Upaya Unboxing Puisi “Pendar” karya Rhy Husaini yang Hampir Sia-Sia

Elang Ade Iswara


Lima tahun lalu, aku bertemu laki-laki berdaksa tinggi. Berambut gondrong, bermata anggara. Memakai sorban bercorak yang dikerudungkan ke kepala, membuatnya terkesan mistis. Walau sama sekali tak mendekati tampan. Dalam rangka merayakan kelahiran novel pertamanya, yang berjudul kelewat anggun: Eva (katalika, 2017) dan diulas tak kalah manis di Kedaibukujenny.id oleh Hernita Rahman.

Awalnya, kukira waktu itu dia mabuk, entah anggur atau ganja —dugaan tanpa dasar—, hanya saja matanya terlihat merah, bisa saja ia kurang tidur, atau kelilipan, atau terharu— mengingat betapa penuh orang-orang di ruangan acaranya itu. Suaranya yang sedap meski kurang ramah, dan ekspresi marah saat membaca puisi: mantra-mantra didendangkan, lantang dan beraura kuat. Aku pun ling-lung dibuatnya. Pulang dengan perasaan ganjil, dan senang. Bonus mendapat zine secara cuma-cuma: Provocateur Kretek #1.

Aku lebih dulu kenal tulisan-tulisannya berupa fiksimini, puisi, kutipan, dan pisuhan khas melalui kanal media sosial: Instagram @sajakberserikat. Malam itu adalah pertemuan pertamaku dengan Rhy secara harfiah.

Aku membayangkan ada jenggala kata-kata yang maha luas di kepala atau di sela-sela rambut gondorongnya yang bisa ditebang saban waktu. Bayangan itu ada bukan tanpa alasan. Pemilihan diksi, frasa, hingga menjadi kalimat selalu segar. Tidak bisa tidak membaca tulisan-tulisannya berjauhan dengan kamus.

Sejak bertemu tetapi belum sempat bercakap, aku mulai menjadi pengikutnya, belum sampai pengagum. Belakangan, setelah boleh dikatakan kami berteman, pesonanya kian kentara saat Rhy Husaini diam, menatap lamat-lamat, mendengarkan dengan tatapan memburu, disertai rokok Djarum di sela jemari tangan kirinya. Ia kerap menghela napas cukup dalam, dan menghembuskannya secara pelan-pelan. Kemudian meneguk kopi dengan sedikit gula: kebiasaannya.

Rhy Husaini lahir di Kudus, 29 Oktober 1994. Buku pertama terbit di tahun 2016. Berupa kumpulan puisi yang berjudul, Kontemplasi Aksara Hati (Mandala Pratama Publishing, 2016). Sungguh, bertolak belakang dengan pembawaannya yang bernas, kritis, angker, ngeri, dan fasih misuh. Kurasa ia kecewa dengan anak pertamanya, hal itu terbukti, Rhy tak pernah menyinggung atau acap kali menutupi pernah menerbitkan buku puisi yang—berjudul, sekali lagi, Kontemplasi Aksara Hati. Buku yang ia garap dengan kesusu selama 3 bulan.

Aku menduga ia sedang di puncak patah hati atau kasmaran. Ia menulis sajak demi sajaknya di dalam kamar yang sepi dan hening, atau saat senja gila-gilanya, ditemani dupa, atau berbatang-batang rokok, juga bergelas-gelas kopi. Sesekali musik sendu diputar untuk menambah suasana yang diinginkan. Bisa jadi, ia menambah referensi dengan menonton 10 film romantis sepanjang masa, atau drama korea terbaik sejagat raya. Ia mengukir kata demi kata sambil membayangkan orang-orang yang menyaikiti juga mencintainya. Tapi, toh, itu hanya bayanganku saja, sebab aku belum berkesempatan membacanya. Hanya nukilan yang menandakan betapa puitis, suram dan celakanya ia.

Tercatat di berita pelaunchingan, KoranYoga.com, puisi berjudul Senja dan Renjana:

Tetaplah mengagumkan

‘Semoga jarak tetap menyakitiku

Dengan rindu yang selalu mengidap


Lain dengan puisi berjudul “Pendar” yang bagai kutukan, setidaknya bagiku. Aku bertegur sapa pertama kali di buku Kata Kota terbitan Komunitas Fiksi Kudus, 2017. Saat itu, ia menjadi kurator untuk antologi tersebut, bersama penyair sepuh; Mukti Sutarman Espe. Awalnya kuanggap Pendar angin lalu saja. Namun, setelah bertemu lagi di buku Perempuan yang Dicabut Vaginanya di Meja Makan dan Pesta Kebaya yang Tidak Terjadi (ditulis dengan huruf kapital semua), 2018. Aku tidak bisa lagi berpura-pura tak terjadi apa-apa.

