi dan pemberontakan. Meski dalam cerpen ini penulis terkesan main aman dengan membuat akhir cerita yang berisi pesan moral dan membahagiakan pembaca. Tapi tema yang diusung memang masalah yang dihadapi remaja untuk mencoba hal-hal baru meski hal baru itu adalah sesuatu yang tidak baik. Tema yang akan selalu relevan dari masa ke masa.

Tema insekuritas juga menarik perhatian saya dalam cerpen Anggun Ingin Kurus. Persoalan berat badan ini sepertinya adalah masalah abadi dalam hidup seorang perempuan dari remaja sampai dewasa. Ending yang lucu membuat cerita tidak terkesan berat dan menggurui. Tema tentang obsesi juga ditampilkan Reyhan dalam cerpen Badai di Hati Tara dalam bungkus yang “sekolah banget” yaitu selalu ingin mendapatkan ranking satu. Dalam konteks yang lebih luas bukankah banyak orang memang ingin menjadi nomor satu atau yang dinomorsatukan? Persaingan lain juga kita dapatkan dalam cerpen Sepatu Amira. Terlihat penulis sangat memperhatikan fashion yang sedang hits dan lagi-lagi ia berhasil membuat ending yang ciamik. Saya juga menaruh perhatian pada cerpen Gue Bakal Jujur. Penulis ingin mendobrak stereotype anak laki-laki yang harus melakukan kegiatan yang dianggap macho. Dalam cerpen ini tokoh aku suka ikut kegiatan cheerleaders. Anak laki-laki joget-joget dan melakukan akrobatik seperti cheerleader perempuan, kenapa tidak? Meski ia juga mengalami ketakutan untuk mengakui pada awalnya. Ada juga tema yang sebenarnya ingin dibahas penulis, yaitu homoseksualitas dalam cerpen Tak Mau Terganti, namun sepertinya penulis juga bermain aman dengan membuat ending bahwa tokoh dalam cerpen itu ternyata seorang hetero. Padahal sebagai pembaca saya berharap tokoh dalam cerpen tersebut benar-benar seorang gay agar bisa tahu bagaimana cara menghadapi masalah yang ditimbulkan. Tapi tentu saja penulis adalah tuhan untuk karyanya, terserah mau dibuat apa.

Masih ada cerpen lain seperti cerpen sendu berjudul Menunggu Hujan, atau cerpen yang akan mengingatkan kita pada adegan FTV seperti dalam cerpen Menjemput Salsa, My Love, dan Cucu Ketua Yayasan. Saya membayangkan ketika membaca cerpen-cerpen tersebut ada lagu D’Bagindas yang mengiringinya. Meski secara pribadi saya kurang suka dengan gaya dialog gue-elo di beberapa cerpen, tapi saya tetap menikmati cerpen-cerpen ini. Gaya gue-elo sangat sah digunakan selama latar tempat dan kondisi mendukung. Reyhan bisa melakukannya. Ia menulis cerpen dengan gayanya sendiri tanpa mengesampingkan logika. Akhirnya saya bisa terhibur dan membayangkan mempunyai masa remaja yang penuh warna seperti dalam cerita-cerita yang ditulis Reyhan. Meski masa-masa di sekolah itu tidak harus menjadi masa paling indah seperti dalam lagu Kisah-Kasih di Sekolah-nya Obbie Mesakh.

 

Gondangrejo, 14 Februari 2021



Tentang Penulis:
Photo
Penulis fiksi berbahasa Indonesia dan Jawa. Buku yang sudah terbit antara lain Kembang Pasren (2017) dan Si Jlitheng: Dongeng Bocah Abasa Jawa (2020).

0 comments