Puisi Adalah Gema dan Bukan Suara
Mungkin benar kata orang, menulis puisi bukanlah hal sulit. Tetapi sejauh yang saya rasakan, menulis puisi yang bagus, menginspirasi, menggugah perasaan, memiliki kedalaman makna, bisa memberikan terapi perasaan, memiliki keindahan estetis, atau yang bisa menjadi ‘quote’ sepanjang zaman bukanlah hal mudah.
Proses penciptaan puisi selalu memerlukan latihan panjang dan perenungan, penyairnya sering membutuhkan banyak pengalaman kreatif bahkan hanya untuk menghasilkan sebuah puisi sederhana. Itulah sebabnya saya tidak pernah menyia-nyiakan satu kata pun yang sudah bersusah payah menggenapkan sebuah puisi. Jika puisi adalah sebuah tubuh, kata adalah organ atau anggota tubuh itu. Rasanya tak ada satu pun anggota tubuh yang rela dibuang percuma, atau dicipta tanpa maksud dan tujuan yang jelas.
Sejak ia dilahirkan, puisi menjadi anak kreatif penyair yang paling unik. Ia kelihatan pendek tapi berisi, kelihatan sederhana tapi kadang sulit dipahami. Ia tidak jelas tapi indah. Ia tidak menuntut dipahami, tapi cukup dinikmati. Kita kemudian sering jatuh cinta padanya.
Puisi kadang disangka sebagai suara, tetapi ternyata adalah gema. Menarik sekali kita bicara puisi sebagai gema. Seorang penyair Amerika bernama Carl Sanberg pernah mengatakan poetry is an echo, asking a shadow to dance. Puisi adalah sebuah gema, meminta bayangan untuk menari-nari.
Sulitkah memahami ungkapan ini. Bisa jadi.
Saya ingin memberi perumpamaan yang lebih sederhana. Puisi adalah bulan, dan bukan matahari. Jika matahari memancarkan panas cahaya, bulan hanya memantulkan cahaya tersebut. Matahari mengarahkan cahayanya yang panas langsung kepada audiens, sedangkan bulan memantulkannya; cahaya bulan bukan cahaya asli. Meskipun bukan cahaya asli, cahaya bulan seringkali nampak indah, romantis, dan membentuk suasana eksotis. Serupa itulah, puisi merupakan refleksi atau pantulan emosi atau perasaan dari penyairnya.
Puisi ibarat gema, menurut Carl Sanberg, berarti ia bukan suara. Gema adalah gaung atau pantulan dari suara, terdengar samar dan memenuhi ruang atmosfer kita. Untuk memahami gema itu kita perlu menafsirkan maksudnya. Menafsirkan maksud puisi akan mengajak imajinasi kita untuk berkembang, diibaratkan sebagai sebuah bayangan yang menari-nari.
Dengan demikian, memahami puisi tidak cukup dengan pikiran dan pengetahuan, tetapi juga melibatkan sense dan imajinasi. Puisi bahkan tak menuntut untuk dipahami, melainkan dirasakan dan dinikmati seperti menikmati bayangan yang menari-nari. Ia seperti musik barat yang kita tak paham, tapi dapat merasakan keindahannya.
Penjelasan ini, tentu saja, tidak cukup untuk mendefinisikan puisi. Bahkan setiap penyair memiliki kalimat sendiri untuk mendefinisikannya. Semakin dalam kita mempelajari puisi, tarian imajinasi kita semakin liar.
Sayangnya, saya seringkali tergoda untuk membawa puisi-puisi saya ke atmosfer suara, karena khawatir puisi-puisi saya sulit dipahami. Saya cemas ketika puisi-puisi saya ditafsir-maknai tidak sesuai dengan yang saya mau. Akhirnya, puisi-puisi saya berhenti pada suara, tidak menggema serupa echo.
Puisi-puisi saya hanyalah rentetan kata yang mengeras, tidak menggema. Rentetan kata yang serupa angin kering atau panas cahaya matahari, bukan sebagai pantulan serupa cahaya rembulan yang rendup dan cantik. Ketakutan terhadap tafsir pembaca yang liar itu, telah menyabotase saya untuk melahirkan puisi yang harfiah, mengabaikan bahasa plastis, dan tidak melahirkan banyak pintu masuk bagi pembaca. Puisi-puisi saya adalah suara dan bukan gema.
Saya tiba-tiba takut menulis ‘Mu’ dengan mu kecil karena khawatir mu ini akan disalahtafsiri sebagai kekasih fisik belaka. Padahal penyair bisa menggunakan kata apapun untuk menciptakan ‘gema-gema’ yang lebih kaya.
Ucapan Carl Sanberg bahwa poetry is an echo, asking a shadow to dance, puisi adalah sebuah gema, meminta bayangan untuk menari-nari, apakah Anda sependapat?
0 comments