Sebagai pemisah, puisi dinomori. Aku menolak tergesa-gesa membaca. Dan memang puisi itu pun menolak untuk sekali baca. Penggalan bait bagian 1 dan 2, tidak terlalu memukau, tetapi membuat diri menjadi asing dan mulai mencari “ke dalam”: 

 

1

Oktober

Udara memepat

Cuaca gemetar

Tiga purnama telah tercatat

Aku; lilin kehilangan pendar.

 

2

Januari mulai merayap menyala —beberapa.

Meski sesekali terpelanting

Sekilas, tampak hibatku beraroma bunga-bunga

Bermacam-macam

Tapi sedikit saja...

 

3

Tak jarang kutemuimu di jalan tak

wajar Terpapar; tak sengaja

Tentang sepenggal pagi, di abu-abu alis matamu

Atau garis-garis dahimu, tentu masih kuhafal betul.

  

Puisi ditulis di tempat kelahirannya: Kudus, saat Rhy Husaini berusia 26 tahun. Ia berproses di Jogja sejak memutuskan melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, setelah lulus SMA. Ia bergabung dengan beberapa komunitas seperti Perpusjal Jogja, dan Ngopinyastro. Ia belum memutuskan kapan akan kembali ke kota asalnya. Karena jarak itulah, terkadang segala sesuatu bisa dinilai dengan utuh.

Suasana yang terbangun kelewat gelap dan penuh penekanan pada bagian pertama yang terdiri dari 5 larik, ihwal itu dapat dirasakan dari cara penyair memberdayakan bebunyian eufoni dan citraan-citraan, seperti: lilin kehilangan pendar (visual), cuaca gemetar (kinestetik), aku; lilin kehilangan pendar (organik), membuat impresi kian kuat. Tiga purnama menandakan waktu beberapa bulan untuk aku lirik menyadari, bahwa ia hampir tak memiliki harapan: lilin kehilangan pendar.

Pada bagian ke-2, Januari memunculkan harapan dengan mulai merayap menyala. Bait terakhir ditutup dengan ambiguitas atau kalimat yang belum rampung dengan tiga titik. Setelah frasa-frasa sebelumnya aku lirik mulai menyala, meski terpelanting. Namun aku lirik cukup gigih sebab, walau sekilas, hibatku beraroma bunga-bunga. Permainan imaji yang beresiko rancu. Atau justru penyair sengaja membuatnya demikian sehingga menciptakan sebuah ironi.  Bila memang itu maksutnya, apa yang membuatnya tidak yakin dengan dirinya sendiri? Bermacam-macam. Tapi sedikit saja…

Pada bagian ke-3, pola ritme terasa pelan, tidak menggebu-gebu, yang justru menyeretku ke dalam emosi sajak. Tentang sepenggal pagi, di abu-abu alis matamu. Atau garis-garis dahimu, tentu masih kuhafal betul. Bait demi bait bergema, menggerak-gerakkan bayangan, dan berkemungkinan mengadirkan adegan.

Aku tak tahu kapan Rhy mulai menulis, terutama puisi. Atau, sebetulnya aku pernah bertanya padanya—tetapi, lupa tumbuh tak kenal waktu. Yang jelas, kurasa, komitmennya pada kesusasteraan tak bisa dimungkiri. Ia tak hanya haha-hihi sambil ngrasani di kedai-kedai kopi terkini.

Selanjutnya bagian ke-4, 5, dan 6:

 

4

Dulu aku memang menanam. Tak jarang kulumat setiap pagi, mana sifat yang ranggas, lalu kubabatinya lembut-lembut. Tapi sekarang bukan, dan jauh dari tidak. Sebab semenjak mekar memepat, duri itu balik menggurat. Menyayat hingga berdarah. Lalu memilih tuan-tuan baru si pembeli kaya raya sambil menukas tuan lama; pemilik suara parau itu.

 

5

Lelaku masih sejenis

Dengan kisah juang mewangi

Daku tumbang, lagi dan lagi

Sebab sepasang kera berakal itu, bercumbu di seberang daun waru.

 

Lalu malam, petang berikut dendam

Aku; masihlah lilin kehilangan pendar.

 

6

Lantas Februari,

Ruh-ku terperenyak

Tak ada puisi

Mati...

Sebab semua-semua di dunia ini, pasti pernah kuncup, mekar, dan layu pada masanya. Sesampai nantinya kembali kuncup, mekar, kemudian layu dan seperti itu sampai mati.

 

Bagian ke-4 & 5, terasa  kuat atmosfer romantisme —liris, lembut, dan menggugat. Tempo yang membutuhkan malam-malam panjang. Romantika laki-laki terluka.

 

Membaca puisi Rhy Husaini, bagai mencari setitik cahaya di antara kegelapan, atau seperti terperangkap di area peperangan, dengan pilihannya: maju dan berjuang, sembunyi, dan lari atau mati. Ada yang tak bisa digenggam darinya, atau memang sengaja tak diperbolehkan untuk digenggam, mengutip Umbu yang ia canangkan lewat pengantar bukunya, “Semua itu lahir dari upaya memadu-padankan yang nalar dan tak nalar, pikiran dan intuisi: cahaya fantasi yang bebas dari gelapnya intensi yang tak sadar..." Atau sebagaimana hubungan yang bersifat arbitrer antara bagian 4 dan 5, yang membangkang. Meskipun terluka nampaknya ia penuh perlawanan.

 

Aku menghela napas panjang, menghembuskannya dengan lembut: kisah-kisah perjuangan, pengkhianatan, penerimaan, dan harapan, adalah kisah terbaik untuk membuatku merundukkan kepala.

Aku lirik mulai mengerti, ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa direnggut meski: tumbang, lagi dan lagi… dan ia, masihlah lilin kehilangan pendar. Sesuatu yang hanya kepunyaannya: sebab semua-semua di dunia ini, pasti pernah kuncup, mekar, dan layu pada masanya. Sesuatu yang bernama harapan: Sesampai nantinya kembali kuncup, mekar, kemudian layu dan seperti itu sampai mati. Betapa letihnya membayangkan adegan demi adegan dalam gema bait itu.

 

Sampai pada suatu titik kesadaran tertentu, bahwa manusia segarang apa pun, seangker apa saja,  tak kebal luka dan kematian, dan nasib yang tiada menentu yang kerap kali memunggungi. Ia menjadi laki-laki yang melawan sekaligus menerima, bertanya sekaligus mengunggat. Sembari terus mengenang di malam-malam panjang. Ia mengerti, bahwasannya tak mutlak memenangi pertempuran. Dan hidup, sebengis apa pun tak diciptakan hanya buat para pemenang saja. Luka dan dendam, menjelma kehormatan sebelum tuan-tuan baru si pembeli kaya raya itu menghabisi segala yang ia miliki. Dengan begitu, bagiku no.6 adalah bait teradiluhung.

 

Di bagian ke-7 yang juga merupakan penutup. Ia membangun bait dengan citran visual yang kuat. Citraan auditori. Citraan kinestetik, dan di tutup dengan citraan organik yang cukup ciamik.

 

7

Lalu Maret, April, dan seterusnya

Lilin ini menyesaki pukal

Merusak sumbat, memadat, lalu meledak! Silau... Mancawarna

bertaburan

Hingga pada akhirnya semua berubah binar.

 

Seperti sekarang,

Adalah aku: Sang matahari bersimbah pendar.

 

Cahaya pun menjadi hidup dan penuh warna, dengan emosi khas pembangkang. Aku seperti disuguhkan visualisasi yang apik, dibumbui ilustrasi, dan sentuhan emosi yang presisi. Sabana imaji yang kompleks.

Pada akhirnya, dari tiap-tiap bagian tubuh puisi itu, ia seolah-olah menantang dan membaca dirinya sendiri lebih dalam. Proses penerimaan dan daya tahan yang cukup merepotkan. Aku jadi ingat, Rhy pernah bilang, “Terimalah puisi sebagai keluarga, jangan anggap dia sebagai orang asing sampai masyarakat tak kenal apa itu puisi.”

Dan jika diperbolehkan, ijinkan aku melengkapi pernyataan tersebut dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kita mengenal diri sendiri, sebaik kita mengenal orang lain?”

  

Rumah Nenek, 19.21



Tentang Penulis:
Photo
Lahir di Pekalongan, 15 Mei 1998. Mengenyam pendidikan di Universitas Muria Kudus jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah memelihara dua ekor kucing kembar bernama Sumbadra dan Sumbadri, yang kemudian meninggalkannya secara sembunyi-sembunyi. Bisa dihubungi melalui : Elang123jawa@gmail.com // Ig : @elangadeiswara

0 comments